digitalMamaID – “Inovasi dan teknologi untuk kesetaraan gender” menjadi tema perayaan Hari Perempuan Sedunia atau International Women’s Day 2023.
Rupanya, dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa memahami bahwa era digital ini menjadi titik temu antara perempuan dan teknologi.
Selama ini, perempuan cenderung distigma gaptek atau gagap teknologi. Padahal, hal yang terjadi bukan demikian, melainkan kurangnya akses bagi perempuan mengenal dan mempelajari teknologi yang sudah kadung dianggap maskulin.
Namun, pandemi Covid-19 seolah menjadi bukti bahwa perempuan mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi.
Dengan segala keterbatasannya, para ibu menghadirkan pendidikan di rumah masing-masing melalui pemanfaatan teknologi selama wabah melanda.
Mereka juga membangun usaha yang bertumpu pada internet untuk mengantisipasi perubahan ekonomi keluarga sebagai dampak pandemi Covid-19.
Di lain sisi, perempuan menghadapi kerentanan saat memasuki dunia maya. Risiko yang harus ditanggung antara lain menjadi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO), kebocoran data pribadi, serta korban kejahatan siber.
Berdasarkan Indeks Literasi Digital 2022, angka indeks literasi digital perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Dari skala 1 sampai dengan 5, indeks literasi digital perempuan untuk dimensi digital skills perempuan nilainya 3,5, sedangkan digital ethics 3,6, dan digital safety 3,07.
Melihat hasil ini, tentu masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Namun, tapi tak bisa diingkari, internet dan teknologi bukan lagi monopoli laki-laki. Perempuan dan teknologi mampu membuat perubahan, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya.
Teknologi membantu berkarya dan berdampak
Baiq Rosdiana Susanti (27) misalnya, perempuan yang tinggal di Mataram, Nusa Tenggara Barat ini tidak pernah mempelajari desain maupun mengedit gambar dan video di bangku sekolah. Saat kuliah pun, ia mengambil jurusan pendidikan.
Namun, ia kini sehari-hari bekerja dan berkaya di bidang kreatif, yaitu penulisan dan desain.
Saat di bangku sekolah, urusan desain yang menggunakan perangkat lunak dan perangkat keras biasanya diserahkan pada laki-laki. Sampai akhirnya, untuk urusan ini, ia harus bergantung sekali dengan laki-laki.
Namun, ia mulai sadar pentingnya belajar desain saat bergabung dengan organisasi pers mahasiswa. Di sana, ia bertemu banyak kawan yang memberikannya kesadaran.
“Laki-laki atau perempuan harus punya skill yang sama,” katanya saat berbincang dengan digitalMamaID, Selasa, 7 Maret 2023.
Kemampuan desainnya pun semakin berkembang. Terlebih, ada sang pacar yang juga berkecimpung di bidang ini.
Kemapuan ini rupanya semakin ia butuhkan saat mulai memutuskan menjadi pembuat konten di media sosial.
“Tulisan kritis itu sekarang dibutuhkan, tapi banyak yang enggak mengena. Untuk menyentuh orang-orang, perlu dengan cara lain, yaitu lewat gambar, desain,” kata perempuan yang akrab disapa Kak Ros ini.
Sepanjang 2021, Kak Ros banyak mengambil kelas-kelas online, baik yang gratis maupun berbayar. Ia juga belajar dari teman kerjanya. Kemampuannya pun jadi meningkat pesat.
Bagi Kak Ros, mendesain dan membuat konten punya arti tersendiri. Aktivitas ini membantunya berjuang melawan persoalan kesehatan mental yang ia alami beberapa tahun belakangan.
“Ada fase saya tidak sadar dan melukai diri sendiri, hampir mati,” ujarnya.
Itu sebabnya, setelah menemui psikolog, ia mulai dirawat oleh psikiater pada 2021.
