Doxing kini sering bertebaran di linimasa. Sayangnya, netizen mulai menormalisasi perilaku tersebut. Ini bisa dilihat dari reaksi netizen terhadap fenomena spill the tea yang kerap menjadi trending di media sosial.
Apa itu doxing? Doxing adalah tindakan membagikan data pribadi secara sengaja di muka umum dengan tujuan yang jahat. Perilaku ini termasuk salah satu kategori cyberbullying atau perisakan online.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengatakan, doxing termasuk tindak kriminal karena mengandung dua unsur yaitu penyebaran data pribadi tanpa persetujuan pemiliknya serta adanya niat jahat.
“Ada saja kemungkinan seseorang melakukan swadoxing (doxing oleh pemilih data pribadi), tapi ini bukan tindakan kriminal. Bisa jadi karena ketidaktahuan, tindakan ceroboh, atau bagian dari flexing atau pamer di media sosial, misalnya posting boardingpass mau ke luar negeri. Itu bukan tindak pidana,” katanya pada diskusi bertajuk Pasca Pengesahan UU PDP Bagaimana Penegakan HUkum Terhadap Pelaku Doxing? yang diselenggarakan oleh Radio Katolikana, Jumat, 23 September 2022.
Doxing bertujuan agar orang yang data pribadinya disebarluaskan mendapat celaka atau memancing orang lain merisak orang tersebut. Ini bisa dikategorikan sebagai tindak kriminal.
Motif dan sasaran doxing
Damar mengatakan, ada tiga motif mencolok yang biasa terjadi pada kasus-kasus doxing:
- Motif balas dendam: motif ini biasanya bersifat personal, melibatkan persoalan antarpribadi yang berujung dengan pengungkapan sejumlah data pribadi dengan tujuan agar orang lain menyerang orang tersebut.
- Motif finansial: bagian dari upaya memeras korban, membuat orang tersebut dicuri data pribadinya sehingga terjadi penipuan atau perampasan uang secara online.
- Motif politik: biasanya berupa serangan untuk menjatuhkan profil seseorang. Setelah doxing biasanya disusul dengan membuat banyak orang mengeroyok di muka publik, bahkan berlanjut ke penganiayaan secara fisik.
Riset yang dilakukan SAFEnet pada 2017-2020 menunjukkan, mayoritas korban doxing ialah kelompok masyarakat jurnalis (56%) dan aktivis HAM (22%). Motifnya kebanyakan bermuatan politik.
Akan tetapi, belakangan terjadi perubahan. Orang biasa di luar kelompok jurnalis maupun aktivis HAM bisa menjadi korban doxing. “Karena tidak pernah ada tindakan tegas terhadap pelaku doxing, banyak orang melakukan doxing. Malah ditunggu-tunggu lewat spill the tea itu,” katanya.
Fenomena spill the tea
Spill the tea menjadi istilah yang populer di media sosial. Biasanya, ketika sebuah akun mengungkap sebuah kasus, netizen memintanya untuk membuka siapa pelakunya, “Spill the tea, Nder!”
Mama familiar kan dengan fenomena spill the tea ini? Biasanya dilanjutkan dengan pengungkapan akun media sosial orang yang dimaksud, lalu data pribadi lain seperti tempat kerja, alamat rumah, bahkan keluarganya.
Biasanya, jika yag bersangkutan terlibat sebagai pelaku atas perbuatan yang dianggap buruk di mata netizen, maka doxing terhadapnya dianggap normal. Netizen menganggap hal ini sebagai bagian dari sanksi sosial. Apalagi jika kasus tersebut gagal diusut lewat jalur hukum, maka netizen yang kemudian menjadi hakim.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta AI. Wisnubroto mengatakan, media sosial mampu membentuk budaya baru yang mengubah perilaku seseorang atau komunitas. Sesuatu yang keliru menjadi lumrah karena terus dibiarkan. “Ini yang harus kita luruskan. Sebab perbuatan melanggar hukum ini diawali dari etika,” katanya.
Ia mengingatkan, perbuatan ini bisa berujung pada pelanggaran hukum lain seperti pencamaran nama baik yang tentu akan merugikan netizen pula.
Spill the tea dan hukum yang mandeg
Kadang gemas sendiri ya, Mama kalau melihat sebuah utas tentang kasus yang viral di media sosial. Gemas karena korban sulit mendapat keadilan, sementara pelaku masih bebas berkeliaran. Fenomena spill the tea sering membuat kasus yang buntu itu viral. Setelah menjadi perhatian netizen, penegak hukum biasanya akan sigap menindaklanjuti kasusnya.
Fenomena spill the tea ini bisa memberi keadilan bagi korban karena keadilan begitu sulit didapat dari jalur resmi. “Ini tanda ada kemandegan hukum,” ujar Damar.
Namun ia mengingatkan, satu aspek lain yang perlu diperhatikan, yaitu risiko dari membagikan data pribadi tanpa persetujuan. Ada hukuman yang yang harus ditanggung sebagai konsekuensi. Hukuman itu bisa datang dari platform digital karena dianggap melanggar aturan komunitas yang mereka tetapkan, juga ancaman pidana karena dianggap sebagai pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Ancamannya tak main-main, penjara 4 tahun dan denda hingga Rp 4 miliar.
“Terlalu terburu-buru kalau spill the tea tidak boleh, karena belum ada keseriusan di lapangan dari para pihak. Jadi dimanfaatkan secara positif, iya. Tapi sebisa mungkin seminimal mungkin membagikan data pribadi. Harap diingat, tindakan doxing itu yang kena tidak hanya pribadi tersebut tetapi juga orang-orang di sekitarnya, keluarganya atau orang-orang yang kerja sekantor dengan orang tersebut. Memilih apa yang mau di-spill itu penting. Sehingga fenomena ini bukan fenomena yang tidak terkontrol. Pada kemudian hari akan merugikan. Akan jadi bumerang untuk kita sendiri,” tuturnya.
Senada dengan pernyataan tersebut, Wisnu mengatakan, penegakan hukum semestinya tidak dengan cara melanggar hukum. Sebenarnya, penggunaan media digital untuk memviralkan sesuatu yang bisa mempengaruhi kebijakan bisa menjadi terobosan dalam perkembangan aktivisme di Indonesia. Tapi metode “viral dulu baru ditindak” ini tidak bisa terus digunakan terus-menerus. Penegak hukum harus menjalankan fungsinya. Setelah pemberlakuan UU PDP, semestinya polisi mempunyai kekuatan untuk menindak pihak-pihak yang menyebarkan data pribadi tanpa persetujuan.
Sebagai netizen, sadar maupun tidak, kita sering menikmati fenomena spill the tea ini. Apalagi jika melibatkan nama-nama pesohor, teh yang ditumpahkan itu jadi semacam hiburan di linimasa. Tanpa kita sadari, hal tersebut bisa merugikan bahkan mencelakakan orang lain.
2 thoughts on “Doxing Makin Marak Akibat Fenomena “Spill the Tea””
Pingback: Cyberbullying pada Anak, Dampak dan Pencegahannya
Pingback: UU ITE, Bikin Netizen Takut Bersuara - digitalMamaID