digitalMamaID – Di era serba digital, tanpa disadari telah membuat kita menumpuk benda-benda tak kasat mata. Saatnya untuk digital decluttering! Apa sih itu?
Decluttering berarti menyingkirkan benda-benda yang tidak kita pakai lagi. Jangan dikira decluttering itu hanya untuk benda-benda yang bisa kita lihat dan rasakan wujudnya, seperti baju, sepatu, tas, perabotan rumah, dan lain-lain. Kita juga perlu memilah benda digital milik kita, mana yang masih kita gunakan dan mana yang tidak.
Founder Lyfewithless Cynthia S. Lestari mengatakan, cara kita mengonsumsi platform dan konten digital perlu diperhatikan juga. Tidak hanya konsumsi makan minum dan benda lainnya. Apa lagi di era digital begini, cara kita mengonsumsi konten digital sangat rentan membawa kita pada konsumerisme alias belanja berlebihan. Membeli sesuatu bukan karena butuh, tapi karena lucu atau karena sedang flash sale saja. Siapa tahu suatu saat nanti butuh, begitu pikirnya.
“Tidak ada yang salah dengan konsumsi. Jadi salah kalau berlebihan. Itu yang kemudian jadi masalah,” katanya.
Di jagat digital, setiap saat kita dibanjiri konten. Tidak sedikit konten yang isinya mempengaruhi kita untuk membeli barang. Para digital marketer begitu lihai membuat berbagai benda itu seolah-olah penting untuk kita miliki sekarang juga. Tadinya tidak niat belanja, eh jadi borong!
“Menjadi masalah ketika kita enggak sadar dengan apa yang kita konsumsi. Karena begitu banyak orang yang terjun dan masuk ke dunia digital ini. Saking banyaknya, penting untuk menyadari apa saja yang kita konsumsi,” tutur Cynthia.
Menumpuk benda tak terlihat
Konten dan benda digital yang tidak terlihat wujud fisiknya ini membuat kita sulit menakar, apakah sudah sudah cukup atau malah kebanyakan. Beda dengan benda fisik. Tumpukannya memakan ruang dan mempengaruhi kenyamanan.
Meski tidak terlihat, benda-benda digital yang kita simpan juga memenuhi digital space, lho! Kelihatannya sih cuma satu benda ya, berupa handphone yang muat di genggaman. Tapi, coba deh buka galerinya. Selfie di satu lokasi bisa puluhan frame dengan senyum yang mirip-mirip. Pernah enggak Mama menghitung, berapa akun yang pernah dibuat di internet? Apakah semua Mama gunakan?
“Kita tidak merasa bermasalah karena benda digital ini tidak kelihatan,” ujar Cynthia. Tapi, apa benar tidak bermasalah?
Ringan sekali rasanya memiliki benda digital. Jeprat-jepret kamera lalu menumpuknya di galeri, unduh berbagai file dan menyimpannya di storage, download banyak aplikasi padahal belum tentu dipakai sebulan sekali. Mudah saja dilakukan karena menganggap semua itu gratis. Padahal menurut Cynthia, tidak ada benda yang kita miliki secara gratis, termasuk benda digital ini.
“Kelihatan free, tapi sebenarnya enggak. Kita menukarnya dengan informasi pribadi. Kedua, resource terpenting dari manusia, yaitu perhatian atau atensi kita. Apa sih saat ini yang penting selain kesehatan dan waktu? Ya perhatian kita. Punya perhatian lebih ke TikTok, punya waktu untuk scrolling. Sesuatu yang free itu enggak selalu free. Itu yang enggak disadari orang,” ucap Cynthia.
Mengapa digital decluttering penting?
Meski tidak terlihat, timbunan benda-benda digital ini kalau terus dibiarkan bisa membahayakan, lho! Kok bisa begitu?
“Kadang kita merasa sakit itu kalau kelihatan, seperti luka luar. Padahal banyak risiko ketika yang diserang adalah atensi kita, yaitu mental kita,” ujar Cynthia.
Beberapa dampak dari menimbun benda digital antara lain:
Sering tidak bisa tidur
Hal ini bisa terjadi kalau kita sering scrolling e-commerce atau terus-menerus menatap layar karena mengikuti TikTok Live.
Cepat burn out
Tanpa disadari semua konten yang kita lihat itu akhirnya menumpuk juga di kepala. Kepala jadi penuh, walhasil jadi mudah stres.
Distraksi saat bekerja
Kerjanya sepuluh menit, scrolling media sosialnya bisa satu jam sendiri. Semakin banyak media sosial yang kita miliki, semakin banyak waktu yang diperlukan untuk bergulir di lini masa.
