digitalMamaID -Krisis iklim berdampak pada pemenuhan hak anak. Menambah panjang daftar tantangan yang harus ditanggulangi untuk memenuhi hak-hak anak.
Berdasarkan catatan hasil penelitian Save the Children pada November 2023 di tiga Kabupaten yaitu, Lombok Barat, Sumba Timur dan Kupang ditemukan bahwa masih ada anak-anak yang belum terpenuhi haknya sedangkan tantangan pemenuhan hak-hak anak masih saja terus muncul. Tahun ini Save the Children tahun ini lebih fokus pada perubahan iklim, yaitu kekeringan serta kelangkaan air yang ternyata berdampak besar pada anak.
“Studi kami jelas memaparkan bahwa kelangkaan air berdampak pada kesehatan dan pendidikan anak. Banyak anak di daerah yang mengalami infeksi saluran pernapasan akut selama kekeringan berkepanjangan dan ini menyebabkan mereka tidak dapat masuk sekolah. Belum lagi kerawanan pangan yang mengancam berkontribusi pada angka prevalansi stunting yang tinggi serta risiko angka perkawinan anak yang meningkat karena situasi sulit ini,” ungkap Tata Sudrajat selaku Interim Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media Save the Children Indonesia dalam Webinar Catatan Akhir Tahun justSituasi Anak dan Pemenuhan Hak Anak Sepanjang Tahun 2023, Kamis, 21 Desember 2023.
Stres dan tekanan emosional
Ia menjelaskan, di Lombok Barat sejak Juli 2023 debit air minum bersih turun dari 100 liter per detik menjadi 30 liter per detik. Kekeringan ini terjadi lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi kekeringan, yang ditandai oleh kelangkaan air dan perubahan lingkungan, secara langsung mempengaruhi ketersediaan sumber daya pangan dan air. Kelangkaan ini dapat berkontribusi pada kerawanan pangan dan kurangnya keragaman pangan, yang pada akhirnya memengaruhi asupan gizi kelompok rentan, terutama anak-anak di bawah lima tahun. Selain itu, prevalensi stunting di Lombok Barat tetap tinggi hingga tahun 2023, mencapai 13,63%.
Sedangkan di Sumba Timur, masyarakat harus melakukan perjalanan 1,5-3 Km ke mata air setiap pukul 5 pagi. Tidak jarang anak-anak juga dilibatkan dalam pengambilan air. Di Kupang, tingkat air sumur bor di beberapa titik mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini menganggu distribusi air ke masyarakat setempat termasuk ke area sawah. Tak jarang dari masyarakat juga harus membeli air di desa-desa terdekat.
Situasi sulit ini menyebabkan peningkatan stres dan tekanan emosional dalam keluarga karena intensifikasi persaingan untuk sumber daya yang langka seperti air. Hal ini dapat menyebabkan konflik rumah tangga yang berujung pada kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) telah menerima dan mengelola lebih dari 200 kasus dari Januari hingga Juli 2023. Diantarnya merupakan kasus kekerasan fisik dan seksual. Dalam beberapa kasus, kesehatan mental orangtua dan anak juga harus menjadi perhatian.
Beban tidak proporsional
Hal serupa juga dikemukakan oleh Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah. Januari hingga Oktober 2023 terdapat 303 kasus data aduan terkait kekerasan fisik dan psikis. Baik anak sebagai korban kekerasan, anak berhadapan dengan hukum, anak korban pornografi dan cyber crime, serta anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual bahkan anak korban terorisme.
“Kelompok usia 9-11 tahun mendominasi sebagai kelompok usia korban anak tertinggi dengan presentase 19,1% dari kasus lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif serta kasus anak korban kejahatan seksual. Hal ini tentu sangat memprihatinkan karena kedua kasus tersebut melibatkan banyak pihak dalam penyelesaian kasus sehingga dibutuhkan sinergi dalam pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak,” tutur Ai.
Dampak krisis iklim ini menjelaskan bagaimana anak-anak menanggung beban yang tidak proporsional. Mereka tumbuh dalam situasi yang mengancam dan anak memiliki faktor-faktor yang membuatnya lebih rentan secara fisik, sosial dan ekonomi. Krisis iklim adalah krisis hak-hak anak.
“Maka, di tahun 2024, kami mendorong ada langkah aksi yang nyata untuk lebih banyak mendiskusikan perubahan iklim dari sisi anak-anak. Kita perlu mendorong kebijakan dan program untuk membantu anak dan keluarga. Terutama yang paling terdampak oleh krisis iklim, untuk dapat mengatasi kesulitan, beradaptasi serta bersikap dan berperilaku baru sesuai perubahan yang terjadi,” tegas Tata Sudrajat.
Berpusat pada anak
Save the Children Indonesia juga menyuarakan urgensi 2024 menuju Indonesia Emas 2045. Caranya dengan sinergitas program pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan khusus anak. Terutama menjangkau anak dan keluarga yang paling terdampak oleh krisis iklim. Selain itu, melibatkan anak-anak dan orang muda sebagai pemangku kepentingan yang setara. Menggandeng mereka sebagai penggagas perubahan untuk mengatasi krisis iklim dengan membangun platform yang ramah dan aman.
Kepentingan terbaik bagi anak harus dikedepankan. Hal ini semestinya tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2020-2024, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2025-2029. Selain itu juga pada penyusunan program penghapusan kemiskinan ekstrem, maupun dalam pendekatan adaptasi iklim yang berpusat pada anak.
Senada dengan Save the Children, KPAI juga menyuarakan perwujudan “Indonesia Layak Anak”. Langkah ini dilakukan melalui penguatan sistem perlindungan anak yang responsif terhadap keragaman dan karakteristik wilayah anak. Hal itu untuk memastikan anak menikmati haknya dengan 10 strategi sesuai arah kebijakan perlindungan anak menurut RJPM tahun 2020-2024.
Antologi Reportase Jurnalistik Berpihak pada Anak
Pada September 2023, Save the Children bersama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung menerbitkan buku elektronik antologi reportse jurnalistik berjudul “Berpihak pada Anak”. Buku ini berisi kumpulan hasil liputan jurnalis di Jawa Barat yang mengangkat isu anak. Mereka sebelumnya mengikuti pelatihan Jurnalis Sahabat Anak yang diselenggarakan oleh Save the Children bersama dengan AJI Bandung.
Sekeretaris Jenderal AJI Indonesia Ika Ningtyas mengatakan, isu anak perlu didorong untuk terus disuarakan di media. ”Isu anak ini isu interseksional, ada kaitannya dengan isu-isu lain. Isu anak juga isu politik. Tidak bisa dipandang sebagai isu anak saja,” katanya.
Ia mendorong lahirnya kolaborasi media dengan berbagai organisasi lain untuk bersama-sama menyuarakan isu anak ini. Sebab pemenuhan hak anak perlu keberpihakan dari semua pihak.[*]