Di tengah masa pengobatan, ia mulai menyibukkan diri dengan belajar desain.
Lewat membuat desain, menggambar, dan membuat konten, ia berusaha untuk melawan pikiran buruk yang hadir di kepala. Pikiran-pikiran yang tersimpan dituangkan dalam bentuk karya.
Konten yang ia buat merupakan responsnya terhadap fenomena sosial yang terjadi. Ia berusaha menangkal hoaks, mengurai informasi yang rumit, dan menyuarakan isu perempuan.
Rupanya, “ngonten” membuatnya menemukan tujuan hidup baru. Kini, ia ingin karyanya bisa berdampak bagi lingkungan sekitarnya. Meskipun sejauh ini, apa yang ia lakukan telah membantu dirinya sendiri menemukan semangat hidup.
Jalannya tentu tidak mudah. Saat ia membuat konten yang bicara soal perempuan misalnya, ia mendapat kritik karena dianggap terlalu memojokkan laki-laki. Kritik itu ia terima, tetapi tidak membuatnya berhenti.
“Kemajuan teknologi sekarang memberi kesempatan untuk dapat akses informasi yang tidak memandang gender. Hanya dalam prosesnya, selau perempuan itu jadi bagian yang rentan. Baik di dunia nyata dan maya,” katanya.
Menurut Kak Ros, itu semua tidak lepas dari sejarah panjang perempuan. Ada jurang pengetahuan antara laki-laki dan perempuan karena akses yang tidak setara.
Keluarga akan mendahulukan akses pendidikan untuk anak laki-laki ketimbang anak perempuan.
Saat anak perempuan menempuh pendidikan, mereka diarahkan mengambil bidang yang dinilai tidak mengganggu perannya sebagai istri dan ibu bagi keluarganya.
Atas dasar itulah, ia berharap, laki-laki dan perempuan bisa hidup setara lewat teknologi.
“Sebagai perempuan bisa memagari, melindungi diri sendiri, dan lebih teredukasi secara personal. Sesama perempuan bisa saling melindungi. Saya ingin media sosial bisa jadi ruang yang aman untuk perempuan,” katanya.
Kak Ros sudah menyusun rencana. Bersama sang pacar, ia ingin memanfaatkan platform digital untuk memajukan daerahnya, utamanya pelaku usaha kecil.
Lewat desain dan branding, ia ingin membantu mengembangkan usaha kecil. Tanpa teknologi, ide semacam ini mungkin sulit diwujudkan.
Teknologi bantu perempuan lewati fase baru kehidupan
Bagi seorang ibu baru, teknologi sangat membantu melewati fase hidup baru yang seringkali tidak mudah.
Setidaknya, itu yang dialami oleh Chaty (30), seorang ibu rumah tangga yang juga pekerja lepas digital marketing. Ia menjadi seorang ibu saat dunia sedang bertransformasi ke era digital.
Ia mempelajari banyak hal dari internet, termasuk dari media sosial. Lewat pengetahuan yang dibagi oleh pengguna lain, ia mempelajari berbagai hal tentang menyusui, tumbuh kembang anak, bahkan urusan sepele soal kontrol ke bidan.
Saat hamil, ia bersama suami tinggal di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ia merasakan betul ketimpangan layanan kesehatan di sana.
Meski internet tak sekencang di kota besar, itu cukup membantunya mendapatkan informasi memadai seputar kehamilan dan persiapan kelahiran. Chaty jadi tahu soal apa-apa saja yang kurang dan harus ditambal selama masa kehamilan.
Ia kemudian kembali ke tanah kelahirannya di Jawa Tengah untuk melahirkan. Fase menjadi ibu ini sungguh menantang baginya.
“Habis melahirkan itu kayak lingkung. Mau minta tolong ambilkan gelas, itu yang keluar adalah tolong ambilkan benda buat minum. Aku jadi berpikir bagaimana ini mengembalikan otakku,” kata Chaty.
