digitalMamaID – Perempuan Indonesia tumbuh dalam masyarakat patriarki. Mereka terkonstruksi sejak awal bahwa jika pekerjaan perempuan itu mengurus rumah dan mengurus anak. Mirisnya, sistem patriarki yang sudah berabad-abad ini tidak hanya diteruskan oleh laki-laki tapi juga oleh perempuan. Perempuan mengamini, lalu mewariskannya ke generasi-generasi selanjutnya.
Atina Izza, womenpreneur sekaligus dosen Universitas Nasional mengungkapkan gender role atau pemisahan itu ada karena perempuan tidak diberi pemahaman.
“Perempuan itu di dalam development studies sebagai salah satu kunci utama dalam pembangunan berkelanjutan. Tapi kemudian peran perempuan tidak terlihat, tidak dipandang oleh masyarakat. Bahkan bagi umat muslim juga belum dapat memahami karena masih menganggap perempuan itu di belakang. Padahal di dalam Islam perempuan itu setara dengan laki-laki, bahkan memiliki peranan yang sangat penting di dalam membangun peradaban dunia,” ungkapnya dalam Perempuan Bercerita di Ramadan yang diselenggarakan oleh Shestarts Indonesia, Kamis 14 Maret 2024.
Kodrat perempuan
Ia mengatakan, kodrat perempuan ada empat yaitu, menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Semuanya penting, bahkan bahkan tiga dari empat kodrat perempuan ini penentu utama dari generasi-generasi berikutnya. Perempuan adalah penopang dari pembangunan dan dapat membentuk peradaban yang baik.
“Perempuan itu wajib menyusui sampai dua tahun, di surat Al-Baqarah itu spesifik sekali Allah menyebutkan dua tahun. Kenapa Allah spesifik sekali dengan angka dua? Apa yang terjadi disitu? Ternyata di dalam penelitian, tumbuh kembang atau masa emas anak itu terjadi di 1000 hari pertama,” jelasnya.
1000 hari pertama kehidupan itu sembilan bulan di dalam masa kandungan lalu dilanjutkan sampai anak berumur dua tahun.
Selama masa emas itu organ tubuh dibentuk. Berdasarkan penelitian, otak anak dari umur nol sampai dua tahun terbentuk sekitar 80%. Jadi apa yang terjadi di masa dua tahun itu akan menentukan seorang anak. Apakah akan sukses, sakit-sakitan atau tidak, cepat menangkap pelajaran di sekolah atau tidak, hal-hal itu ditentukan di masa emas ini.
“Ada yang menarik lagi, bahwa menyusui itu kodrat perempuan, tapi di dalam Islam itu kewajiban bagi laki-laki. Bahkan seorang perempuan jika ia tidak ridho, dia boleh meminta dibayar oleh suaminya atas air susu yang dikeluarkan untuk anaknya. Karena menafkahi anak bukan kewajiban istri dalam Islam. Di sini saya melihat bagaimana Allah itu adil. Kodrat itu diberikan kepada perempuan tapi perempuan tidak wajib untuk menyusui, tapi kewajiban itu justru dari laki-laki,” sambungnya.
Tidak ada sistem dukung
Tetapi realitanya yang terjadi di masyarakat patriarki menurutnya tidak seperti itu. Perempuan itu seperti sapi perah dan bagai mesin. Sudah rahimnya untuk melahirkan, air susunya juga untuk tumbuh kembang. Seharusnya melahirkan anak, menyusui anak, membesarkan anak itu menjadi amal jariyah. Tapi kemudian niat itu berbalik berubah ketika tidak ada support system yang baik dari suami maupun masyarakat sekitar.
Banyak laki-laki yang tidak paham bahwa pekerjaan mengurus rumah dan mengasuh anak juga bagian kewajiban mereka dalam Islam. Di dalam Islam banyak sekali tugas laki-laki salah satunya nafkah, nafkah bukan hanya batin, pakaian termasuk berhias dan masih banyak lagi yang terkadang tidak dipahami. Akhirnya banyak perempuan terpaksa bekerja di luar rumah itu karena tidak mendapatkan support dari suami. Mereka membeli sendiri sesuatu yang seharusnya diberi.
“Dan ini menarik ya, di dalam Alquran itu parenting dituliskan semuanya laki-laki. Contoh, Nabi Muhammad dengan anaknya, Nabi Ibrahim dengan Ismail, Nabi Yakub dengan anaknya, Lukman dengan anaknya, semuanya laki-laki. Ketika parenting itu tugas ibu, padahal di Alquran laki-laki semua yang dicontohkan,” katanya.
Parenting sebelum menikah
Bagi Atina, parenting itu dilakukan sebelum menikah. Parenting itu dimulai dari memilih suami. Seperti apa ayah dari anak-anak kita kelak itu ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh perempuan.
Penting memiliki visi dan misi pernikahan yang sama. Karena menikah itu bukan hubungan seksual semata, tapi untuk Allah, untuk membangun peradaban. Bahkan di dalam Islam, pernikahan itu melengkapi separuh agama.
“Konflik yang ada di dunia ini, itu juga dipengaruhi oleh unsustainable population, peningkatan penduduk yang tidak sustainable, salah satunya di pengaruhi oleh pendidikan, parenting yang tidak baik. Bagaimana generasi itu diasuh, dididik, dibesarkan sehingga banyak anak-anak yang terlibat di dalam konflik itu dipengaruhi oleh keluarga. Bagaimana hubungan dengan ibunya dan ayahnya. Jadi kita sebagai perempuan yang berdaya, teman-teman yang belum menikah, perlu teliti dengan baik calon ayah dari anak-anak kalian, itu sangat mempengaruhi nanti generasi-generasi berikutnya,” tuturnya.
Berdaya itu sendiri menurutnya bukan hanya tentang kamu mampu melakukan sesuatu. Tapi apakah kamu sudah mengambil keputusan yang tepat atau tidak.
Perempuan berdaya itu bukan hanya memilih tapi bisa menentukan pilihan yang tepat. Berdaya itu bisa menentukan mana yang baik dan tidak.
“Karena negara yang maju, perempuannya yang berdaya. Jika perempuannya tidak berdaya, masyarakat Indonesia ini tidak akan maju-maju. Karena perempuan itu pondasi, jika pondasinya tidak kuat, tidak berdaya, negara tidak akan maju-maju,” pungkasnya. [*]