digitalMamaID – Banyak orang yang menempuh jarak jauh ke tempat kerja. Meskipun ada beberapa keuntungan, apakah sudah mempertimbangkan konsekuensi sosial dari gaya hidup komuter ini?
Menurut riset Universitas Umeå Swedia, ada lebih banyak yang perlu dipertimbangkan daripada sekadar keuntungan finansial dari gaya hidup komuter ini. Erika Sandow, seorang ahli geografi dari Universitas Umeå meneliti hal ini sebagai disertasinya yang dipublikasikan pada 2011 silam.
Dalam penelitian yang melibatkan lebih dari dua juta orang Swedia yang menikah atau tinggal bersama pada tahun 2000, hasilnya menunjukkan bahwa laki-laki yang melakukan perjalanan jarak jauh cenderung mendapatkan keuntungan finansial lebih besar daripada perempuan. Meskipun perjalanan jarak jauh memberikan akses ke peluang karier dan pendapatan yang lebih baik, perempuan yang menjadi pasangan mereka justru kehilangan sebagian penghasilan.
Tingkatkan risiko perceraian
Erika menjelaskan, kebanyakan perempuan yang memiliki pasangan pekerja jarak jauh sering kali harus menghadapi beban ganda. Mereka tidak hanya membawa pulang gaji yang lebih sedikit, tetapi juga mengambil tanggung jawab penuh terhadap keluarga dan anak-anak. Fenomena ini sejalan dengan penemuan sebelumnya yang menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja jarak jauh lebih cenderung mengambil pekerjaan yang kurang berkualifikasi atau bekerja paruh waktu untuk menyesuaikan dengan tugas-tugas rumah tangga.
Selain itu, riset sebelumnya juga telah menyoroti kesulitan yang dihadapi perempuan dalam perjalanan jarak jauh. Mereka cenderung mengalami tingkat stres dan tekanan waktu yang lebih tinggi daripada rekan pria mereka yang berada dalam situasi serupa. Bukan hanya itu, banyak dari mereka merasa kurang sukses dalam pekerjaan mereka sehingga menciptakan beban psikologis yang signifikan.
Namun, apakah risiko perceraian yang lebih tinggi bagi pekerja jarak jauh hanya dipengaruhi oleh ketidaksetaraan gender? Penelitian ini menunjukkan bahwa risiko perceraian 40 persen lebih tinggi di kalangan pekerja jarak jauh, terutama pada tahun-tahun awal perjalanan. Dalam jangka panjang, risiko ini menimbulkan pertanyaan serius tentang apakah keuntungan karier sepadan dengan risiko hubungan pribadi.
Bagi pria, perjalanan jarak jauh sering dianggap sebagai langkah untuk mengakses peluang karier dan penghasilan yang lebih tinggi. Namun, bagaimana hal ini memengaruhi kehidupan pribadi mereka? Seberapa besar kontribusi perjalanan jarak jauh terhadap perbedaan gender di rumah dan di pasar kerja?
Pentingnya memahami dampak sosial perjalanan jarak jauh juga melibatkan pertimbangan terhadap masa depan anak-anak yang tumbuh besar dengan orang tua yang jarang berada di rumah. Apakah pengalaman ini memengaruhi perkembangan dan kesejahteraan anak-anak?
Mempengaruhi kesehatan mental
Lebih dari satu dekade setelah dipublikasikan, penelitian ini masih relevan dengan situasi perkotaan saat ini, termasuk di Indonesia. Dengan harga rumah yang terus naik, pekerja di Jakarta harus menempuh perjalanan sekitar dua jam dari rumah.
Dikutip dari Science Alert, perjalanan jarak jauh dapat memberikan konsekuensi serius terhadap kesehatan mental. Hal itu sesuai dengan studi di Korea Selatan yang melibatkan lebih dari 23.000 partisipan. Hasilnya, pekerja yang menghabiskan lebih dari satu jam dalam perjalanan memiliki kemungkinan 16 persen lebih tinggi mengalami gejala depresi dibandingkan mereka yang berkomute kurang dari 30 menit.
Penelitian yang dipimpin oleh Dong-Wook Lee dari Universitas Inha ini menyoroti dampak kesehatan mental dari perjalanan yang panjang, terutama di negara dengan waktu komute rata-rata terpanjang, seperti Korea Selatan. Studi ini diterbitkan di Journal of Transport & Health pada Desember 2023. Meskipun studi ini tidak dapat menentukan sebab dan akibat, temuan ini menunjukkan efek kesehatan mental yang merugikan lebih terasa pada pekerja yang belum menikah, bekerja lebih dari 52 jam per minggu, dan tidak memiliki anak.
Meskipun saat ini semakin banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dari jauh (remote working), tidak semua pekerja memiliki kemampuan untuk bekerja dari rumah. Studi ini menegaskan perbaikan sistem transportasi dapat memberikan dampak positif pada kesehatan mental pekerja dengan gaya hidup komuter. Pengurangan waktu tempuh perlu jmenjadi fokus pembuatan kebijakan transportasi. [*]