PANDEMI bisa menjadi momen yang tepat untuk memulai gaya hidup atau kebiasaan baru. Menghabiskan lebih banyak waktu di rumah membuat kita punya banyak waktu juga untuk mengevaluasi pola hidup kita. Salah satunya cara kita mengelola sampah.
Mama pernah memperhatikan enggak, berapa banyak sampah yang kita hasilkan setiap hari? Lebih banyak atau justru lebih sedikit dibandingkan sebelum pandemi? Selama pandemi biasanya sampah bertambah karena lebih sering belanja online dan pesan makanan dari layanan pesan yang tentu menggunakan pembungkus, bahkan bungkusnya ada yang berlapis-lapis.
Sebelum pandemi, DKI Jakarta saja menghasilkan sampah sekitar 7.000-8.000 ton sehari. Kalau ditumpuk selama setahun bisa membuat bangunan sebesar 150 kali Candi Borobudur. Sementara sampah yang dihasilkan se-Indonesia mencapai 175.000 ton setiap harinya. Jumlah ini terus bertambahs eiring bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat dan bertambahnya jumlah penduduk. Saking banyaknya jadi tidak terbayangkan besarnya. Hmmmm… yang begini bisa bikin over thinking nih!
Tidak itu saja, sampah-sampah ini sebagian besar tidak dipilah. Sampah organik bercampur dengan sampah plastik dan sampah-sampah lainnya. Hanya 19 persen saja sampah yang sudah dipilah. Kalau semua orang hanya mengirim sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), berapa banyak lahan yang diperlukan untuk menampung semua sampah ini? Terus kalau TPA penuh, nasib kita bagaimana? Apa kita sudah siap melihat kota tempat tinggal kita jadi lautan sampah karena TPA sudah tidak cukup?
Ceritanya akan berbeda jika setiap keluarga mengelola sampahnya. Tidak semua sampah ditumpuk, menunggu diangkut oleh petugas sampah. Kalau setiap keluarga bisa mulai memilah sampah, jumlah sampah yang dikirim ke TPA bisa berkurang banyak lho, Mama!
Kemajuan teknologi membuat kita tidak sulit mencari referensi. Dengan bantuan internet, kita bisa cari tahu bagaimana sih cara memilah sampah yang baik. Kalau Mama mau memulai membuat kompos dari sampah sisa dapur juga sudah tersedia banyak sumber. Bahkan, Mama bisa belajar dari mereka yang sudah mempraktikkan gaya hidup minim sampah, bahkan zero waste lifestyle alias sudah enggak nyampah, Mama!
Siska Nirmala, pegiat zero waste adventure ini juga memulai gaya hidup tanpa sampah dari rumah. “Titik awareness itu memang ketika naik gunung, tetapi aku mulai ber-zero waste dari keseharian dulu. Aku yakin, petualangan itu dimulai dari rumah. Perjalanan, ke manapun itu, adalah representasi keseharian kita. Makanya ketika mau mengubah kebiasaan saat berkegiatan di alam bebas ya aku harus mengubah keseharian dulu,” tuturnya saat berbincang di digitalMama Talk #6, Selasa, 1 Juni 2021.
Saat ingin mengubah gaya hidup, kita sering tidak sabar. Ingginnya semua langsung berubah seperti sulap, dalam sekejap semua sudah berubah jadi serba baik. Padahal, Siska pun mengalami proses yang juga tidak sebentar. Ia memulai perjalanan zero waste-nya pada 2012. Ia memulai perubahan secara bertahap. Pada tahun pertama, selain mulai mengompos di rumah, ia mulai menerapkan tiga hal, yaitu menghindari botol air mineral, tidak menggunakan kantong plastik sekali pakai, dan membawa wadah sendiri saat jajan atau membeli makanan di luar.