Over buying
Terutama buat yang gampang FOMO, nih! Enggak bisa kalau enggak ngikutin tren. Padahal setiap hari selalu ada tren baru yang lahir dari media sosial. Antara satu platform dengan platform lain trennya bisa berbeda. Kalau semua diikuti, wah bisa berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk memenuhinya?
Dampak yang tidak terlihat begini bukan berarti tidak berbahaya. Perlahan-lahan menggerogoti sendi-sendi penting kehidupan kita. Sudah banyak kan cerita orang bangkrut atau terlilit utang karena mengikuti gaya hidup yang sementara saja.
Bagaimana memulai digital decluttering?
Pertama-tama, penting untuk merasa cukup. “Merasa cukup ini juga tidak terlihat dan bisa berbeda-beda bagi masing-masing orang. Ukuran harus berapa sih punya sesuatu, atau berapa lama sih butuh scrolling di e-commerce itu akan berbeda setiap orang. Harus masing-masing orang yang menentukannya batasannya sendiri,” tutur Cynthia.
Untuk menentukan batas ini, Mama bisa memanfaatkan teknologi. Para developer platform digital saat ini sudah menganggap digital wellbeing atau kesejahteraan digital ini penting. Itu sebabnya mereka mengembangkan fitur yang mendukung, misalnya fitur screen time yang bisa mengingatkan berapa banyak waktu yang telah dihabiskan di sebuah platform. Kita juga menggunakan fitur filter untuk membatasi konten apa saja yang ingin kita dapatkan. Misalnya kita bisa menggunakan fitur mute post di Instagram atau kita bisa memfilter kata-kata tertentu di Twitter.
“Kita bisa menjadi (pengguna) powerfull kalau tahu cara pakai fitur-fitur tadi. Jangan cuma jadi konsumen yang powerless, yang hanya bisa mengonsumi saja,” kata Cynthia berpesan.
Digital decluttering checklist
Ada beberapa cara yang menurut Cynthia yang secara umum bisa dilakukan untuk menyeleksi benda digital yang ingin kita buang dan mana yang kita simpan
- Menghapus foto di galeri handphone
- Menghapus aplikasi yang sebulan terakhir tidak pernah dibuka
- Membersihkan inbox email, misalnya unsubscribe newsletter yang tidak lagi diperlukan
- Menghapus SMS yang tidak penting
- Membersihkan chat group yang bersifat sementara, misalnya WhatsApp Group pekerjaan yang sudah selesai
- Bersihkan cache secara berkala
- Merapikan folder di laptop maupun handphone
- Merapikan file hasil unduhan, jika perlu beralih ke dokumen yang bisa diedit secara online sehingga tak perlu mengunduh saat memperbaruinya
- Evaluasi lagi following di media sosial untuk memfilter sumber informasi
Yuk, periksa lagi! Dari daftar di atas, kira-kira mana yang paling mendesak kita lakukan?
Manfaat digital decluttering
Biasanya, lega sekali kalau kita berhasil menyingkirkan barang-barang yang tidak lagi kita. Rumah rasanya lebih rapi dan nyaman karena tidak terlalu banyak barang. Suasana hati juga jadi plong!
Digital decluttering juga membawa kelegaan yang sama. Kita hanya menyimpan benda-benda digital yang bermakna.
Manfaat digital decluttering lainnya, kita jadi tidak perlu memaksakan diri untuk mempunyai handphone yang memiliki ruang penyimpanan besar. Perangkat jadi bekerja lebih optimal alias enggak lemot. Storage yang penuh akan mempengaruhi kinerja perangkat. Pekerjaan bisa terganggu, dong!
Atensi kita di dunia digital jadi tidak lagi tersita untuk hal-hal yang tidak penting. “Mau nyari foto awal Januari, kalau fotonya sedikit kan jadi enggak perlu lama-lama scroll,” kata Cynthia.
Paling penting nih, kita jadi enggak perlu lagi mengikuti apa yang dilakukan oleh orang kebanyakan. Kita enggak perlu selalu mengikuti tren di dunia maya. Selama sudah merasa cukup, kita tidak lagi takut ketinggalan tren dunia maya. Toh hidup kita masih baik-baik saja kok tanpa itu semua.
Berbagai tips dan panduan untuk merapikan benda digital kita bisa disimak di sini ya, Mama. Demi hidup yang lebih plong, yuk mulai digital decluttering!
2 thoughts on “Digital Decluttering untuk Hidup yang Lebih Bermakna”
Pingback: Decluttering di Rumah Setelah Liburan Berakhir - digitalMamaID
Pingback: Decluttering di Rumah Setelah Liburan - digitalMamaID