Istilah hoaks atau fake news tentu sudah cukup sering Mama dengar dalam beberapa tahun terakhir. Hoaks pada dasarnya adalah informasi yang sengaja dibuat seolah-olah sebagai kebenaran. Hoaks telah beredar sepanjang sejarah manusia dalam bentuk candaan, rumor, dan legenda yang beredar dari mulut ke mulut. Di era digital saat ini, internet menjadi kendaraan utama hoaks untuk menjangkau berbagai kalangan masyarakat dalam kecepatan dan jangkauan yang tak terbayangkan sebelumnya. Informasi yang salah dan menyesatkan bercampur baur dengan fakta yang benar, menyebabkan terjadinya problem yang dikenal sebagai polusi atau gangguan informasi (information disorder).
Kita patut bersyukur, di Indonesia gerakan literasi digital mulai tumbuh dari berbagai kalangan. Salah satu isu yang sering dikampanyekan adalah agar publik memahami bagaimana cara mengenali hoaks tidak menelan mentah-mentah setiap informasi yang diterima. Informasi yang beredar di berbagai media dan internet sesungguhnya tidaklah sehitam putih fakta versus hoaks. Gangguan informasi memiliki berbagai dimensi yang tidak dapat digeneralisir secara sederhana.
Sebagai konsumen media, kita perlu memahami berbagai spektrum gangguan informasi yang berpotensi menyesatkan atau mengecoh pembaca. Berikut adalah beberapa jenis gangguan informasi yang patut kita waspadai bersama.
Jenis Gangguan Informasi
Berdasarkan kebenaran dan tujuan di baliknya, gangguan informasi atau information disorder dapat dibedakan menjadi tiga jenis berikut ini.
1. Misinformasi
Misinformasi adalah informasi salah yang dibuat atau disebarkan tanpa bermaksud mengelabui pembaca.
Misinformasi dapat beredar karena kesalahan interpretasi atau kelalaian memeriksa kebenaran sumber berita. Media yang kerap berlomba menjadi yang pertama menayangkan berita terkadang tanpa sengaja menyebarkan misinformasi karena diburu waktu dan tidak sempat melakukan verifikasi sebelumnya.
Sebagai contoh, terkadang informasi yang kita tonton pada tayangan breaking news di televisi ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, misalnya dalam hal jumlah korban atau tersangka pelaku dalam sebuah tragedi. Demikian pula yang dilakukan oleh para pengguna sosial media, yang seringkali langsung membagikan informasi tanpa memeriksa terlebih dahulu kebenarannya.
Meskipun tidak ada niat untuk berbuat jahat, pembuat dan penyebar informasi yang bertanggung jawab selayaknya segera meralat informasi yang sudah terlanjur disebarkannya ketika mengetahui bahwa informasi tersebut ternyata salah. Sayangnya, informasi yang salah seringkali tersebar jauh lebih luas daripada koreksinya.
2. Disinformasi
Berbeda dari misinformasi, disinformasi adalah informasi salah yang sengaja dibuat dan disebarkan untuk mengelabui pembaca. Pembuat atau penyebar konten mengetahui bahwa informasi tersebut tidak benar, namun tetap menyebarkannya karena berbagai kepentingan pribadi atau kelompok.
3. Malinformasi
Jika kedua jenis gangguan informasi sebelumnya berupa informasi yang salah, malinformasi merupakan informasi yang benar, namun disebarkan dengan maksud buruk di baliknya.
Malinformasi seringkali berupa informasi yang seharusnya disimpan secara privat namun disebarkan ke ruang publik oleh pihak lain. Kasus celebgate yang terjadi tahun 2014, ketika foto pribadi para selebritis tersebar tanpa izin ke beberapa situs web, adalah salah satu contoh malinformasi. Demikian pula dengan kasus kebocoran data pribadi pengguna Facebook yang dijual pada perusahaan konsultan politik asal Inggris, Cambridge Analytica, awal tahun 2018 yang lalu.
7 Jenis Mis- dan Disinformasi
Claire Wardle dari First Draft, sebuah projek di bidang literasi media, mendefinisikan tujuh tipe mis- dan disinformasi berikut ini.
1. Satir atau Parodi
Satir adalah konten yang dibuat untuk menyatakan sindiran pada seseorang, sebuah organisasi, pemerintah, atau masyarakat dengan menggunakan parodi, ironi, atau sarkasme.
Meskipun seringkali membuat orang tersenyum simpul, fungsi utama satir adalah sebagai kritik sosial terhadap berbagai problem yang terjadi dalam masyarakat. Satir kerap menampilkan tokoh-tokoh fiktif yang merepresentasikan tokoh riil dalam kehidupan nyata untuk mengekspos keburukannya. Sebagian besar kartun politik di berbagai media massa adalah sebuah bentuk karya satir dengan menampilkan tokoh-tokoh politik secara komikal. Satir tidak selalu menyasar individu, namun terkadang juga menyindir fenomena yang banyak terjadi di masyarakat.