Mama juga bisa memulai dengan hal yang sama. “Yang kira-kira menurut Mama paling gampang dihindari, yang tidak memberatkan,” ujarnya. Jadi, kalau Mama sekarang sudah bisa menolak sedotan sekali pakai, itu bisa terus dilanjutkan sambil belajar yang lainnya. Misalnya dengan membawa kantong belanjaan sendiri.
Bulkstore alias toko kelontong curah
Setelah sembilan tahun melakoni gaya hidup tanpa sampah, Siska kian menancapkan kakinya pada zero waste movement. Sejak 2020 ia memulai Toko Nol Sampah, sebuah bulk store yang ia bangun di kediamannya di Bandung. “Aku lebih senang menyebutnya toko kelontong curah,” ujarnya.
Di toko ini, pembeli bisa mendapatkan barang yang ia perlukan dengan membawa wadah sendiri. Jadi tidak ada sampah yang dihasilkan dari kemasan produk, maupun kantong yang dipakai untuk mengangkut belanjaan. Nol sampah.
Sebenarnya konsep toko seperti ini bukan barang baru. Sebelum penggunaan kresek dan plastik merajai sekitar dua dekade ke belakang, berbelanja membawa wadah adalah hal yang lumrah. Masih ingat tas belanja ibu ke pasar? Terbuat dari anyaman bambu atau dari kain. Awet meski dipakai berulang kali. Mama apakah juga masih ingat disuruh orangtua ke warung beli minyak goreng atau minyak tanah? Kita bawa jurigen dari rumah.
Bulk store yang kini mulai banyak hadir sebenarnya mengusung konsep yang sama dengan warung tempo dulu. Mereka mengajak kita kembali ke gaya hidup lama, tanpa sampah plastik sekali pakai. “Toko kelontong curah ini ya bulk store dalam kearifan lokal kita. Kalau di sana (barat), mereka enggak punya warung adanya minimarket. Jadinya sekarang ada bulk store,” tuturnya.
Siska mengatakan, Toko Nol Sampah ini diharapkan bisa menjadi ekosistem bagi para pelaku zero waste lifestyle. Mereka membutuhkan toko yang mendukung pilihan hidup mereka. Ini lah yang membuat Toko Nol Sampah, meski memiliki ceruk pasar yang sangat spesifik, semakin hari semakin banyak dikunjungi oleh orang.
Ekosistem semacam ini, tentu tidak hanya diperlukan di kota-kota besar saja. Mengingat zero waste lifestyle sudah diaplikasikan oleh lebih banyak orang, bulk store pun hadir di berbagai kota di Indonesia.
Anggarini, ibu dua anak ini memutuskan untuk meningalkan pekerjaan lamanya lalu berkonsentrasi membangun Kakkas Eco, bulk store pertama di Klaten. Semula, ia hanya berjualan sedotan pengganti sedotan sekali pakai. Lalu bertambah dengan menjual gelas atau mangkuk dari batok kelapa. Semuanya dikerjakan secara online.
Semakin lama, peminatnya semakin banyak. Konsumen mendorongnya membuat offline store agar menjadi ruang temu mereka. “Akhirnya aku memutuskan untuk resign (dari kantor) dan bikin offline store ini,” ujar Anggarini.
Meski sudah ada toko yang beroperasi setiap hari, ia tak segan menemui pelanggannya untuk bertransaksi atau COD. Ia biasanya mengantarkan sendiri pesanan pelanggan sejalan dengan rute yang ia lewati. Layanan ini untuk menyiasati lokasi tokonya yang tidak berada di pusat kota. “Tetap saja, aku bawa barangnya nanti ketemu dipindah ke wadah yang mereka bawa. Sama saja sebenarnya,” ujarnya.
Ia mengatakan, toko kelontong di mana-mana ada. Tapi di Klaten, bulk store semacam ini belum familiar bagi mereka yang belum mengenal gaya hidup tanpa sampah. Masih banyak yang belum memahami konsepnya. Mereka datang hanya ingin membeli barang, tidak siap dengan membawa wadah karena berharap akan diberi pembungkus seperti pada umumnya. “Biasanya kalau begitu, aku akan pinjemin wadahnya,” ujarnya.
