digitalMamaID – Angka kasus perundungan online atau cyberbullying pada anak dan remaja di Indonesia tergolong tinggi. Data ChilFund terbaru menunjukkan, hampir 60% anak dan remaja mengaku pernah menjadi korban cyberbullying. Sedangkan hampir 50% anak dan remaja mengaku pernah jadi pelaku cyberbullying.
Penelitian ChildFund International di Indonesia yang bertajuk “Memahami perundungan Online dan Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Online Terhadap Anak dan Orang Muda di Indonesia” tahun 2022 ini melibatkan 1610 anak dan remaja usia 13-24 tahun. Temuan kunci dalam riset ini, 5 dari 10 anak dan remaja menjadi pelaku perundungan online. Selain itu, 6 dari 10 anak dan remaja menjadi korban perundungan online.
Anak laki-laki dan perempuan sama-sama berisiko menjadi korban cyberbullying. Akan tetapi, anak laki-laki memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi pelaku. Sementara anak perempuan punya peluang lebih tinggi menjadi korban.
Angka cyberbullying pada anak di bawah 15 tahun lebih tinggi. Sebanyak 64,5% anak dibawah usia 15 tahun menjadi korban cyberbullying. Sedangkan 53,5% menjadi pelaku. Nusa Tenggara Timur memiliki tingkat pervalensi perundungan online tertinggi sebanyak 58,6%.
Temuan menarik lainnya di penelitian ini ialah terkait penggemar K-Pop memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan cyberbullying sebanyak 55,3%. Di sisi lain, mereka juga memiliki risiko lebih tinggi menjadi korban perundungan online sebanyak 66,6% dibandingkan dengan mereka yang bukan fans K-Pop.
Jenis-jenis cyberbullying
ChildFund International membagi beberapa jenis perudungan online atau cyberbullying, antara lain:
1. Pelanggaran privasi
Kasus pelanggaran privasi terjadi sebanyak 9,4%. Pelaku menyebarkan rahasia atau informasi pribadi, diikuti dengan mencuri/meretas foto atau rekaman seseorang dan mengirimkannya kepada orang lain.
2. Pengecualian (eksklusi)
Korban mengalami pengucilan. Kasus jenis ini terjadi cukup banyak, dialami oleh 36,1% responden. Sekitar 24,5% diantaranya berupa mengabaikan pesan orang lain dan 8,4% berupa menghapus atau memblokir seseorang.
3. Penguntitan
Sebanyak 33,5% responden mengaku dikuntit secara online yang membuat mereka tidak nyaman. Dalam beberapa kasus ekstrem pelaku mengintai mereka baik online maupun offline.
4. Fitnah atau pencemaran nama baik
Sebanyak 33,5% responden mengaku telah menyamar sebagai seseorang dan menyebarkan informasi palsu kepada orang lain. Sementara, 10,9% responden mengaku menjadi korban dari orang lain yang berpura-pura menjadi mereka dan melakukan hal buruk kepada orang lain di internet.
5. Pelecehan daring
Sebanyak 31,7% responden mengaku pernah menjadi pelaku. Mreka menghina orang lain di internet. Sementara, 35,8% mengaku pernah dihina atau dilecehkan di internet. Sedangkan 21,9% responden mengaku menerima hinaan seksual saat berinteraksi secara online.
6. Kekerasan seksual, ancaman dan pemerasan online
Sebanyak 2,3% responden mengaku menjadi pelaku yang menggunakan ancaman untuk membuat orang lain mengirimkan foto atau rekaman pribadi mereka. Sedangkan 9,1% diantaranya mengaku menjadi korban. Mereka diancam untuk mengirimkan fotonya. Sekitar 3,5% korban mengaku diancam lebih dari dua kali dalam tiga bulan terakhir.