Contoh komik satir dari Mice Cartoon. |
Satir sesungguhnya tidak ditulis dengan maksud untuk mengelabui pembaca, dan umumnya paling tidak membahayakan di antara tipe informasi salah lainnya. Namun, pembaca awam yang tidak memahami gaya bahasa ini berpotensi untuk terkecoh dan menganggap apa yang dibacanya sebagai kebenaran, terutama ketika media yang menayangkannya tidak menggunakan label satir untuk memperjelas jenis kontennya.
2. Koneksi yang Salah (False Connection)
Informasi ini menggunakan judul, gambar, atau caption yang tidak berhubungan dengan konten beritanya.
Salah satu bentuk koneksi salah yang cukup populer belakangan ini adalah clickbait, yaitu teknik marketing digital yang bertujuan agar sebuah konten diklik dan disebarkan sebanyak-banyaknya oleh pengunjung. Pembuat konten umumnya menggunakan angka jumlah pengunjung atau page view untuk mendapatkan keuntungan finansial dari pemasang iklan. Sebagaimana namanya, clickbait menggunakan judul dan gambar yang menarik, sensasional, atau provokatif sebagai umpan (bait) untuk memancing pengunjung mengklik link. Namun, konten clickbait pada umumnya tidak sesensasional judulnya, sehingga pembaca yang terlanjur mengklik seringkali merasa kecewa atau tertipu.
Situs BuzzFeed seringkali dituduh menggunakan teknik clickbait dan harus menyangkalnya dalam satu artikel yang mereka publikasikan |
3. Konten Menyesatkan (Misleading Content)
Konten menyesatkan adalah penggunaan informasi untuk membingkai suatu isu atau individu tertentu.
Apakah tentara USA di foto ini sedang menodong ataukah menolong? Semua bergantung pada foto mana yang ditampilkan oleh media. |
4. Konteks yang Salah (False Context)
Konten ini berupa informasi benar yang disampaikan dalam konteks yang salah. Hal semacam ini dapat terjadi jika media menempatkan pernyataan seseorang, gambar, juga video dalam konteks yang tidak sesuai dengan aslinya.
False context umumnya digunakan untuk menggiring opini pembaca, baik untuk kepentingan politik maupun isu lainnya. Meskipun demikian, terkadang false context hanya terjadi karena poor journalism dan tidak berbahaya.
Di awal tahun 2018, beredar beberapa foto yang dikatakan sebagai akibat gempa di Lebak, Banten. Salah satunya adalah foto di atas, yang ternyata adalah foto jalan rusak di Wonosari, Yogya. |
5. Konten Tiruan (Imposter)
Tipe disinformasi ini adalah konten yang dibuat menyerupai sebuah sumber asli dengan tujuan untuk mengelabui pembaca.
Ada berbagai tujuan yang melatarbelakangi dibuatnya konten palsu semacam ini. Ada situs berita yang tampilan dan alamatnya menyerupai situs berita resmi, namun memuat berita palsu. Hal ini dilakukan baik untuk meraih keuntungan dari banyaknya pengunjung, maupun untuk membelokkan opini pembaca ke sudut pandang tertentu. Ada pula situs palsu yang dibuat menyerupai situs e-banking, menipu pengunjung dengan merekam login dan password, kemudian menggunakannya untuk membobol rekening nasabah. Di Indonesia, banyak dijumpai situs yang dibuat mirip situs bank resmi untuk menipu pengunjung yang diberitahu telah memenangkan undian, dan diharuskan mentransfer sejumlah dana sebelum menerima hadiahnya.
Contoh situs tiruan salah satu bank di Indonesia yang menawarkan hadiah undian. |
6. Konten yang Dimanipulasi (Manipulated Content)
Konten jenis ini berasal dari konten asli yang dimanipulasi, baik untuk sekedar iseng, memprovokasi pembaca, menyebarkan propaganda, maupun untuk kepentingan politik.
Salah satu contoh konten yang dimanipulasi dan terus menerus beredar di internet adalah foto seekor hiu yang sedang berenang di jalan raya yang dilanda banjir di bawah ini. Foto ini mulai beredar sejak tahun 2011 ketika badai Irene menerjang Puerto Rico dengan peringatan agar orang-orang tidak berenang di air yang menggenang setelah badai. Foto yang sama terus diedarkan dengan keterangan yang berubah-ubah lokasinya. Si hiu dikatakan ada di Houston, USA setelah hujan deras pada tahun 2015, di Florida setelah badai Matthew tahun 2016, dan kembali ke Houston setelah badai Harvey di tahun 2017. Banyak orang yang terkecoh, padahal foto hiu ini adalah hasil manipulasi dari foto asli seekor hiu yang sedang membuntuti kayak yang terbit di sebuah majalah.