Rupanya masyarakat kita sudah asing dengan model toko kelontong curah yang dulu pernah menjadi bagian hidup masyarakat kita. Ini lah tantangan terbesar yang dihadapi Anggarini saat ini. Perlu waktu dan upaya yang lebih tekun untuk mengingatkan masyarakat tentang konsep lama ini.
Barang-barang yang dijual di Kakkas Eco sebagian besar dipasok dari kota setempat. Ia menggandeng pengrajin besek (wadah dari anyaman bambu) setempat. Beberapa produk bahkan dipanen dari kebun sendiri. Teh rosella, bunga telang, beberapa produk hasil kebunnya sendiri. “Arahnya ingin menggandeng lebih banyak orang untuk terlibat di bisnis ini,” ujarnya.
Siska pun ingin tokonya memelihara nilai lokal. Produk-produk yang tersedia berasal dari Bandung. Ia menyediakan layanan antar hanya untuk area Bandung. Hanya barang tertentu yang bisa dikirim untuk ke luar area. Biasanya barang yang tidak perlu pengemasan khusus agar tak ada sampah yang dihasilkan dari pengiriman ini.
Siska dan Anggarini meyakini, setiap daerah bisa jadi mempunyai gaya, kebiasaan, juga selera yang berbeda-beda. Naik dari segi produk, maupun nilai-nilai lokal yang bisa diterapkan pada layanan. Inilah yang perlu menjadi perhatian bagi siapa saja yang ingin memulai membangun bulk store di daerahnya.
Teknologi bisa bantu apa?
Gaung gaya hidup ramah lingkungan ini tak akan nyaring tanpa bantuan teknologi, utamanya setelah era internet yang membuat media sosial naik daun. Siska menuturkan, media sosial menjadi kekuatan utama kampanye online zero waste movement.
“Membangun kesadaran orang tentang sampah tidak mudah. Yang bisa kita lakukan ialah sesering mungkin mengangkat isu ini di banyak ruang, baik online maupun offline. Fungsinya teknologi ini jadi membantu membentuk ruang-ruang itu yang mudah-muudahan di sana ada satu atau dua orang yang terbangun kesadarannya,” tutur Siska.
Dari segi bisnis pun, media sosial memiliki pengaruh yang besar. Kebanyakan konsumen yang datang mendapat informasi tentang Toko Nol Sampah dari Instagram. Tidak hanya konsumen muda, ibu-ibu yang usianya lebih tua pun datang karena melihat di Instagram. “Aku mulai melangkah ke Tiktok untuk toko. Itu ada yang datang karena tahu dari Tiktok. Seberpengaruh itu lho teknologi,” ujarnya.
Hal itu juga diamini oleh Angga. Mendirikan bulk store di kota kecil perlu upaya kuat untuk memperkenalkan pada khalayak ramai. Untungnya itu bisa dimudahkan dengan teknologi. “Bisa dikenal ya dari media sosial, dari market place. Orang jadi lebih mudah mencarinya. Kami jadi lebih mudah ditemukan. Ada yang dari Jogja, Solo, larinya ke sini juga,” katanya.
Kemudahan teknologi ini juga membantunya melebarkan jejaring. Bertemu dengan komunitas dengan visi yang sama dari berbagai kota, berkenalan dengan para penyedia produk yang bisa diajak kerja sama, dan lain sebagainya. Semua bisa terjalin dengan mudah dengan bantuan teknologi.
Kampanye gaya hidup minim sampah juga bisa memanfaatkan media yang makin beragam. Tidak cuma ngobrol, tapi juga bisa lewat video dan ditonton bersama untuk menumbuhkan kesadaran bersama. “Di sekolah anak, aku juga berusaha mempengaruhi sekolah anakku tentang less waste juga untuk anak-anak dan orangtuanya. Aku puterin video tentang plastik dan lainnya, akhirnya di sekolah habit less waste terbentuk juga,” ujarnya.
