UU ITE, Bikin Netizen Takut Bersuara

Ilustrasi kebebasan berekspresi yang terancam oleh UU ITE
Share

digitalMamaID – Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi momok bagi content creator atau netizen yang ingin mengungkapkan pendapatnya di internet. Pasal pencemaran nama baik di UU tersebut sering dimanfaatkan sebagai pembungkam kebebasan berekspresi di era internet.

Hukum pencemaran nama baik di media sosial pada Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 UU 19/2016 merupakan delik aduan. Artinya, hanya korban sendiri yang bisa memproses kasus pencemaran atau rusaknya nama baik itu ke polisi. Namun pada kenyataannya, ada saja pihak-pihak yang terkait langsung turut melaporkan ke pihak berwajib. Bisa jadi hal ini dilakukan untuk membuat gentar terlapor.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Lasma Natalia Panjaitan mengatakan, pasal pencemaran nama baik UU ITE cenderung dimanfaatkan oleh orang dengan posisi yang lebih kuat. “Bisa perusahaan, penguasa, atau pejabat lawan masyarakat biasa,” ujarnya saat berbincang dengan digitalMamaID beberapa waktu lalu.

Pemerintah menerbitkan UU ITE semula berkeinginan untuk melindungi masyarakat saat melakukan perjanjian di ranah internet. Sayangnya, sejak diberlakukan pasal yang paling banyak digunakan ialah pencemaran nama baik. Lasma mengatakan, padahal seharusnya UU ITE tidak semata mengatur media sosial saja.

Menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), selama periode 2013-2021 terdapat 393 orang yang dituntut dengan pasal UU ITE, paling banyak soal pencemaran nama baik.

Imbas dari maraknya pelaporan pencemaran nama baik ini, orang jadi bingung dan takut menyampaikan pendapatnya. “Orang jadi bingung komplen yang boleh dan tidak itu seperti apa,” ujarnya.

UU ITE yang dimanfaatkan untuk membungkam kritik dan aspirasi akhirnya menjadi pengganjal kebebasan berekspresi. Padahal, pada sebuah negara demokrasi, kebebasan menyampaikan pendapat ialah faktor penting karena menjadi cerminan kebebasan masyarakat sipil.

Wadahi aspirasi, bukan lapor polisi

Sementara, dalam hal pelayanan publik, masih banyak keluhan dari masyarakat yang ingin disampaikan. Namun, tidak ada mekanisme pelaporan yang jelas dan penyelesaian yang cepat. “Kalau ke perusahaan ada CS (customer service). Tapi sering kali respons yang diberikan tidak tepat. Jadi (masyarakat) takut,” ujarnya.

Pada banyak kasus, keluhan yang disampaikan baik ke perusahaan atau instansi pemerintah tidak ditindaklanjuti. Media sosial menjadi saluran yang memudahkan masyarakat menjangkau lembaga maupun instansi yang dituju. Sayangnya, tidak semua keluhan atau aspirasi lewat media sosial ditindaklanjuti.

Akhirnya, masyarakat menempuh jalur “viral”. “Kalau viral, semua orang akan melihat. Ada desakan publik agar komplen itu direspon,” kata Lasma.

Berkali-kali hal semacam ini terjadi. Berbagai keluhan masyarakat akan cepat tertangani setelah viral di media sosial.

Fenomena semacam ini, kata Lasma, sebaiknya menjadi catatan bagi perusahaan atau instansi pemerintah yang memberi pelayanan kepada publik. Sudahkah ada saluran yang mewadahi keluhan masyarakat sebagai pengguna layanan? Bukan sekadar menyediakan wadah, tapi juga memberi respons tepat dan tindak lanjut sesegera mungkin.

“Teknologi bisa mempermudahnya. Mekanisme komplen ini bukan sekadar menampung (masukan dan keluhan), tapi bagaimana merespons juga penting,” tuturnya.

Menyediakan saluran komunikasi untuk menampung kritik dan saran yang jelas lebih baik ketimbang bereaksi dengan melaporkan netizen atas tuduhan pencemaran nama baik. Respons terhadap keluhan itu juga menentukan bagaimana penilaian masyarakat terhadap suatu lembaga.

Kritik yang baik

Sejak internet meluas, media sosial menjadi wadah masyarakat menyampaikan aspirasinya. Lasma mengingatkan, menyempaikan pendapat secara online sejatinya sama saja dengan secara offline.
“Tetap harus dengan prinsip menghargai pendapat orang lain. Tidak menyinggung SARA dalam menyampaikan pendapat. Sama saja, ini seperti ruang lagi untuk menyampaikan isi pikiran, perasaan dan, bisa disampaikan dengan segera,” kata Lasma.

Ia mengingatkan, jika bicara tentang suatu fakta maka tak perlu takut. Sertakan bukti sebagai penguat pendapat. “Tanpa bukti, akan rentan menjadi fitnah dan menyebar hoaks. Maka pastikan yang disampaikan itu fakta,” katanya.

Kritik yang disampaikan sebaiknya tidak merusak (harmless), tidak ada unsur kekerasan, fokus pada masalah atau pelayanannya, tidak mengaitkan dengan personal, tidak ada unsur SARA.

“Misalnya ngomongin jalan rusak, ya bahas jalan rusaknya. Tidak perlu mengungkit anaknya atau keluarga. Fokus pada problemnya,” katanya.

Kritik tak harus menyertakan solusi. Menurut Lasma, keluhan itu ada karena masyarakat tak bisa menghadirkan solusi sendiri. Justru dengan adanya keluhan itu, pemerintah atau suatu lembaga bisa tahu apa yang terjadi di lapangan. “Kalau kita tahu solusinya apa, ya tidak perlu komplen. Bagaimanapun keputusan itu kan ada di pengambil kebijakan. Yang utama, keluhan masyarakat tersampaikan,” tutur Lasma.

Selain itu, kata Lasma, masyarakat bisa memanfaatkan jalur komunikasi lain yang tersedia. Tidak harus langsung dibagi lewat media sosial. Jalur lain misalnya, berkirim pesan langsung, email, atau saluran lain jika ada. [*]

1 thoughts on “UU ITE, Bikin Netizen Takut Bersuara

  1. Pingback: Jamin Kemerdekaan Berekspresi, Cabut Pasal Bermasalah pada Revisi UU ITE

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID