digitalMamaID – Perayaan Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day yang diperingati pada 8 Maret setiap tahunnya menjadi momentum penting bagi perempuan.
Satu hari itu, sedianya menjadi momen untuk mengingatkan pentingnya pemenuhan hak-hak perempuan.
Perempuan bisa mengutarakan, menyuarakan, dan menuntut hak-hak mereka yang masih belum terpenuhi dengan maksimal, baik di setiap ruang maupun bidang.
Pengaruh budaya patriarki yang kuat menjadikan perempuan seolah berada di posisi lebih rendah. Dengan kacamata patriarki, masyarakat melihat perempuan hanya mampu melakukan pekerjaan ranah domestik, atau yang biasa diistilahkan dengan “dapur, sumur, dan kasur”.
Perempuan juga kerap dianggap tak perlu-perlu amat dalam mengejar pendidikan formal, apalagi pendidikan tinggi.
Padahal, baik perempuan maupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Terlebih, pada era digitalisasi seperti sekarang, perempuan juga berhak untuk “melek” teknologi.
Maraknya kekerasan berbasis gender online (KBGO) sedianya menjadi salah satu alasan bagi perempuan untuk mampu menggunakan teknologi dengan tepat.
Paling tidak, perempuan terhindar dari KBGO yang mayoritas korbannya adalah kaum hawa. Dengan banyaknya perempuan yang menggunakan media sosial, ini menunjukkan perempuan juga semakin rentan menjadi korban KBGO.
Data Plan International tahun 2020 menunjukkan, 99 persen anak perempuan dan kaum muda perempuan menggunakan media sosial.
Mereka juga aktif mengunggah di media sosial (67 persen). Sebanyak 56 persen pengguna perempuan pernah atau melihat anak dan kaum perempuan muda mengalami gangguan di media sosial.
Di Indonesia, mayoritas perempuan mengalami pelecehan seksual di media sosial pertama kali pada usia 15-20 tahun. Sebanyak 19 persen redaman di media sosial terjadi di Facebook, sedangkan 10 persen di Instagram.
Komnas Perempuan periode 2012-2021 (10 tahun) menunjukkan, sekurangnya ada 49.762 laporan kasus kekerasan seksual.
Bahkan, dalam rentang kurang dari setahun pada Januari sampai November 2022, ada 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas, dan 899 kasus di ranah personal tercatat telah dilaporkan.
Sejarah International Women’s Day (IWD)
Perayaan Internasional Women’s Day (IWD) berawal dari aksi 15.000 perempuan yang turun ke jalan untuk menuntut hak mereka dalam peningkatan standar upah dan pemangkasan jam kerja di New York, Amerika Serikat pada tahun 1908.
Lalu, pada 1910, Clara Zetkin, salah satu aktivis perempuan mengajukan penetapan Hari Perempuan Internasional. Ia menyarankan setiap negara merayakan satu hari dalam setahun pada Konferensi Perempuan.
Usulan Clara akhirnya disepakati dalam Konferensi Perempuan yang diikuti oleh 17 negara dan beranggotakan 100 perempuan.
Perayaan International Women’s Day kali pertama dilakukan di Australia, Jerman, Denmark, dan Swiss pada 19 Maret 1911.
Aksi perempuan di dunia semakin gencar, salah satunya di Rusia. Mereka melakukan aksi damai menentang Perang Dunia I pada 8 Maret 1913. Berselang satu tahun, perempuan di Eropa menggelar aksi yang sama pada 8 Maret.
Pada Perang Dunia II, tepatnya pada tanggal 8 Maret, seluruh dunia menggunakan momentum tersebut untuk melakukan advokasi kesetaraan gender.
Setelah banyaknya aksi perempuan di dunia pada tanggal 8 Maret, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui 8 Maret sebagai hari perayaan International Women’s Day (IWD) pada 1975.
Kemudian, pada 1977, Majelis Umum menetapkan 8 Maret sebagai International Women’s Day dan perayaannya dilakukan setiap tahun.
Perayaan ini pun disambut baik oleh perempuan di seluruh dunia. International Women’s Day digunakan sebagai momentum dalam menyuarakan hak perempuan yang masih terabaikan.
Tema perayaan International Women’s Day 2023 yang ditetapkan oleh PBB dan UN Women ialah “DigitALL: Innovation and technology for gender equality”.
Perjuangan dan tantangan perempuan Indonesia
Staf Islam dan Demokrasi Fahmina, Alif memaknai perayaan International Women’s Day sebagai ruang konsolidasi gerakan perempuan.
Sebab, setiap hari orang-orang dan lembaga-lembaga yang konsen pada isu keadilan gender dan kemanusiaan bekerja mendorong pemberdayaan perempuan dan penguatan bagi perempuan dan lingkungannya.
