digitalMamaID – Kekerasan seksual pada anak bisa dicegah dengan memberikan edukasi seksualitas kepada si kecil. Sayangnya, sebagian besar masyarakat masih menganggap tabu tentang pemahaman seksualitas kepada anak ini.
Banyak orang yang masih beranggapan bahwa membicarakan seksualitas kepada anak adalah hal yang tidak sopan, bahkan harus dihindari anak-anak. Mereka juga yang berasumsi, pemahaman tentang seksualitas akan dimengerti dengan sendirinya oleh anak saat mereka dewasa.
Namun, pada kenyataannya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak salah satunya disebabkan oleh kurangnya edukasi seksualitas yang diterima oleh anak. Padahal, kekerasan seksual pada anak saat ini bukan hanya terjadi di dunia nyata saja, melainkan juga di dunia maya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat sebanyak 9.588 kasus kekerasan seksual terhadap anak sepanjang tahun 2022. Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus.
Awal dari bahaya
Abdul Rosyidi dkk dalam bukunya “Bahaya Laten Kekerasan Seksual” menjelaskan, perubahan pada siklus biologis manusia, dari bayi, anak-anak, remaja, hingga dewasa selalu dibarengi dengan perubahan seksualitasnya. Dalam setiap tahapan selalu ada hasrat seksual yang terus menerus mendesak untuk diekspresikan.
“Tapi, karena ada batasan-batasan berdasarkan standar moralitas budaya dan agama manusia tidak menemukan tempat aman yang tersedia untuk mengekspresikan hasrat seksualnya. Ketiadaan ruang ini membuat banyak orang kerap mengekspresikan kebutuhan seksualnya secara keliru, dengan melanggar hak orang lain,” jelasnya.
Ia mengatakan, pemahaman seksualitas juga seharusnya diberikan kepada anak-anak. Namun, pemahaman seksualitas kepada anak-anak masih dianggap saru atau tidak sopan dalam budaya masyarakat.
“Inilah sebenarnya awal dari bahaya seksualitas. Karena sejak kecil hingga remaja mereka belum diperkenalkan dengan literasi seksualitas bahkan pengetahuan dasarnya sekalipun,” ujarnya.
Masih kata dia, ketiadaan literasi seksualitas pada anak dan remaja membuat mereka rentan terjebak ke dalam jerat kekerasan seksual. Pengetahuan dan mitos masyarakat yang gagap seksualitas juga turut menciptakan stigma terhadap perempuan yang mengalami kekerasan seksual.
“Perempuan yang menjadi korban dengan sangat cepat dilabeli dengan stigma yang buruk. Padahal, mereka sudah menderita, tapi penderitaan itu ditambah karena mendapat penghasilan tanpa ampun. Sudah jatuh tertimpa tangga,” kata dia.
Jenis-jenis kekerasan seksual
Terdapat 15 jenis kekerasan seksual antara lain:
- Perkosaan
- Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
- Pelecehan seksual
- Eksploitasi seksual
- Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
- Prostitusi paksa
- Perbudakan seksual
- Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung
- Pemaksaan kehamilan
- Pemaksaan aborsi
- Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
- Penyiksaan seksual
- Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
- Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan
- Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama
Dampak kekerasan seksual anak
Abdul melanjutkan, kekerasan seksual bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan. Namun jika dilihat dampaknya, keduanya sangat berbeda. Sebab perempuan akan menanggung beban cedera dan penyakit yang luar biasa akibat kekerasan seksual.
“Tidak hanya karena perempuan sebagian besar korban, tetapi juga karena mereka rentan terhadap dampak kesehatan seksual dan reproduksinya,” ucapnya.
Seperti kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tidak aman, risiko infeksi penyakit menular yang lebih tinggi, hingga pembunuhan bayi yang dilahirkan akibat perkosaan.
Ia mengungkapkan, secara umum dampak kasus kekerasan seksual tentu mempengaruhi kesehatan fisik dan psikis para korbannya, terutama anak-anak. Secara emosional, anak sebagai korban akan stress, depresi, menyalahkan dirinya sendiri, trauma, rasa takut semakin tinggi ketika berhubungan dengan orang lain, mimpi buruk, insomnia, gangguan jiwa, bahkan jika tidak ditangani serius korban bisa nekat mengakhiri hidupnya.
“Selain itu, kekerasan seksual bukan saja mempengaruhi korban saja, tetapi orang-orang terdekat korban. Terutama anggota keluarga, mereka mungkin saja mengalami reaksi yang serupa dengan korban. Misalnya, shock, malu, merasa tercemar (aib), merasa bersalah, tak percaya, tidak berdaya dan bisa saja marah pada diri sendiri,” ungkapnya.
Ia menuturkan, hambatan penanganan dan pencegahan korban dari sejumlah kasus kekerasan seksual salah satunya adalah adanya impunitas. Masih adanya, impunitas terhadap pelaku menimbulkan kelelahan bagi korban maupun pendamping kasus. Jika hal ini terus terjadi maka akan berakibat semakin bungkamnya para korban kekerasan seksual.
“Bebasnya pelaku tersebut tentu tidak lepas dari belum adanya kebijakan untuk pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban. Selain kebijakan tersebut, hambatan lainnya adalah dari segi kultural, budaya, dan penafsiran agama yang masih bias gender,” tuturnya.[*]