digitalMamaID – Penting bagi anak-anak dan kaum muda memahami hak-haknya di era digital ini. Salah satunya, mendapatkan ruang digital yang ramah anak.
Gen Z dan Gen Alpha tumbuh di era yang didominasi teknologi dan internet. Di saat yang sama ruang digital belum aman bagi mereka. Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), cyberbullying, peretasan, konten berbahaya, bahkan eksploitasi anak menjadi ancaman serius.
Hal ini membuat pegiat hak anak, Fahri Azizurrahman, sekaligus Tokoh Inspiratif Anak versi KPAI dan juga perwakilan Ashoka Young Changemaker 2023 membuat Gerakan Anti Kekerasan (GAK). Gerakan ini dimulai sejak 6 Februari 2023. Komunitas ini berfokus pada isu perempuan, anak serta kesetaraan gender.
“Jadi kami bertujuan meningkatkan awareness masyarakat, khususnya anak muda, untuk ikut berkontribusi melawan kekerasan terhadap anak dan perempuan,” katanya saat menjadi pembicara di Forum Internet Sehat bersama ICT Watch, Kamis, 25 Juli 2024.
Semua itu berawal dari pengalaman buruk yang menimpanya. Saat pandemi Covid-19, semua orang bersosialisasi menggunakan gadget dan media sosial. Saat itu, akun Instagram Fahri diretas lalu disalahgunakan. Ia juga menjadi korban dari pelecehan seksual. Atas keresahan itulah Fahri mendirikan GAK. Awalnya hanya beranggotakan lima orang. Sekarang sudah mencapai 500 orang di seluruh Indonesia.
Lawan KBGO
Berdasarkan laporan Komnas Perempuan, angka kasus KBGO pada saat pandemi mengalamai peningkatan. Dari 214 kasus di tahun 2019, melesat menjadi 940 kasus di tahun 2020.
KBGO sendiri merupakan kekerasan yang terjadi karena adanya relasi kuasa gender antara korban dan pelaku di ranah online atau menggunakan teknlogi digital sebagai medium. dan tidak terbatas pada yang tertransmisikan melalui internet. Bentuknya ada yang berupa pendekatan untuk memperdaya atau cyber grooming, pelecehan online atau cyber harassment, ada peretasan atau hacking, konten ilegal, serta ada pelanggaran privasi.
“Pelanggaran privasi jika ada pihak-pihak atau oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menyebarkan privasi teman-teman yang seharusnya tidak disebar. Atau teman-teman yang berpacaran atau melakukan hubungan antara lawan jenis, melakukan pengancaman distribusi foto atau video pribadi. Atau menyebarkan foto aib, ketika teman sedang tidur itu merupakan bentuk KBGO yang sering terjadi di kalangan anak-anak dan remaja di sektor pendidikan,” paparnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), KBGO disebut dengan istilah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE). Kategori ini diatur di Pasal 4 ayat 1 huruf (i).
GAK sendiri turut andil dalam membahas dan mengusulkan ke Komisi 4 DPRD Provinsi Bengkulu, mendorong adanya peraturan daerah dan peraturan gubernur tentang isu KBGO.
“GAK itu ada dua program, ada program edukasi dan program advokasi. Jadi teman-teman di GAK Provinsi Bengkulu kita kan dinaungi Yayasan PUPA (Pusat Pendidikan Untuk Perempuan dan Anak). Jadi setiap satu bulan sekali kita ada pertemuan audiensi ke DPR atau pihak-pihak dinas yang terkait. Kami juga sempat ke Dinas Dikbud untuk mendesak mereka untuk mengimplementasikan TPPK terus Permendikbud 46 yang seharusnya ada di setiap sekolah. Jadi kita mendesak itu, bahwa predator-predator atau oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab harus dimusnahkan di sektor lembaga pendidikan,” lanjutnya.