Sejak melahirkan, aktivitasnya memang lebih banyak di rumah. Praktis, ia keluar hanya untuk ke rumah sakit untuk vaksinasi putrinya.
Apalagi, situasi pandemi yang memang membatasi mobilitas. Internet dan media sosiallah yang menghubungkannya dengan dunia luar. “Akhirnya di situ mulai bikin-bikin konten,” ujar dia.
Masa-masa setelah melahirkan cukup berat, tidak hanya fisik tetapi juga mental. Di masyarakat, masih ada saja penilaian yang menghakimi terhadap perempuan. Misalnya saja soal melahirkan normal versus operasi caesar.
“Bercandaan doang, tapi kan malas juga ya dengarnya,” ujar dia.
Ketika menyusui itu, Chaty mengalami abses payudara yang membuatnya harus menjalani operasi. Chaty menyiapkan ASI yang disimpan dalam kantong agar bayinya tetap bisa minum ASI selama ia dirawat di rumah sakit.
Setelah operasi produksi ASI-nya menurun. Ia jadi stres, walhasil ASI semakin sulit keluar.
“Sama teman disarankan untuk power pumping,” ujarnya. Ia akhirnya menemukan komunitas power pumping yang ia temukan di Instagram. Isinya ibu-ibu yang sedang berjuang menghasilkan ASI yang cukup untuk buah hatinya.
Di komunitas itu ia jadi belajar banyak hal. “Di situ diajarkan, kalau ada tanda-tanda awal depresi. Aku mengalami tanda-tanda awal itu. Diskusi dengan suami, gimana ya? Akhirnya konsultasi (psikologi) online,” ucap Chaty.
Teknologi memudahkannya mendapatkan bantuan untuk mengatasi kesulitan yang ia hadapi. Ia bisa konsultasi tanpa harus meninggalkan rumah.
Beradaptasi dengan peran baru sebagai ibu membuat situasi naik turun. Keluarga kecil ini berproses dalam membangun support system.
Di tengah proses itu, suaminya menemukan informasi di Twitter tentang kelas belajar online, yaitu Belajarlagi.
Di sanalah Chaty kemudian menekuni sebuah bidang yang sama sekali berbeda dengan latar belakang pendidikannya.
Sarjana planologi ini kemudian mendalami digital marketing. Awalnya hanya belajar, dia kemudian lanjut sebagai fasilitator, juga assesor di sana. Pendeknya, ia menemukan ruang belajar dan bertumbuh di sana.
“Aku merasa teknologi itu seperti enabling. Hal-hal terkait teknologi, mungkin ada unsur dari jaman dulu laki-laki yang sering dilibatkan, seperti memperbaiki komputer misalnya. Dengan teknologi, sekarang bisa cari di YouTube. Aku dapat beasiswa data analytics yang semacam mempelajari bahasa pemrograman,” tuturnya.
Ia kini bisa menjajal dunia yang semula terdengar begitu maskulin. Semakin banyak perempuan yang mempelajari teknologi, stereotipe perempuan gaptek lama-lama luntur juga.
Chaty berharap, berbagai kemampuan barunya ini bisa mengantarkannya pada mimpi keluarga kecilnya,
“Bisa kerja dari mana saja. Sekarang suami kerja di Jakarta, yang kalau pulang ga macet itu perlu waktu 1,5 jam. Kami punya cita-cita kita ga kerja dan tinggal di Jakarta. Tinggal di Magelang atau Jogja,” tuturnya.
Selain itu, ia ingin jadi role model untuk putrinya. Seperti ia mencontoh ibunya yang tetap aktif bekerja setelah menikah dan punya anak.
Ia pun ingin memotivasi putrinya dengan cara serupa. Perempuan tidak berhenti setelah menikah dan menjadi ibu. “Jadi aku juga ingin bekerja,” ujarnya.
