digitalMamaID – Bandung darurat sampah. Sudah lebih dari 1.000% Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti mengalami overload. Ini sudah terlampau kelewatan. Bukan lagi bicara persoalan preventifnya, tapi kita sudah terlalu abai dengan apa yang terjadi. Jika terus-menerus abai, bukan tidak mungkin kejadian 2023 akan terulang lagi, sampah yang menumpuk berisiko longsor dan meledak akibat gas metan.
Persoalan sampah yang sudah menahun ini tidak cukup diselesaikan di hilir atau pascakonsumsinya saja. Perlu upaya untuk memahami masalahnya serta meresponnya di sepanjang hulu-hilir produksi dan konsumsi. River Cleanup Indonesia bersama Lab Tanya dan Kota Tanpa Sampah mengadakan sustainability session bersama lebih dari 25 komunitas dan pegiat lingkungan di Cikapundung Riverspot, Bandung.
Dalam kegiatan ini, para penggerak yang diundang diajak untuk menjajal bermain kartu dalam permainan “Strategi Tiga Pintu Rumah Minim Sampah”. Dengan menggunakan empat skenario permainan, tiap kelompok kemudian melakukan pemaknaan kartu dengan harapan dapat melihat potensi, memahami persoalan dan pengelolaan sampah.
“Kegiatan ini sebenernya agar teman-teman bisa paham, belajar bareng mental dan perubahan perilaku, polusi, tentang pengelolaan sampah itu tidak berdasarkan dari bersih dan kotor. Bagaimana kita bisa paham ada pihak-pihak yang bisa bersinergi. Jadi sebuah pendekatan yang holistik dan berdampak lebih luas. Jadi, dari main kartu teman-teman bisa paham, ga tunjuk-tunjukkan lagi, gimana caranya berkolaborasi, berkomunikasi untuk memahami masalah dan mematahkan solusi-solusi,” ungkap Egar Anugrah, selaku Project Lead River Cleanup Indonesia ditemui langsung pada Sabtu, 16 November lalu.
Strategi tiga pintu
Strategi tiga pintu ini terbagi dalam pintu depan, tengah dan belakang. Pintu depan (pra-konsumsi), yaitu tahap pra-konsumsi. Kita harus tahu dan sadar apa yang mau kita konsumsi sejak dalam pikiran. Pintu tengah (konsumsi), semua sisa barang tidak buru-buru dibuang ke tempat sampah. Pintu belakang (pasca konsumsi), bagaimana cara memilah sampah, misal organik masuk ke komposter dan anorganik yang bisa di daur ulang, ke pengepul. Untuk limbah B3, baru ada tempat pembuangan sampah di pemerintahan, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi.
Menurut Adi Wibowo, Principal Architect & Researcher Lab Tanya, strategi tiga pintu ini pernah dipraktekkan bersama komunitas warga di tingkat RT dan RW dengan bereksperimen selama 14 hari untuk mengukur sejauh mana bisa mengurangi sampah rumah tangga.
“Di eksperimen kami, sampah bisa dikurangi 40%-99% dengan menerapkan strategi tiga pintu tadi. Jadi kita ngenalin kultur baru, dimana sampah itu bukan urusan bersih kotor lagi. Tapi sampah adalah indikator dari bermasalahnya cara produksi dan konsumsi kita, kalau mau beresin sampah, yang perlu di beresin adalah cara produksi dan konsumsi kita, di pintu depan, pintu tengah dan pintu belakang,” jelas Adi.
Lebih lanjut, Adi menjelaskan eksperimen ini diuji coba di banyak konteks masyarakat, ada di pinggir sungai di Banjarmasin, ada di padat kota, kelas menengah, sampai menengah ke atas dengan beragam latar belakang kondisi sosial ekonomi dan juga pendidikan dan hasilnya konsisten
“Jadi angka tadi itu angka yang dicapai dengan cakupan di rentang komunitas yang beragam tadi. Jika di rata-rata mungkin 80%, yg 99% tadi itu karena ada motif individual yang cukup besar. Tapi average upaya yang dilakukan dan direspon 80% sampah rumah tangga bisa dikeluarkan,” lanjutnya.
Jika melihat angka diatas, sebenarnya jarak ke masa depan yang berbeda, yang minim sampah itu jaraknya cuma kecil sekitar 15% maksimal 20%, bahkan 1%. Tapi, dalam realitas Adi mengungkapkan ada kabut tebal yang membuat dunia yang jaraknya dekat itu seolah jauh, tidak terjangkau.
Senada dengan Adi, Wilma Chrysanti, penggagas Kota Tanpa Sampah mengatakan strategi tiga pintu ini cukup efektif mendorong pengurangan sampah yang begitu banyak. “Dan kami pikir, kayaknya pengetahuan ini harus sesegera mungkin dan secepat mungkin tersebar, enggak harus nunggu kami. Makanya pada akhir tahun lalu, kami membuat modul rumah minim sampah dan strategi tiga pintu menjadi permainan kartu, agar pengetahuan tadi bisa disampaikan dengan cara yang lebih bersenang-senang, lebih santai,” tambahnya.
Momen Pilkada
Kondisi sampah sudah di level sangat rendah, Adi dan Wilma khawatir masyarakat mengganggap ini normal. Untuk itu, mereka berharap jika pemerintah tidak berdaya dalam persoalan sampah, minimal masyarakat atau lingkup keluarga terlebih dahulu yang berdaya dan bersuara.
Jika momen Pilkada atau Pemilu yang akan datang, kepemimpinan berganti di tingkat nasional atau daerah, persoalan sampah tak kunjung membaik, Adi mengimbau masyarakat harus bersuara, jangan menerima begitu saja kondisi kedaruratan yang ada. “Kalau kondisinya begini-begini terus, kita berhak marah. Karena kita telah memberikan waktu sekian panjang dan sekian lama untuk melihat satu babak yang berbeda. Kalau lima tahun masih begini dan bahkan makin buruk, ya sebagai warga kita layak untuk bilang, kita enggak percaya dan kita marah,” tegas Adi.
Mendedikasikan diri untuk mendorong perubahan pada persoalan sampah itu sesuatu yang melelahkan dan makan energi. Harapannya pemerintah bisa tegas dalam mengatur produsen untuk bertanggung jawab atas sampah produknya (extended producer responsibility). Lalu pemerintah juga serius dalam membuat regulasi dan menegakkan hukum serta membuat infrastruktur yang menjamin terwujudnya sistem produksi dan konsumsi yang lestari. Semua ini bisa berjalan dengan kekuatan kolektif semua pihak termasuk masyarakat. [*]