digitalMamaID – Apakah Mama merasa kesulitan saat bekerja atau saat menjadi ibu rumah tangga? Hal ini bisa terjadi karena kurangnya support system perempuan.
Rasanya lingkungan di sekitar Mama kurang mendukung sehingga menghambat Mama untuk berkembang baik sebagai pribadi dan sebagai ibu. Hal ini rupanya banyak dirasakan banyak perempuan atau mama di luar sana.
Mengangkat persoalan ini SheStarts bersama Kalis Mardiasih berbincang di webinar “Perempuan Bercerita di Ramadan: Support System yang Tepat Dukung Perempuan Raih Cita-Cita”, Rabu, 20 Maret 2024.
Apakah itu support system untuk perempuan?
Support system atau system pendukung adalah rangkaian solusi untuk mendukung suatu aktivitas, misalnya dalam hal ini untuk perempuan. Support system hadir karena ada permasalahan atau hambatan yang harus diatasi oleh perempuan.
Perempuan memiliki dua akar masalah dalam kesehariannya, hambatan internal dan eksternal. Hambatan internal berhubungan dengan tubuh atau biologis misalnya menstruasi, kehamilan bagi perempuan yang menginginkannya, demikian pula dengan perempuan yang memilih melahirkan dan menyusui bayinya. Hambatan lainnya adalah hambatan eksternal yang berasal dari luar tubuh perempuan, misalnya dari lingkungan sekitar, stigma, kekerasan berbasis gender, dan lainnya.
Selain hambatan di atas, perempuan juga harus menghadapi hal-hal lain yang sebenarnya bukan hambatan tapi ternyata menghambat perempuan dalam bergerak. Misalnya hambatan geologis.
Menurut Kalis perempuan yang tinggal di kota kebanyakan lebih percaya diri karena hambatan yang dihadapi lebih sedikit daripada perempuan yang tinggal di daerah. “Banyak perempuan di daerah misalnya tidak melanjutkan pendidikan karena terhambat ekonomi dan terjebak pada pernikahan di bawah umur. Atau seperti perempuan di Aceh yang kebanyakan terhambat dalam proses aktivitas pengembangan diri karena terdapat polisi moral di sana,” tutur Kalis.
Kalis juga membeberkan temuan baru untuk tulisan yang sedang ia kerjakan yaitu tentang hambatan yang dialami perempuan yang sebelumnya tidak banyak disadari, yaitu tentang hambatan biologis. “Saya menamakannya sebagai sexuality and reproductive disability. Ini keadaan di mana perempuan mengalami masalah dari organ reproduksinya seperti mengalami PCOS atau masalah-masalah reproduksi lain yang membutuhkan pengobatan khusus sehingga membuat perempuan butuh lebih banyak effort dalam menggapai impiannya,” ujar ibu dari satu anak ini.
Support system bukan hanya dari keluarga inti
Perempuan seringkali merasa insecure saat menjalankan peran keperempuanannya. Saat ia menjadi dirinya secara pribadi atau setelah menjadi ibu saat sudah menikah dan memiliki anak. Sayangnya perasaan insecure ini justru banyak bermula dari penanaman pemahaman yang salah sejak kecil dari keluarga inti.
Keluarga inti yang diharapkan menjadi support system perempuan yang pertama justru absen dalam membentuk pribadi perempuan yang lebih tangguh.
Banyak anak-anak perempuan yang sejak kecil dididik untuk lebih menonjolkan kecantikan fisik dibanding mengajak mereka untuk menjadi lebih pintar dan berdaya. Belum lagi membatasi pilihan-pilihan untuk mereka saat mulai dewasa.
Bila hal ini terjadi, kita sebagai perempuan hendaknya sadar dan segera mencari solusi. “Saat support system perempuan tidak terpenuhi di keluarga inti, hendaknya dicari support system lain di luar keluarga, baik itu komunitas, belajar dari platform digital dan juga berharap pada negara. Apakah negara sudah menjadi support system untuk perempuan-perempuannya?” tutur Kalis.
Bekal perubahan untuk perempuan
Bekal perubahan untuk perempuan adalah pengetahuan. Karena dari pengetahuan yang kita dapat mendorong pada kesadaran diri, lalu mendorong lagi kita untuk memiliki sikap atau tindakan dan berujung pada perubahan perilaku.
Kalis menceritakan, ia memiliki privilege dalam akses pengetahuan dibanding perempuan lain di desanya. “Di desaku semua perempuan tidak ada yang berkuliah. Kebanyakan menjadi buruh pekerja. Aku saat masih menjadi pelajar memiliki akses terhadap bacaan, senang membaca di perpustakaan. Bayanganku terhadap masa depan dibantu oleh kehadiran teenlit yang kubaca. Teenlit untukku bukan hanya memberikan bayangan tentang percintaan tapi juga tentang kehdupan yang lebih baik. Kebiasaan ini yang membuatku berbeda dari perempuan seumuranku di daerah yang sama,” cerita Kalis.
Di era modern seperti saat ini, hadirnya platform digital membawa perubahan bagi perempuan dalam mengakses pengetahuan.
Banyak program tersedia untuk perempuan. Masalahnya justru berasal dari internal perempuan seperti kurang percaya diri yang banyak dialami oleh perempuan yang mengalami jeda karir setelah memiliki anak.
Kalis percaya bahwa saat perempuan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, ia harus tetap berdaya. Berdaya di sini adalah mereka tidak tercerabut dari ruang-ruang sosial di luar rumah. “Ibu rumah tangga harus memiliki jam profesional. Misalnya di akhir pekan sebaiknya seorang ibu libur dari aktivitas pengasuhan dan urusan domestik. Sehingga dia dapat mengakses aktivitas atau edukasi yang akan memberdayakan dirinya,” tutur Kalis. Ia menekankan, ibu tidak perlu merasa bersalah karena berusaha menjadi perempuan berdaya.
