digitalMamaID – Perwakilan anak di Kota Bandung menyuguhkan seni pertunjukan di depan pembuat kebijakan. Aspirasi anak disampaikan lewat seni. Berharap suaranya didengar dan menjadi dasar pembuatan kebijakan yang ramah anak.
Sebanyak 30 anak yang berasal dari berbagai organisasi seperti Forum Anak Kota Bandung (FKAB), dan delapan kelompok anak di Kota Bandung lainnya bergabung dalam GENPEACE. Mereka bersama-sama menyuarakan persoalan anak lewat pertunjukan seni “Panca Sora” yang digelar di Saung Angklung Udjo, Bandung, Minggu, 3 Maret 2024.
Dalam sebuah pertunjukan kabaret, anak-anak menyuarakan persoalan tentang perundungan atau bullying yang banyak terjadi. Dalam pertunjukan tersebut, mereka berpendapat, bullying yang terjadi di sekolah bukanlah persoalan tunggal. Pelaku bullying terjadi karena di rumah ia menyaksikan kekerasan rumah tangga yang dilakukan ayah kepada ibunya. Perilaku kekerasan ditiru oleh anak saat bergaul dengan teman-temannya.
Belum lagi fasilitas transportasi dan sekolah yang belum memenuhi standar ramah anak. Anak berada di situasi yang tidak selalu aman.
Perkawinan anak juga menjadi isu yang disuarakan anak. Anak bisa menjalin hubungan dengan lawan jenis mulai dari aplikasi kencan (dating apps). Pergaulan yang tidak bertanggung jawab berujung pada perkawinan anak. Akibatnya, kekerasan dalam rumah tangga yang dialami orangtua terjadi di perkawinan anak.
Selain kabaret, suara anak juga disampaikan lewat pertunjukan wayang golek, tari, lagu, dan angklung. Selama tujuh bulan mempersiapkan program ini. Bersama-sama mereka menggali permasalahan dan merencanakan bagaimana menyampaikannnya lewat seni.
“Kita diskusi dan kita juga mengeluarkan pendapat kita bagaimana keresahan kita dan apa saja yang ingin kita ubah di Kota Bandung ini,” kata Nayla, salah seorang penampil yang juga GENPEACE Ambassador.
Tampil di hadapan publik dan pemangku kebijakan, mereka berharap suara mereka dditindaklanjuti. “Semoga apa yang sudah kita advokasi lewat pertunjukan seni tadi bisa terealisasi. Kota Bandung bisa jadi kota ramah anak,” kata Lutfi, salah seorang penampil yang juga GENPEACE Ambassador.
Partisipasi yang bermakna
CEO Save the Children Indonesia Dessy Kurwiany Ukar mengatakan, anak punya hak untuk menentukan masa depannya. Anak berhak mendapatkan informasi dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang mempengaruhi masa depannya.
Itu sebabnya Save the Children Indonesia didukung oleh Mobile Arts for Peace (MAP) – Lincoln University dan King College London mendampingi anak-anak untuk menggali permasalahan yang dihadapi. Kemudian menyampaikan aspirasi anak dengan pendekatan seni. Pada akhirnya, suara anak ini akan masuk dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kota Bandung. “Pertunjukan ini bisa menjadi partisipasi yang bermakna, memastikan anak terpenuhi hak-haknya,” tuturnya.
Interim Chief of Advocacy, Campaign, Communicatiob & Media Save the Children Indonesia Tata Sudrajat mengatakan, Kota Bandung sangat kental dengan seni dan budayanya. Angklung menjadi medium yang sangat tepat karena telah akrab dengan masyarakat. Itu sebabnya Bandung menjadi kota pertama di Indonesia yang menggunakan pendekatan seni untuk menyampaikan aspirasi anak ini.
“Suara anak harus menjadi tumpuan dan dasar bagaimana sebuah kota dapat berupaya memenuhi hak-hak anak. Melalui GENPEACE, kami menciptakan model alternatif penyampaian suara anak melalui seni budaya agar Musrenbang kota bisa lebih ramah anak,” katanya.
Dasar pembuatan kebijakan
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Bandung Uum Sumiati mengatakan, perlu terobosan lain agar suara anak tergali dan tersampaikan. Keterlibatan anak dalam Musrenbang sebenarnya bukan hal baru. Akan tetapi sebelumnya masih dilakukan dengan cara konvensional. “(Dengan pendekatan seni) Anak-anak juga merasa senang, enjoy saat menyampaikannya ke pemerintah,” katanya.
Selanjutnya, usulan-usulan anak ini juga disampaikan tertulis kepada pemerintah untuk kemudian dimasukkan dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Ia berharap model penyampaian seperti ini bisa dilanjutkan di tahun mendatang.
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPAPA) Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, model penyampaian dengan pendekatan seni in merupakan inovasi yang sangat baik. Upaya ini akan mendorong masuknya suara anak dalam pembuatan kebijakan.
Ia mengatakan, 30% populasi Indonesia adalah anak-anak. Kebijakan pemerintah harus memperhatikan karena jumlah anak sangat signifikan,” ujarnya.
Ia mengatakan, anak mempunyai kebutuhan yang berbeda di setiap siklus hidupnya. “Yang diperlukan bukan suara orang dewasa yang disuarakan oleh anak. Kita ingin suara anak yang otentik,” katanya. [*]