digitalmama.id – Perempuan lebih emosional, laki-laki lebih rasional. Laki-laki pakai biru, perempuan pakai pink. Perempuan harus bisa memasak, laki-laki tidak boleh di dapur. Pernah dengar hal-hal seperti ini disampaikan kepada anak? Inilah yang dinamakan stereotip gender. Bagaimana seharusnya membicarakan stereotip gender dengan anak?
Stereotip gender pada anak tidak boleh dinormalisasi. Sebab akan menyuburkan bias gender yang akan mempengaruhi kesempatan perempuan mengambil peran di masyarakat.
Diplomat Perwakilan Tetap RI untuk PBB di Jenewa yang juga seorang ibu Nara Masista Rakhmatia mengatakan, ia berusaha membuat pengaturan peran yang lebih netral di keluarganya. Pembagian peran di rumah lebih didasarkan pada ketersediaan waktu dan kemampuan masing-masing.
“Anak terbiasa melihat saya cuci piring, suami buang sampah. Saya menyapu, suami cuci baju. Semoga anak di sini melihat, lalu terinternalisasi. Tidak perlu ada pembagian saklek antara laki dan perempuan,” katanya saat berbicara di Instagram Talk Hari Anak nasional bertajuk “Ada Apa dengan Stereotipe Gender pada Anak?” yang diselenggarakan oleh Ph.D Mama Indonesia, Sabtu, 22 Juli 2023.
Menurut Nara, cara ini bisa menjauhkan anak dari pola patriarki. Sifat baik tidak didasarkan pada jenis kelamin. Anak laki-laki maupun perempuan harus memiliki sifat-sifat baik. “Sebisa mungkin saya tidak mengatakan, seperti misalnya laki-laki tidak boleh menangis. Kalau harus ada atribut jenis kelamin, saya sampaikan yang netral. Anak laki-laki harus mandiri, harus bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Anak perempuan juga begitu,” tuturnya.
Upaya untuk menjauhkan pola pikir patriarki penting untuk menyiapkan anak-anak di masa depan. Jika diabaikan, situasi yang bias gender tidak akan berubah. “Bahkan di keluarga patriarki pun tidak ada jaminan laki-laki pasti bertanggung jawab. Bahkan yang banyak terjadi, istri mencari uang, istri juga mengurus keluarga. Laki-laki yang memimpin keluarga tinggal menengadahkan tangan,” katanya.
Padahal, selama ada kesepakatan, tidak masalah laki-laki dan perempuan bertukar tempat. Ibu bekerja, ayah bertanggung jawab dengan urusan rumah tangga semestinya tidak jadi soal.
Suburnya wacana bias gender
Prof. Vina Adriany, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan gender mengatakan, masih kentalnya stereotip gender pada anak tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara maju pun tidak lepas dari fenomena ini. “Dalam riset yang saya lakukan di Swedia, bahkan punya Undang-Undang Pendidikan yang eksplisit menyebut tidak boleh bias gender, ternyata masih ada juga,” katanya.
Selain faktor kultural, stereotip gender pada anak ini disuburkan oleh teori-teori perkembangan anak yang bias gender. Ia mencontohkan teori psikoseksual yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. “Katanya anak perempuan usia 3-5 tahun akan cemburu karena tidak punya penis. Ini dasar kenapa perempuan punya body inferiority. Ini pandangan yang bias gender. Ada sesuatu yang dianggap kurang dari anak perempuan,” tuturnya.
Teori perkembangan moral juga menganggap anak laki-laki lebih unggul. Anak laki-laki menggunakan pertimbangan rasional, sedangkan anak perempuan lebih emosional. Dan masih banyak teori yang justru melanggengkan stereotip gender.
“Teori ini diproduksi di universitas dan disosialisasikan ke guru, lalu ke orangtua lewat parenting. Akhirnya gagasan yang bias gender terus diproduksi dan direproduksi,” katanya.
