Saat saya menuliskan ini, persis di samping laptop, putri bungsu saya yang baru bisa merangkak sedang asyik mengacak-acak semangkuk sereal-tanpa-susu milik kakaknya.
Sementara itu, putri kedua saya, pemilik semangkuk sereal itu, sedang mondar-mandir dengan motor mainannya yang sangat tralala trilili. Klaksonnya itu, lho, enggak nyantai banget. Tipikal mainan anak-anak dengan suara menggelegar yang kalau disetel di waktu subuh bisa membangunkan satu RT untuk salat berjemaah.
Kakak mereka, yaitu putri sulung saya, sedang rebahan di kasur karena sakit. Beberapa kali ia meminta tolong diambilkan air, mainan, dan camilan. Beberapa kali pula ia dibuat bete oleh keisengan adiknya. Ia pun ngomel. Adiknya enggak terima, jadilah keduanya kompak mengadu, “Ibuuuuuuu!”
Sungguh sebuah suasana yang tidak ideal untuk berpikir sistematis apalagi menulis sebuah esai naratif. Sangat jauh dari idealisme para pembaca tentang pekerjaan penulis.
Tidak ada kafe dengan lampu-lampu estetik, tidak ada pemandangan es kopi susu di sebelah laptop berlogo buah apel digigit, dan tidak ada tiupan saksofon Kenny G. untuk menemani saya menikmati ketenangan.
Saat itulah kepala saya memutar ingatan jargon motivasional yang sering saya dengar.
“Ibu berdaya? Bisa! Bisa! Bisa!”
“Halah, berdaya, mau bernapas dengan tenang saja susah ini, Mbak.”
Syukurlah saya masih cukup waras sehingga tidak stres, tapi tetap ngomel, sih.
“Nak, Ibu bukan gurita, tangan ibu cuma dua, bukan delapan. Jadi, tunggu, ya. Sabar sebentar. Ibu mau nulis dulu, plis….”
Gambaran kehebohan itu tidak sering kita dengar ketika kita membicarakan tentang ibu yang ingin berdaya. Saat menyebut ibu berdaya, yang terbayang oleh sebagian orang adalah perempuan dengan outfit kece, make up natural, duduk di depan laptop untuk mengisi webinar bisnis.
Sayangnya, kenyataan tidak seindah cerita yang kita saksikan.
Support system
Saat seorang ibu menyebut dirinya ibu berdaya, sebenarnya ia bukan hanya menceritakan dirinya, tetapi menceritakan sebuah sistem yang membuat dirinya bisa berdaya. Hanya saja, sistem itu sering kali luput dari sorotan.
Ya, sistem. Seorang perempuan lebih mungkin bisa berdaya jika ia memiliki support system yang baik, entah suami yang mau berbagi peran, asisten rumah tangga yang membereskan rumah, atau keluarga lain yang ikut mengurus anak-anak.
Saya sendiri merasakan dampak positif support system terhadap karier saya sebagai seorang ibu dan penulis buku.
Dulu, saya mengerjakan pekerjaan rumah tangga berdua saja dengan suami. Suami mesti bekerja pula, jadi terkadang saya pun tak tega padanya, meskipun ia selalu siap bekerja sama.
Saat deadline tulisan makin dekat dan pikiran saya meletup-letup seperti gunung berapi, rasanya melihat tumpukan cucian piring bisa meledakkan kepala saya. Suara rengekan anak bisa membuat saya memuntahkan lelehan lava panas. Terlalu banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan.
“Ya sudah kerjain aja semuanya! Ibu-ibu kan biasanya jago multitasking?”
Betul, pada akhirnya saya mengerjakan semuanya secara hampir bersamaan. Sambil menggosok piring, saya mengingat-ingat gagasan yang harus saya tuliskan.
Yang repot itu saat ide brilian muncul, tapi tangan saya masih belepotan dengan busa. Mau menuliskan idenya di ponsel, cucian tinggal sedikit, nanggunglah. Mau lanjut cuci piring, takut idenya hilang. Akhirnya saya pun mengucapkan ide itu dengan keras dan berulang-ulang supaya bisa menempel lebih lama di memori saya, setidaknya sampai saya mencatatnya di ponsel.
Masalah datang ketika anak saya tiba-tiba berteriak dari kejauhan, “Ibuu, aku mau pup!”
“Waduh, ya udah sini ke toilet. Nanti kalau sudah bilang, ya! Ibu mau cuci piring dulu,” jawabku lantang.
Sedetik kemudian, aku pun tersadar, “Eh, btw, tadi ideku apa, ya? Tadi sebelum pup apa?”
Karena perkara pup, buyar sudah semua gagasan brilian yang sedari tadi saya jaga. Saya harus merelakan ide tulisan yang memukau itu ternodai oleh pup anak. Hiks.