Sampah teknologi
Tren teknologi kini semakin berumur pendek. Tren baru muncul semakin cepat. Produk teknologi terbaru jadi semakin banyak. Coba deh Mama lihat lagi, ada berapa televisi yang ada di rumah? Atau barangkali Mama masih menyimpan handphone lama yang sudah tidak terpakai? Banyak juga kan gawai yang kemudian berakhir menjadi sampah.
Memang butuh latihan untuk bisa mengerem diri agar tidak tergoda sekadar mengikuti tren. “Aku menjalani zero waste ini karena dulu tinggal di rumah orangtua yang suka nimbun barang. Ketika tidak tinggal di sana lagi, aku enggak mau nimbun barang seperti itu,” kata Siska.
Akhirnya perlahan ia mulai melakukan decluttering atau mengurangi barang-barang yang tidak terpakai. Seringkali kekhawatiran suatu saat akan memerlukannya kerap menghalangi niat untuk mengurangi barang. Kekhawatiran seperti ini perlu disingkarkan perlahan.
Sebelum membeli gadget baru, ada baiknya bertanya sekali lagi pada diri sendiri, perlu atau tidak? Jika memutuskan untuk beli, segeralah menyingkarkan gadget yang lama. “Kalau sudah beli baru, yang lama jangan disimpan. Kalau sudah dikeluarin, kita enggak akan nyari kok. Kita menyimpannya hanya karena ‘kali aja ntar butuh’,” katanya.
Sekarang sudah banyak organisasi atau lembaga yang menyediakan drop box untuk menampung barang elektronik yang sudah tidak terpakai. Mama bisa mencari informasinya di internet untuk mengetahui lokasi drop box terdekat.
Semakin sedikit barang yang kita simpan, semakin lega ruang yang kita miliki. Hal itu akan membantu memperbaiki kondisi psikologis kita juga lho, Mama! Kecemasan dan kegelisahan bisa berkurang seiring bertambahnya ruang-ruang di sekitar kita. Enggak percaya? Mama bisa coba untuk merasakannya sendiri.
Membangun pola hidup yang baru memang tidak mudah. Tapi bukan sesuatu yang mustahil pula untuk dilakukan. Perubahan kecil yang kita lakukan setiap hari, bisa berdampak signifikan.
“Perubahan itu bisa dimulai dari dapur. Kita bisa mengubah sedikit apa yang kita makan. Memilah sampah bisa menjadi cara mengedukasi diri sendiri yang paling mudah. Dari memilah sampah, kita akan terdorong mengganti makanan tertentu karena susah memilah dan membersihkannya. Lama kelamaan, pola hidup akan ikut berubah,” tutur Siska.
Semoga Mama jadi terinspirasi untuk memulai mengelola sampah di rumah, ya!
3 thoughts on “Zero Waste Lifestyle, Teknologi Bisa Bantu Apa?”
and to develop properly, utilize, and spare our human and
herbal resources.”
We provide expert services that help nearby men and women help themselves. Native volunteer committees with their combination of talents and understanding, own the desire to create their communities far better. Important Hoosier Hills assistance gives unbiased assistance and support while allowing the leadership to continue to be localized, supporting local folks to gain realistic, community-minded ambitions. It will be this collaborative solution that “tends to make issues
occur.”
Historic Hoosier Hills is certainly governed by a board of Directors – localized residents who determine the services that Historic Hoosier Hills provides. Each director will be fitted to a two-year word by the sponsor they represent. The officers of the plank produce up the Business Committee. The board matches every different calendar month and the acting committee suits each 30 days the table does not really.
Historic Hoosier Hills sponsors more than 40 project committees that operate under the council. These committees shape to deal with one trouble or opportunity and will usually stop when their project can be finished.
Pingback: Perempuan dan Teknologi, Apa Kata Mereka? - digitalMamaID
Pingback: Mencegah Food Waste di Bulan Ramadan - digitalMamaID