View this post on Instagram
A post shared by Perempuan Studi Doktoral & Magister (@phdmamaindonesia)
Dengan perkembangan internet dan media sosial sekarang, teori tersebut bahkan berkembang dan bercampu baur dengan kultur pop. Hingga melahirkan pseudoscience, gagasan yang seolah-olah ilmiah tetapi sesungguhnya tidak menggunakan metode ilmiah sama sekali.
“Ada asumsi dominan yang kuat sehingga jadi kebenaran. Anak laki-laki harus A, anak perempuan harus B. Kalau tidak begitu maka dianggap perlu dikoreksi. tidak hanya dianggap lain, tapi lian,” tuturnya.
Mendiskusikan stereotip gender dengan anak
Vina berpendapat, salah satu cara untuk memutus rantai stereotip gender ialah dengan membicarakan hal ini dengan anak. Seringkali anak dianggap sebagai makhluk pasif yang hanya bisa menyerap informasi di sekitarnya.
“Kita harus percaya, anak punya kemampuan menginterpretasikan wacana yang ada di sekitarnya. Dia bisa mengubah makna. Kalau dia diajarkan konstruksi gender yang tradisional, kesempatan anak berubah di kemudian hari juga terbuka. Apalagi kalau diperkenalkan wacana lain, ada peluang untuk mengubah,” tutur Vina.
Anak tidak hidup di ruang hampa. mereka bisa memahami wacana yang beragam. Vina telah membuktikan pada risetnya yang melibatkan anak-anak usia 2-6 tahun. Ternyata mereka sudah bisa diperkenalkan dengan berbagai wacana. “Anak punya potensi luar biasa. Kita mengira anak enggak mungkin paham, ternyata mereka paham,” ujarnya.
Jika anak datang dengan pertanyaan seperti mengapa laki-laki tidak boleh pakai pink, mengapa anak laki-laki tidak boleh menangis, mengapa perempuan harus bisa memasak, maka orangtua harus menganggap ini sebagai kesempatan emas untuk berdiskusi dengan anak. Mama bisa merespons pertanyaan anak dengan memantiknya beropini. Misalnya, “Kalau menurut Kakak bagaimana?”
Tak perlu menunggu anak tumbuh besar untuk memahami soal bias gender. Ini jadi kesempatan baik bagi orangtua untuk memperkenalkan berbagai wacana kepada anak.
“Ini erat dengan bagaimana kita melihat anak. Apakah menganggap mereka punya suara? Setiap kebingungan dan pertanyaan anak itu jadi celah diskusi,” ujarnya.
Guru dan sekolah harus terlibat
Vina mengatakan, menghilangkan stereotip gender dimulai dengan menyepakati jenis kelamin dan gender adalah dua hal yang berbeda. Jenis kelamin merujuk pada kondisi biologis. Sedangkan gender merupakan konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh budaya, sosial, agama, juga politik.
Pemahaman yang sama terkait hal dasar seperti itu akan membuat masyarakat memahami bahwa persoalan gender itu nyata dan relevan untuk dibahas. Tidak hanya antara orangtua dengan anak, tapi juga guru dengan murid.
“Banyak yang menganggap membahas konteks gender ini tidak relevan dibicarakan dengan anak. Terlalu sulit dipelajari anak. Padahal pelabelan berbasis jenis kelamin itu terus terjadi. Bahkan permainan anak laki dan perempuan saja bisa terpisah,” katanya.
Tidak sedikit orangtua yang mengeluhkan bias gender di sekolah. Misalnya buku-buku pelajaran yang masih kental budaya patriarki. Ayah pergi ke kantor, ibu pergi ke pasar. Ibu memasak di dapur, ayah membaca koran. Hal-hal demikian membuat risau orangtua yang sudah mulai memperkenalkan kesetaraan gender di rumah.
Itu sebabnya,Vina menganggap perlu interfensi lembaga pendidikan. Guru perlu diajak untuk ambil bagian memutus stereotip gender pada anak. Jika tidak, ketimpangan kesadaran gender akan terus terjadi.
Hal ini juga bisa berlaku sebaliknya. Ada sekolah yang sudah sadar gender, tapi di rumah masih terjadi bias. Idealnya, kesadaran gender ini perlu dimiliki semua masyarakat. [*]