“Di IWD individu dan lembaga-lembaga tersebut saling terhubung satu sama lain untuk bergerak dalam satu suara,” kata dia.
Ia juga menyampaikan, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh perempuan, terutama soal penyempitan ruang gerak perempuan.
“Ekspektasi masyarakat tentang peran ideal perempuan di masyarakat banyak yang akhirnya justru mendiskriminasi perempuan,” ucap dia.
Selain itu, kata Alif, ketimpangan relasi masih terjadi, baik di ranah domestik (keluarga), ranah publik. Misalnya saja di sekolah, masyarakat, hingga di produk kebijakan pemerintah, maupun internet (media sosial).
Manager Program Women’s Crisis Center (WCC) Mawar Balqis Sa’adah meyampaikan, kesempatan yang diberikan kepada perempuan dirasa belum cukup. Hal itu karena setiap orang memiliki situasi atau kondisi yang berbeda.
Perempuan, kata dia, sebagian besar mungkin sudah diberikan kesempatan yang sama. Namun, harus juga dipahami bahwa perempuan juga seringkali berada pada kondisi/situasi yang berbeda.
“Kebutuhan perempuan juga berbeda dengan laki-laki, adil bukanlah memberikan sesuatu yang sama untuk semua orang (laki-laki dan perempuan) karena kebutuhan yang juga berbeda,” ujar dia.
Sa’adah mencontohkan, dalam sebuah perusahaan, karyawan laki-laki tidak membutuhkan ruang laktasi karena tidak memproduksi ASI, sedangkan karyawan perempuan mungkin ada yang memiliki anak usia balita.
“Balita sendiri masih membutuhkan ASI eksklusif, maka di situ muncul kebutuhan ruang laktasi dengan segala sarana dan prasarana yang dibutuhkan perempuan untuk bisa tetap memenuhi kebutuhan anaknya yang masih balita,” ujar dia.
Menurut dia, perempuan masih memiliki banyak tantangan dalam menggapai equity dan equality. Masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu indikator belum tercapainya setara dan adil (equality dan equity).
“Salah satu faktornya adalah masih adanya ketimpangan relasi, di mana perempuan masih sering dianggap obyek, belum sebagai subyek,” ucap dia.
Akses teknologi
Masih kata Sa’adah, adil dan setara bagi perempuan tentunya dibutuhkan di segala bidang, termasuk di dalamnya adalah inovasi dan teknologi.
Kesempatan yang dimiliki perempuan dalam memahami dan mengakses inovasi dan teknologi masih belum maksimal.
“Mereka masih banyak yang terlalu disibukkan dengan tugas-tugas domestik atau hal-hal lain yang membuat mereka belum mendapatkan equality dan equity dalam hal teknologi,” kata dia.
Yuyus Citra Purwida dan kawan-kawan dalam bukunya “Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan Indonesia” mengungkapkan, sejak awal abad 20 hingga saat ini dapat disaksikan upaya-upaya baru yang menggugat keterpinggiran perempuan.
Rifa’ah Rafi al-Thahthawi (1801-1873 M) adalah orang pertama yang membawa pembaruan pemikiran Islam sekaligus tokoh yang mengkritik pandangan konservatif yang merendahkan dan memarjinalkan kaum perempuan.
Ia mengampanyekan kesetaraan dan keadilan gender serta menyerukan dibukanya akses pendidikan yang sama bagi kaum perempuan. Rifa’ah menjadi tokoh yang kemudian mempengaruhi pikiran para cendikiawan muslim.
Yuyus menuturkan, perempuan-perempuan Indonesia tengah mengalami problem besar kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam berbagai bentuknya dan berlangsung hampir di semua ruang dan waktu kehidupan.
“Mereka (perempuan) harus dibebaskan dari situasi ini dan dicerdaskan,” ujar dia.
Terbukanya akses pendidikan yang setara bagi laki-laki dan perempuan serta dukungan kehidupan demokrasi yang sehat menjadikan ruang bagi perempuan untuk meraih kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan bersama semakin terbuka.
“Kecerdasan dan kemajuan perempuan adalah kecerdasan dan kemajuan untuk semua,” ucap Yuyus. [*]
3 thoughts on “International Women’s Day 2023: Perjalanan Menuju Kesetaraan”
Pingback: Hari Perempuan Sedunia 2023: 14 Media Alternatif Perempuan Perjuangkan Media dan Teknologi Ramah Gender
Pingback: Perempuan dan Teknologi, Apa Kata Mereka? - digitalMamaID
Pingback: Kenapa Perempuan Alergi (Ngomong) Politik? - digitalMamaID