Fenomena perempuan saling menjatuhkan
Kita sering melihat fenomena perempuan saling menjatuhkan di banyak media sosial. Saling memberi komentar jelek, saling nyinyir di kolom komentar. Women support women ternyata tidak melulu berlaku dalam kehidupan sosial banyak perempuan.
Kalis melihat fenomena ini bukanlah hal yang alami, melainkan hal yang dapat dipelajari. Menurutnya pengetahuan atau pengalaman yang didapat perempuan, pengaruh dari luar seperti budaya layar diinternalisasi sehingga menjadi sikap saling bersaing di antara perempuan.
“Misalnya di cerita-cerita sinetron TV tentang azab. Cerita yang dihadirkan selalu berkutat pada kisah dua perempuan baik yang diselingkuhi dan perempuan nakal yang menjadi pelakor. Yang baik bagaimana fisiknya, yang nakal bagaimana. Dua perempuan ini berkelahi merebutkan seorang lelaki. Kita dibuat lupa bahwa the real evil adalah suami yang abuse istri sahnya bukan pada cerita persaingan antar kedua perempuan,” kata Kalis.
Cerita-cerita seperti ini dididik kepada perempuan berpuluh-puluh tahun sehingga menghasilkan pemahaman tentang persaingan, kecurigaan terhadap sesama perempuan.
Lebih lanjut bisa disimpulkan bahwa internalized patriarchy dan internalized misogyny dihasilkan dari budaya layar. Hal-hal seperti ini berdampak pada pemahaman perempuan yang menganggap musuh mereka adalah sesama perempuan. Melupakan fakta bahwa musuh nyata perempuan adalah diskriminasi.
Negara sebagai support system perempuan
Upaya perempuan untuk berdaya banyak terhalang oleh urusan domestik. Multitasking seolah-olah hanya dibebankan perempuan. Banyak yang lupa, kemampuan multitasking yang dimiliki perempuan adalah adaptasi perempuan dalam keterbatasan yang dialaminya.
Dalam hal ini, Kalis menuturkan, negara berperan besar untuk menjadi support system perempuan. Contoh kecil adalah transportasi umum. Banyak perempuan pekerja akhirnya resign karena persoalan transportasi yang belum ramah ibu dan anak. Padahal saat ini banyak kantor sudah mendukung ibu bekerja dengan anak dengan memiliki aturan dan fasilitas yang diperlukan, namun akhirnya kalah dengan persoalan transportasi umum yang jarang dilihat banyak orang sebagai masalah penting.
Transportasi sebagai instrumen yang dipakai setiap hari tentu menjadi penting dan harus disiapkan dengan baik oleh negara. Permasalahan ini bila dirunut menjadi kompleks. Transportasi umum yang belum terkoneksi penuh dari rumah sampai tujuan, berdesakan di kereta, naik turun tangga untuk ibu dan bayi, keamanan ibu dan anak berjalan di trotoar. “Seharusnya menjadi perempuan tidak semenderita ini bila negara andil banyak untuk menjadi support system terhadap perempuan,” ujar Kalis.
Kesadaran akan kesetaraan gender mutlak diperlukan
Pasangan suami istri harus memiliki kesadaran akan kesetaraan gender dalam pembagian tugas domestik dan pengasuhan anak. Kesadaran ini harus juga diterapkan di ekosistem kantor. Sehingga lingkungan kerja bisa mendukung dan memandang perempuan pekerja sebagai aset bukan beban.
Laki-laki yang tidak sadar untuk berbagi peran pengasuhan dan urusan domestik, bisa sangat abai di rumah.
Misalnya sepulang bekerja tetap bisa bermain game online dan menonton daring. Belum lagi untuk peran pengasuhan. Saat ini menjadi care giver orang tua lebih dibebankan kepada anak perempuan dibanding anak laki-laki.
Pendidikan kesetaraan hendaknya diajarkan orang tua sejak kecil. Berikan pemahaman kepada anak tentanng hakikat manusia, tidak boleh saling menyakiti, saling menghormati, tidak boleh melecehkan, merendahkan. Sepanjang bertumbuhnya anak, akan banyak pemahaman yang masuk ke kepala anak, sehingga harus sering dievaluasi orang tua karena siapa tau pemahaman yang kita tanamkan sejak kecil kepada mereka berubah.
Perempuan berdaya untuk perubahan
Ketika edukasi pemahaman kesetaraan gender sudah didistribusikan di platform digital oleh para aktivis kesetaraan gender, nyatanya berujung pada kenyataan bahwa konten ini akan menjadi elitis. Karena yang akan menikmati konten-konten tersebut adalah perempuan-perempuan yang memiliki akses gawai dan akses internet saja.
Soal konten edukasi perempuan untuk mereka yang ada di desa, hal utama yang harus diperbaiki lebih dulu adalah ekonominya sebelum berbicara yang lain. Perempuan di desa yang berdaya secara ekonomi bisa memiliki penghasilan sendiri untuk membeli kuota agar menjangkau edukasi di platform digital.
Perempuan yang sadar akan kemampuan dirinya mempunyai nilai diri yang tinggi. Nilai tinggi ini akan berwujud pada kesadaran bahwa menjadi perempuan harus berkembang apapun status yang disandangnya. Apalagi di era modern seperti saat ini, mengetahui nilai diri adalah sebuah mode bertahan yang baik untuk menjaga kesehatan mental perempuan. Bahasa populernya, positive vibes only.
Jadi, sejauh apa support system mana yang masih kurang membantu Mama berkembang? [*]