Gambar hasil manipulasi (kiri) dan aslinya (kanan). |
7. Konten Palsu (Fabricated Content)
Konten palsu, yang juga disebut sebagai bogus atau fabricated content, 100% diciptakan dengan sengaja untuk mengelabui pembacanya.
Sejak tahun 1998, di internet beredar sebuah situs yang didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang sebuah spesies gurita yang hampir punah. Gurita pohon dari Pasific Northwest dikatakan dapat memanjat pohon dan hidup di hutan di daerah Olympic Peninsula, USA. Situs ini dilengkapi dengan penjelasan mengenai spesies gurita tersebut, foto-foto penampakan, ‘literatur’, juga cara menyatakan dukungan untuk menyelamatkan Gurita Pohon dari ambang kepunahan.
Penampakan gurita pohon. |
Mama tentu sudah menduga bahwa situs ini adalah sebuah contoh dari konten palsu, bukan? Situs ini memang merupakan karangan fiksi dari pembuatnya, Lyle Zapato. Namun, ternyata tidak semua orang dapat mengenalinya. Sebuah studi yang dilakukan di berbagai sekolah di Connecticut dengan meminta para siswa mengevaluasi situs Gurita Pohon ternyata menunjukkan bahwa sebagian siswa menyatakan bahwa situs ini ‘sangat dapat dipercaya’. Situs ini kemudian banyak digunakan sebagai materi tes untuk menguji penguasaan literasi informasi.
Situs gurita pohon kemungkinan besar diciptakan sebagai humor. Namun, pembuatan konten palsu dapat dilatarbelakangi oleh berbagai tujuan, baik keuntungan finansial, propaganda, maupun kepentingan politik, sehingga berpotensi menyesatkan dan bahkan membahayakan masyarakat.
Jenis Gangguan Informasi Lain yang Perlu Diwaspadai
Selain ketujuh tipe mis- dan disinformasi di atas, berikut beberapa jenis gangguan informasi lain yang cukup umum ditemui di berbagai media.
Konten Bersponsor (Sponsored content)
Banyak orang menganggap iklan yang ditayangkan secara langsung di berbagai media sebagai gangguan yang sedapat mungkin dihindari atau diabaikan. Konten bersponsor pada dasarnya adalah iklan yang dibuat dalam format yang tidak jauh berbeda dengan konten lain di media yang memuatnya, agar tidak serta merta diabaikan oleh konsumennya.
Sebagai contoh, konten bersponsor dalam sebuah blog umumnya akan berupa sebuah artikel edukatif seperti kumpulan tips, dengan produk sponsor yang diselipkan dengan halus di dalamnya. Konten bersponsor di saluran video akan berupa video yang menampilkan produk atau jasa yang mensponsorinya, dan di media sosial ia akan berupa post, tweet atau bentuk lain yang sama dengan konten lainnya. Para influencer media sosial (blogger, selebgram, dan lainnya) adalah pihak yang seringkali menerima titipan konten bersponsor dari berbagai perusahaan penghasil produk dan jasa.
Konten bersponsor juga bisa muncul pada mesin pencari. Perhatikan tanda yang menunjukkan bahwa hasil pencarian tersebut merupakan konten bersponsor. |
Konten bersponsor umumnya dibuat dengan bahasa yang menarik, humoris, atau edukatif, agar konsumen tidak menyadari bahwa ia sedang membaca iklan. Sebuah studi dari Universitas Stanford menyatakan bahwa 80% pelajar dalam sebuah survey menganggap konten bersponsor adalah berita sungguhan. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen media masih rawan terkecoh oleh jenis informasi yang satu ini.
Teori Konspirasi
Teori konspirasi menyatakan bahwa suatu fenomena terjadi karena adanya persekongkolan di balik layar antara pihak-pihak yang berkuasa dan memiliki tujuan tertentu. Teori konspirasi seringkali mengemukakan penjelasan yang berbeda dari apa yang diterima oleh masyarakat umum.
Problem utama pada teori konspirasi adalah pada falsifiability, yaitu bukti yang menunjukkan bahwa sebuah hipotesis ternyata salah. Tidak peduli sebanyak apa pun bukti nyata yang diajukan, seseorang yang mempercayai teori konspirasi akan selalu menganggap bukti tersebut hanya dibuat-buat dan merupakan bagian dari konspirasi itu sendiri.
Kepercayaan pada teori konspirasi didorong oleh kebutuhan manusia untuk memahami apa yang terjadi di sekitarnya, untuk merasa aman dan memegang kontrol atas lingkungannya, dan untuk menjaga imaji positif tentang diri dan kelompoknya. Seseorang cenderung percaya pada teori konspirasi jika kebutuhan di atas tidak terpenuhi, hingga merasa perlu menuding pihak ketiga atas apa yang terjadi di sekitarnya.