Faktor yang mendukung terjadinya cyberbullying pada anak dan remaja
Dari berbagai jenis cyberbullying atau perundungan online tersebut, tentunya banyak faktor atau penyebab perundungan online tersebut terjadi. Lalu, apa saja faktor-faktor yang mendukung perundungan online yang kian marak terjadi, berikut beberapa penyebabnya:
Paparan intimidasi (tradisional)
Pelaku intimidasi dengan cara konvensional atau tradisional kemungkinan akan melakukan perundungan online. Di sisi lain, korban bullying konvensional atau yang terjadi secara langsung lebih cenderung menjadi pelaku perundungan online.
Pengawasan orang tua
Pengawasan orang tua sangat penting dalam mencegah cyberbullying pada anak dan remaja. Orang tua yang kurang terlibat dalam mengawasi aktivitas anaknya di internet akan memprediksi anak lebih tinggi keterlibatan dalam perilaku perundungan online.
Norma kelompok dan kepemilikan kelas
Mereka melihat norma kelompok dan kepemilikan kelas memiliki keterlibatan dalam perundungan online sebagai norma dalam interaksi online.
Paparan konten berbahaya/konten negatif
Paparan konten berbahaya yang lebih tinggi di internet akan berdampak positif pada perilaku perundungan online di antara para pelaku.
Padahal di Indonesia, para korban perundungan online sudah dilindungi oleh payung hukum, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Peraturan Menteri No.11/2006 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik dan peraturan lainnya. Namun, aturan tersebut masih dirasa kurang mampu meminimalisir ancaman kasus perundungan online.
Bahkan, para korban pun mengaku kesulitan untuk mendapatkan keadilan. Para korban tidak tahu bagaimana melaporkan kasus tersebut, lalu korban pun tidak ingin kasusnya semakin meluas dengan melaporkannya, masalah berikutnya adalah kesenjangan dalam kerangka hukum. Dalam hal ini, UU ITE dan UU Pornografi dianggap kurang efektif dalam melindungi korban.
Lalu, pengetahuan yang terbatas dan kurangnya korban prespektif di kalangan penegak hukum, keterbatasan infrastruktur, karakteristik internet sebagai platform tanpa batas, dan risiko reviktimisasi proses hukum, norma sosial dan media.
Pengaruh pola asuh orang tua dan literasi digital
Pada diskusi yang digelar dalam penelitian ini, para ahli percaya pola asuh yang positif dan pengawasan orang tua terhadap penggunaan internet akan membantu anak-anak memberdayakan dan memahami apa yang bisa dan tidak bisa mereka lakukan.
Para ahli juga mencatat, tidak semua orang tua memahami cyberbullying dengan baik atau memiliki kompetensi digital yang memadai untuk mendampingi dan mendidik anak.
“Para ahli menyarankan agar orang tua mengajarkan anak tentang kejahatan seksual, termasuk kejahatan seksual di internet sedini mungkin. Orang tua harus mendidik anak-anak mereka tentang cara melaporkan dan melindungi diri dari kejahatan online,” demikian kutipan pada penelitian ChildFund ini.
Para ahli juga menekankan, pentingnya memberikan pengasuhan yang berkualitas dari prespektif literasi digital. Orangtua perlu memaham dampak negatif internet dan cara melindungi anak di dunia maya.
Tanggung jawab platform internet dan media sosial
Selain peran orang tua dan pemerintah lewat perangkat hukumnya, penanganan cyberbullying pada anak dan remaja ini juga memerlukan peran penyedia platform di internet dan media sosial. Mereka bertanggung jawab mengembangkan mekanisme internal untuk mencegah cyberbullying dan memperluas mekanisme pelaporan sebagai bagian dari proses rehabilitasi korban.
Remaja pengguna platform di internet dan media sosial tahu bagaimana cara melaporkan postingan yang tidak pantas, tetapi mereka tidak melakukannya. Namun menurut pakar, situasinya bisa jadi mereka tidak tahu cara melaporkannya. Terkadang, pelaporan itu perlu waktu dalam prosesnya.
Tentu kita tidak mau anak-anak kita menjadi korban maupun pelaku cyberbullying. Maka menguasai literasi digital dan mengajarkannya kepada anak sudah menjadi keharusan di zaman serba digital ini. [*]