Kebanyakan ibu memang jago multitasking alias mengerjakan beberapa hal dalam satu waktu. Namun, multitasking seharusnya tidak dianggap sebagai sebuah keunggulan apalagi prestasi.
Multitasking sebenarnya hanyalah sebuah cara para ibu beradaptasi di tengah minimnya support system yang ia miliki. Sesuatu yang kamu kerjakan karena tak ada pilihan lain. Sering kali, multitasking malah membuat para ibu mudah merasa stres. Salah satu cirinya, ibu jadi pelupa. Mungkin itu yang terjadi pada saya.
Nah, beberapa bulan terakhir, sejak saya melahirkan putri ketiga, saya akhirnya mempekerjakan seorang asisten rumah tangga. Sejak saat itu, saya bisa lebih leluasa untuk menulis. Setidaknya tidak ada lagi kompetisi sengit antara menulis, mencuci piring, dan menceboki anak.
Mengurus anak bagaimana? Betul bahwa kehadiran asisten rumah tangga membantu saya, tapi tidak serta merta menghilangkan 100% beban saya. Saya masih harus membagi waktu antara anak dan pekerjaan utama sebagai penulis.
Seperti yang saya ceritakan di paragraf awal, untuk menulis esai ini pun saya digelayuti urusan-urusan anak. Jauh dari ideal.
Ibu berdaya itu seperti apa?
Namun, memangnya ibu berdaya yang ideal itu seperti apa, sih? Apakah harus punya asisten dulu untuk bisa berdaya? Apakah harus menunggu momen tanpa distraksi sama sekali?
Tidak, tentu tidak. Saya hanya berkata jika seorang ibu ditopang oleh support system yang baik, maka kesempatannya untuk berdaya pun jadi lebih besar daripada ibu yang tidak memiliki support system.
Akan tetapi, untuk bisa berdaya, bukan berarti kita hanya duduk dan menunggu datangnya support system yang sempurna.
Hidup memang tidak ideal. Meski begitu, dalam kondisi yang tidak ideal sekalipun, setiap ibu selalu punya pilihan. Kesadaran bahwa ‘aku punya pilihan’ itulah yang menurut saya menjadi ciri ibu berdaya.
Dalam pandangan saya, berdaya adalah ketika saya sadar bahwa sayalah “penguasa” atas tindakan dan emosi saya, bukan korban yang didikte oleh situasi di luar diri saya. Kesadaran itu akan membuat saya mengambil pilihan yang lebih bijak.
Misalnya, saat saya harus menyelesaikan tulisan, sedangkan anak-anak meminta perhatian saya, saya sadar bahwa saya punya dua pilihan:
- Saya bisa memilih untuk tetap tenang, meminta izin dengan baik-baik pada anak-anak saya, meminta bantuan suami untuk menemani mereka, lalu kembali menuntaskan tulisan saya.
Saya bisa memarahi anak-anak karena sudah “merecoki” saya, marah pada suami karena tidak membantu saya, sehingga pasangan dan anak-anak berpikir bahwa menulis adalah pekerjaan yang menyebalkan. - Pilihan pertama menunjukkan bahwa sayalah yang “menguasai” diri saya sendiri, sedangkan pilihan kedua menunjukkan bahwa saya “dikuasai” oleh emosi dan situasi di luar diri saya.
Perasaan berdaya membuat saya memilih yang pertama. Sedangkan jika saya tengah diliputi ketidakberdayaan karena stres diteror deadline, mungkin pilihan kedua akan menjadi respons otomatis saya.
Bagi saya, berdaya itu tentang kemauan untuk tetap menjalani pilihan, meskipun pilihan itu tidak ideal. Bukan sekadar mengutuki keadaan, lantas enggan bertindak karena merasa semuanya belum sesuai dengan harapan, apalagi merasa menjadi korban atas pilihan-pilihan yang sudah diambilnya.
Dalam pandangan saya, seorang ibu dikatakan berdaya saat ia mampu melampaui berbagai situasi dan berkata, “Hei, inilah pilihanku. Kondisiku sekarang memang tidak ideal, tapi itu tidak membuatku putus asa karena aku bisa memilih sikapku.”
Jadi, gimana, Bu?
“Ibu berdaya? Bisa! Bisa! Bisa!”
Urfa Qurrota ‘Ainy
3 thoughts on “Yang Luput dari Cerita tentang Para Ibu Berdaya”
Pingback: Peringatan Hari Ibu, Perayaan Pemenuhan Hak Perempuan
Pingback: Strategi Mengatur Keuangan Rumah Tangga Tangkal Resesi 2023
Pingback: 5 Alasan Ibu Boleh Bekerja dari Buku Getting to 50/50 - digitalMamaID