Chaty berharap, internet bisa menjangkau daerah-daerah lebih dalam lagi. Agar informasi dan ilmu pengetahuan penting bisa tersebar luas.
Ia juga menaruh harap agar perempuan tak melulu dipandang sebagai kuota berupa angka saja.
“Sekian persen harus perempuan. Enggak perlu begitu. Lihat saja, bukan karena bukan perempuan atau laki, kita bisa melakukan hal-hal yang dulunya maskulin. Lama-lama enggak ada pandangan, masuk teknik itu istimewa. Itu wajar karena kita punya kemampuan yang sama. Dengan adanya teknologi dan media sosial, orang jadi bisa membagikan pemikirannya,” tuturnya.
Teknologi bangun jejaring dan kesadaran
Bagi Siska Nirmala (35), media sosial adalah media utamanya menularkan gaya hidup minim sampah (zero waste life style).
Siska membagi cerita perjalanan membangun kebiasaan hidup minim sampah lewat Instagram dan blognya Zerowasteadventures.com.
Sebelumnya, ia aktif berkegiatan di alam terbuka. Ia doyan naik gunung. Setelah itu, ia aktif berkampanye dengan mengajak orang berkegiatan di alam terbuka tanpa meninggalkan sampah.
Tidak hanya saat naik gunung, ia juga mengaplikasikan gaya hidup minim sampah di kesehariannya.
Saat belanja ke pasar, menikmati jajanan, hingga konsumsi keseharian misalnya, ia mempromosikan gaya hidup yang lebih bertanggung jawab pada lingkungan dengna tidak menghasilkan sampah yang tidak perlu.
Siska memulai perjalanan zero waste-nya pada 2012. Pada tahun yang sama, ia mulai membuat akun Instagram dan mulai menulis blog. “Campaign-ku hanya di medsos, enggak pernah lainnya,” katanya.
Ia merasakan upayanya sangat dimudahkan dengan kehadiran interner dan media sosial. Terlebih, sejak 2017, ia merasa perubahan yang sangat besar karena ia bisa menjangkau semakin banyak orang.
“Jarak jadi terasa dekat, padahal kami lokasinya berjauhan. Beda kota, beda pulau, bahkan beda negara,” ujar pendiri Toko Nol Sampah yang berlokasi di Bandung ini.
Berkat media sosial, ia bertemu dengan pegiat lingkungan dari berbagai negara. Ia terhubung dengan para pegiat dari Australia, Eropa, Asia, Jepang, dan negara Asia lainnya.
Apalagi daerah-daerah di Indonesia, ia jadi punya teman hampir di semua provinsi. “Kami seperti sudah berkomunitas lama, padahal ya lewat medsos aja,” katanya.
Naik gunung sebelumnya sangat identik dengan aktivitas laki-laki. Hanya segelintir perempuan yang ikut serta.
Namun kini, jumlah pendaki gunung perempuan semakin banyak. Ini tidak lepas dari teknologi yang memudahkan informasi menyebar luas.
Dulu, naik gunung hanya dilakukan oleh mereka yang tergabung dengan organisasi pecinta alam atau sejenisnya.
Sejak informasi soal naik gunung tersedia luas, banyak yang jadi lebih percaya diri naik gunung meski sebelumnya bukan anak pecinta alam, tak terkecuali perempuan.
Ada yang mendaki mandiri, ada pula yang jadi berkomunitas di dunia maya. Bahkan, ada pula komunitas anak gunung khusus perempuan. Mereka aktif mengedukasi dan memfasilitasi pendaki gunung individu.
Ini tentu sebuag kabar menggembirakan bagi perempuan. Mereka kini bisa turut aktif berkegiatan di alam terbuka komunitas yang mumpuni.
Namun, kerentanan tetap ada. Beberapa kali kejadian, mereka tertipu dengan penyedia jasa open trip yang ada di media sosial.