Contoh teori konspirasi yang banyak beredar adalah tentang para pendiri Amerika Serikat dan anggota kelompok rahasia Illuminati. |
Ada banyak sekali teori konspirasi yang pernah beredar dan mungkin pernah Mama dengar, misalnya tentang kelompok rahasia Iluminati yang ingin mengontrol dunia, pendaratan di bulan yang merupakan sebuah rekayasa, atau tentang vaksin sebagai senjata rahasia untuk melemahkan anak-anak.
Penggemar teori konspirasi, yang selalu bersikap skeptis pada media mainstream dan informasi dari lembaga resmi, seringkali diabaikan dan dijadikan bahan tertawaan. Namun, bersikap sebaliknya dengan mempercayai semua yang dikatakan media sesungguhnya juga bukanlah opsi yang lebih cerdas dalam era informasi sekarang ini.
Pseudosains
Ilmu semu atau pseudosains adalah pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktik yang diklaim sebagai sains tetapi sesungguhnya tidak dijalankan dengan mengikuti metode ilmiah.
Metode ilmiah dalam sains dijalankan dengan seperangkat standar untuk memastikan bahwa hasil yang didapatkan dapat dipercaya dan valid. Sebuah hipotesis harus diuji terlebih dahulu dengan eksperimen untuk mengetahui kebenarannya. Seluruh data dan prosedur harus didokumentasikan dengan teliti, agar dapat diproduksi ulang dan diverifikasi oleh orang lain.
Pseudosains seringkali berbeda dengan sains dalam beberapa hal sebagai berikut:
-
- Klaim yang berlebihan tanpa menyebutkan kapan dan bagaimana sebuah prosedur berlaku. “Ajaib! Menyembuhkan segala penyakit! Hasil akan tampak dalam beberapa menit saja!”
-
- Banyak menggunakan data yang berasal dari testimonial atau opini, bukan dari hasil eksperimen yang terkontrol. “Semua pegal-pegal di tubuh saya hilang setelah mengkonsumsi Jamu Gendong dua kali sehari selama tiga bulan berturut-turut (Sukarni, 55 tahun, Jakarta)”
-
- Banyak menggunakan jargon dan istilah-istilah yang terdengar sulit dan ilmiah bagi orang awam, padahal berpotensi menyesatkan. “Air yang memancar dari sumber ini telah termagnetisasi, terenergisasi, dan termineralisasi, dengan molekul-molekul yang jauh lebih kecil hingga dapat terasimilasi jauh lebih cepat ke dalam tubuh kita“
-
- Diusung oleh seseorang yang mengaku pakar namun tidak memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang memadai di bidang tersebut.
-
- Hanya mengulang-ulang konsep yang sama meskipun terbukti tidak benar, sedangkan dalam sains selalu ada fakta, penemuan, atau teori baru yang berkembang seiring waktu.
- Dipublikasikan hanya untuk masyarakat umum dan bukan untuk kalangan akademik, seringkali self-published, tanpa adanya review dan verifikasi sebelum terbit.
Ada beberapa pseudosains yang relatif tidak berbahaya seperti astrologi atau numerologi. Namun, pseudosains terkadang juga berpotensi membahayakan masyarakat awam dengan klaim-klaimnya yang bombastis meskipun tanpa bukti, terutama jika informasi yang diusung berkaitan dengan prosedur kesehatan.
Demikianlah beberapa jenis gangguan informasi atau information disorder yang marak kita jumpai di berbagai media saat ini. Semoga dengan mengenali berbagai jenis gangguan informasi di atas, Mama dapat lebih mawas diri sebagai konsumen media, juga mampu menahan diri dari berkata, bertindak, atau menyebarkan informasi tanpa memeriksa dulu kebenarannya.
Artikel ini diperbaru tanggal 18 November 2019.
Referensi
- Claire Wardle. Fake News, It’s Complicated. First Draft. 16 Februari 2017. Diakses tanggal 05 Juli, 2018.
- Claire Wardle, PhD dan Hossein Derakhsan. Information Disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policymaking. Shorenstein Center. 31 Oktober 2017. Diakses tanggal 05 Juli, 2018.
- Luc Steinberg. Beyond Fake News – 10 Types of Misleading News. EAVI. 26 Juli 2017. Diakses tanggal 05 Juli, 2018.
3 thoughts on “Tak Sekedar Hoaks, Kenali Beragam Gangguan Informasi di Era Digital”
Pingback: Tiga Tantangan Literasi Digital 2023
Pingback: Jelang Pemilu, Hoaks Politik Semakin Banyak - digitalMamaID
Pingback: Jelang Pemilu 2024, Pemerintah Diminta Antisipasi Meningkatnya Hoaks