Cyberbullying pada anak jadi momok tersendiri bagi orangtua di era digital. Orangtua khawatir anak menjadi korban cyberbullying atau malah jadi pelakunya. Itu sebabnya orangtua menjadi cemas saat anak mulai menggunakan media sosial.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna aktif internet di Indonesia sebanyak 143,26 juta jiwa dari total 262 juta jiwa penduduk Indonesia. Artinya sebesar 64 persen orang Indonesia sudah menggunakan internet. Dari jumlah pengguna internet tersebut, sebesar 80 persen adalah remaja berusia 13-18 tahun.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy beberapa waktu lalu mengatakan, sepanjang 2020 sekitar 45 persen anak di Indonesia menjadi korban cyberbullying.
KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, terdapat 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Sekitar 2.473 laporan diantaranya berupa bullying atau di lingkungan pendidikan serta media sosial. Angkanya menunjukkan tren yang terus meningkat.
Cyberbullying adalah bullying atau perundungan yang terjadi di ruang digital atau dunia maya. Teknologi digital menjadi medium terjadinya cyberbullying.
UNICEF memaparkan, beberapa dampak dari cyberbullying yakni secara mental, korban akan merasa kesal, malu, bodoh, bahkan marah. Secara emosional, korban merasa malu kehilangan minat pada hal-hal yang disukai. Dan secara fisik, korban merasa lelah (kurang tidur) atau mengalami gejala seperti sakit perut dan kepala.
Dampak cyberbullying pada anak
Cyberbullying pada anak biasanya terlihat dari beberapa hal, antara lain:
- Menunjukkan ciri-ciri depresi
- Memiliki masalah kepercayaan dengan orang lain
- Selalu waspada dan curiga terhadap orang lain (kekhawatiran berlebih)
- Memiliki masalah menyesuaikan diri dengan sekolah
- Kurang motivasi sehingga sulit fokus dalam mengikuti pembelajaran
Dampak cyberbullying pada anak antara lain:
- Dampak psikologis: mudah depresi, marah, timbul perasaan gelisah, cemas, menyakiti diri sendiri, dan perfobaan bunuh diri.
- Dampak sosial: menarik diri, kehilangan kepercayaan diri, lebih agresif kepada teman dan keluarga.
- Dampak pada kehidupan sekolah: penurunan prestasi akademik, rendahnya tingkat kehadiran, perilaku bermasalah di sekolah.
Dampak cyberbullying bagi pelaku :
Anak yang menjadi pelaku cyberbullying cenderung bersifat agresif, berwatak keras, mudah marah, impulsif, lebih ingin mendominasi orang lain. Biasanya juga menunjukkan kurangnya rempati. Hal-hal tersebut membuatnya cenderung dijauhi oleh orang lain.
Dampak bagi yang menyaksikan atau bystander:
Jika cyberbullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka orang yang menyaksikan dapat berasumsi bahwa cyberbullying adalah perilaku yang diterima secara sosial. Dalam kondisi ini, beberapa orang mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.
Anak melek teknologi
Psikolog, Elly Risman dalam kanal youtube Indonesia Morning Show merinci, tujuh cara dalam membekali anak agar melek teknologi. Pertama, tujuan harus jelas saat anak mengakses sosial media. Ini harus dirumuskan oleh orangtua dan disepakati dengan anak. Harus ada batasannya.
“Pasalnya, diatas 70 persen orangtua memfasilitasi anak gadget tidak jelas tujuannya,” ujarnya.
Kedua, ada batasan dan peraturan. Ada bimbingan dan harus masuk unsur agama juga dalam menahan pandangan dan menjaga kemaluan saat anak menggunakan media sosial. Perlu adanya evaluasi dan perumusan kembali.
“Jadi, kalau ada evaluasi kan ketahuan. Orangtua bisa mengontrol anak dalam menggunakan media sosial setiap hari. Mulai dari kontrol website, percakapan dan kontak,” katanya.
Masih dikatakan Elly, peran orangtua sangat penting dalam mengawasi anak bersosial media. Sayangnya, tidak semua orangtua sudah melek teknologi. Orangtua yang sudah paham teknologi pun tidak bisa mengikuti perkembangan anaknya karena berbagai macam kesibukan.
“Sekitar 60 persen orangtua di Indonesia tidak lulus SD. Sementara, yang sudah sarjana saja belum tentu bisa mengikuti karena percepatannya sangat luar biasa,” tuturnya.
Ketiga, pemerintah membekali orangtua dengan berbagai informasi. Peran orangtua sangat penting dalam mengawasi anak bersosial media. Penyampaian informasi tersebut bisa dilakukan dengan bahasa dan langkah-langkah yang sederhana. “Jika mereka sudah dibekali namun tidak bisa menjalankan fungsinya, baru mereka bisa disalahkan,” tegasnya.
Keempat, komunikasi orangtua dengan anak yang benar. Melakukan komunikasi yang benar dengan anak akan membuat anak merasa berharga dan jangan lupa mengajarkan anak tentang BMM yaitu berpikir kritis, memilih, dan mengambil keputusan.
Kelima, persiapkan anak sebelum memasuki masa dewasa. Dalam Islam, seorang anak yang mulai masuk fase dewasa ditandai dengan akil baligh. Masa ini perlu disiapkan orangtua karena biasanya saat masuk fase ini anak akan mulai aktif secara seksual.
Keenam, bekal agama. Elly mengatakan, bekal agama ini untuk membantu anak membedakan mana yang baik dan buruk. Selain itu, anak perlu tahu, menjadi baik tidak cukup. Anak juga perlu bertindak dengan benar.
Ketujuh, digital literasi untuk anak. Anak tidak hanya mengetahui media sosial, tetapi juga memahami dampak yang mungkin terjadi, baik yang positif maupun negatif. “Lalu, berdialog dengan anak untuk membangun internal kontrol,” tutupnya.
3 thoughts on “Cyberbullying pada Anak, Dampak dan Pencegahannya”
Pingback: Potret Cyberbullying pada Anak dan Remaja di Indonesia
Pingback: 1 dari 4 Anak Korban Perundangan Tak Lapor Orangtua - digitalMamaID
Pingback: Hanya 1 dari 4 Anak Korban Perundangan Lapor Orangtua - digitalMamaID