“Karena tidak ada teman naik gunung, dia gabung open trip biar ada barengan. Ternyata pelaksananya abal-abal. Akhirnya uang enggak balik, tapi trip enggak ada. Penyelenggaranya kabur,” tutur Siska.
Untuk menangkal hal-hal demikian ini, perempuan perlu lebih waspada. Harus bisa memastikan setiap informasi yang diterima benar atau tidak. Agar tidak terjebak pada penyedia jasa yang tidak bertanggung jawab.
Siska berharap, lebih banyak orang memanfaatkan teknologi untuk membuat konten yang mengedukasi.
“Sekarng itu sesuatu yang jadi tren lebih mudah diterima. Terlepas dari hal lain, ada aksi bersih-bersih sungai jadi viral. Aku berharap yang viral ini yang positif, yang penting viral aja dulu. Dengan begitu, isu positif bisa jadi terdengar. Sebab media sosial ini dampaknya edan banget,” ucapnya.
Teknologi persempit kesenjangan
Sebagai seorang freelance MC (master of ceremonies), Rizqiani Putri (35) bersyukur atas perkembangan teknologi saat ini.
Kondisi saat ini jelas begitu berbeda ketika ia mengawali kariernya pada 2007 di Surabaya. Media sosial mempertemukannya dengan target market yang melek dengan digital platform.
Putri, begitu ia biasa disapa, secara aktif menggunakan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan YouTube. Ia membagikan aktivitas dan ilmunya di sana.
“Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan saya menjadikan media sosial, tentu yang ditunjang dengan internet yang stabil, untuk menjadi ruang etalase display dalam menampilkan protofolio saya,” kata ibu dari dua putri ini.
Tentu saja dia tetap harus terus memperbarui informasinya agar terus mengikuti perkembangan. Ia tidak hanya bisa tampil, tetapi juga bisa menghasilkan karya audio visual.
“Ada banyak info menarik, tutorial, bahkan kiat sukses adaptif dengan perkembangan platform diital. Saya yang tadinya stage performer, bahkan kini bisa menyunting video sendiri dan menghasilkan karya audio visual sesuai visi saya tanpa bergantung pada orang lain,” tuturnya.
Kini, Putri telah melebarkan sayap dengan mendirikan Sinergi Bicara yang menghadirkan kelas-kelas belajar public speaking untuk berbagai kalangan. Ia juga menghimpun komunitas pengembangan diri lewat Komunitas Teman Bicara.
Teknologi memberi ruang bagi siapa saja untuk berkarya. Tidak peduli latar belakang ekonomi, sosial, budaya, usia, bahkan jenis kelamin. Di mata teknologi, semua sama.
Meski begitu harus diakui, ruang digital belum sepenuhnya aman bagi perempuan. Masih ada celah yang mungkin disalahgunakan oleh orang dengan niat jahat, salah satunya karena informasi pribadi yang sedikit banyak juga dibagikan di internet.
Hal-hal semacam ini tentu membangkitkan kekhawatiran jika data tersebut dimanfaatkan oleh pelaku cyber crime.
“Sehingga sebagai user dan creator, kita harus ekstra berhati-hati, memilah dengan teliti informasi yang ingin dibagi, agar ruang maya tetap aman dan nyaman untuk kita bertumbuh dan berkarya,” katanya.
Kisah-kisah ini menjadi bukti, perempuan dan teknologi bisa berada di satu sisi.
Tidak ada perempuan yang gaptek. Yang ada hanyalah kurangnya akses teknologi bagi perempuan [*]
3 thoughts on “Perempuan dan Teknologi, Apa Kata Mereka?”
Pingback: Tradisi Mudik Tetap Lestari Meski Teknologi Makin Canggih
Pingback: Shilpi, Anak Gang yang Bertarung untuk Perubahan Sosial di HWC 2023 - digitalMamaID
Pingback: Membicarakan Stereotip Gender dengan Anak - digitalMamaID