Pelibatan anak muda
Jawara Internet Sehat Cristin Setianingrum mengatakan, ruang digital dikatakan aman bagi anak-anak jika mereka berani menyuarakan pendapatnya. Cristin sendiri telah mengampanyekan isu hak anak sejak 2016.
“Pendapat kita sebagai anak muda, sebagai anak-anak tuh penting. Itu yang kemudian bisa dimaksimalkan ketika punya ruang digital yang aman. Kemudian kalau menurutku terkait partisipasi dan pelibatan anak juga, harusnya anak nggak hanya dijadikan pajangan saja ya, misalkan ketika ada webinar seperti ini, anak diundang jadi peserta, setelah selesai kemudian sudah, tapi nggak ada kesempatan untuk anak berpendapat atau bahkan sampai naik level lagi pendapat mereka kita pertimbangkan,” ungkapnya.
Hal inilah yang membuat Cristin maupun Fahri giat memperjuangkan bagaimana supaya anak-anak bisa berpartisipasi dan terlibat aktif. Hal itu tidak lain agar suara anak-anak benar-benar didengarkan dan dilaksanakan oleh orang-orang dewasa, orang-orang yang punya keputusan-keputusan penting di dunia digital.
Menurut Cristin, setidaknya diperlukan tiga pilar dasar jika anak-anak muda ingin menjadi ‘changemaker’ atau menjadi dampak untuk orang lain. Ketiga pilar itu adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Jika tiga pilar ini sudah kokoh maka perubahan bisa tercapai.
“Jangan malu untuk memulai advokasi ke orang dewasa, khususnya pihak-pihak yang tadi, yang punya kekuasaan untuk memutuskan satu hal, dua hal, tiga hal, banyak hal-hal penting di pemerintahan. Atau kita bisa kerja sama dengan lembaga-lembaga atau juga bisa membuat lembaga sendiri, seperti yang Fahri lakukan dengan GAK-nya,” kata Cristin.
Lapor, Ceritakan, Tuntaskan!
Untuk pencegahan dan penyelesaian KBGO, Fahri memiliki beberapa tips yaitu LCT (Lapor, Ceritakan dan Tuntaskan). Jika ingin menyelesaikan suatu kasus KGBO, bisa melapor lewat aplikasi Mela Lapor. Aplikasi ini dapat diunduh di Play Store dengan akses hotline 24 jam dan privasi yang dijamin aman.
Kemudian bisa menceritakan apa yang terjadi lewat Curcool.com. Di sana boleh curhat bebas selama 50 menit tiap sesi bersama psikolog-psikolog yang sudah tersertifikasi. Penggunanya bisa memilih bercerita dengan siapa.
Terakhir, tuntaskan dengan melakukan upaya agar kasus serupa tidak boleh terjadi lagi. “Kita buat campaign, kita deklarasikan bahwa kita menolak kejahatan-kejahatan di internet. Kita anak muda stop cyberbullying, bahwa internet kita harus sehat, bahwa SDM kita harus cerdas dan kita harus percaya bahwa kita bisa mewujudkan Indonesia Emas 2045,” lanjutnya.
Menghadapi situasi ini, Widuri dari ICT Watch mengingatkan ada pekerjaan rumah yang besar juga bagi orangtua. Misalnya perlunya mempelajari upaya apa saja yang bisa ditempuh agar anak aman di internet.
Salah satunya belajar terkait dengan penggunaan aplikasi yang ditujukan untuk keamanan untuk anak. Misalnya saja penggunaan aplikasi parental control seperti Google Family Link. Dengan aplikasi ini orangtua bisa mengetahui apa saja yang diakses oleh anak di internet.
Widuri mengatakan, jika konten yang diakses mengarah ke seksual, kekerasan, atau konten berbahaya lainnya bisa sampaikan kepada anak. Anak bisa diarahkan untuk memanfaatkan fitur blokir atau tidak tertarik. Hal-hal ini perlu dibiasakan demi kesehatan mental di ruang digital.[*]