digitalMamaID – Kini banyak anak mulai mengonsumsi konten digital berupa video pendek. Bahkan YouTube Kids saat ini menyediakan video-video pendek sebagai kilasan dari konten yang lebih panjang, walaupun perpindahan videonya diklik bukan discroll. Hati-hati, Mama! Terlalu banyak menonton video pendek bisa membuat anak terkena brain rot!
Sebenarnya video pendek tidak melulu berisi hal negatif, asalkan kita memilih konten yang baik, menonton video pendek tentu tak ada salahnya. Yang dikhawatirkan adalah menonton video-video pendek yang tak bermanfaat namun ditonton terus menerus. Istilah brain rot atau pembusukan otak yang popular pada 2024 lalu muncul untuk menyoroti dampak negatif dari konsumsi konten digital receh berlebihan. Istilah brain rot saat ini masih diperbincangkan sehingga tampaknya istilah ini bukan hanya tren yang angin lalu saja. Brain rot adalah ancaman nyata.
Menurut survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, jumlah pengguna internet pada 2024 mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi sebanyak 278.696.200 jiwa. Mayoritas pengguna internet adalah Gen Z (kelahiran 1997-2012) sebanyak 34,40%. Sementara survei yang dilakukan BPS menyebutkan bahwa terjadi peningkatan presentasi anak di atas 5 tahun yang menggunakan internet pada 2024 yaitu sebanyak 15,50% dari 13,42% pada 2023.
Meningkatnya pengguna internet di usia muda ini menjadi dua sisi mata uang, positifnya saat digunakan dengan baik, internet sangat membantu anak dalam pengembangan diri, namun negatifnya penggunaan internet yang tak terkendali dapat membawa anak kehilangan banyak kemampuan dasar seperti pengendalian emosi dan menurunnya kognisi atau bisa disebut dengan brain rot.
Apa itu brain rot?
Oxford University Press menetapkan brain rot sebagai Word of the Year 2024. Brain rot menggambarkan penurunan kondisi mental akibat konsumsi konten receh secara berlebihan. Istilah ini kerap digunakan di media sosial untuk menyindir kebiasaan menghabiskan waktu dengan konten tidak bermutu yang tidak merangsang daya pikir.
Psikolog anak Farah Taufiqiah Suryawan menjelaskan, istilah brain rot bukan berasal dari ilmu psikologi, tetapi mirip dengan konsep mental deterioration atau pengerutan otak dalam ilmu psikologi.
“Brain rot sebenarnya istilah baru. Dalam psikologi, ada konsep penurunan kemampuan mental yang sering disebut sebagai mental deterioration atau pengerutan otak. Namun, istilah brain rot ini lebih khusus digunakan untuk menggambarkan dampak negatif dari paparan layar yang berlebihan, termasuk media sosial,” ujarnya saat dihubungi digitalMamaID, Jumat, 28 Februari 2025.
Bagaimana brain rot terjadi pada anak?
Seiring dengan naiknya popularitas media sosial khususnya tren video pendek seperti TikTok dan YouTube Shorts, anak-anak mulai terpapar konten video pendek yang seringnya tak bermutu. Menurut Farah, konsumsi konten seperti ini membuat anak lebih mudah kehilangan fokus dan sulit mempertahankan perhatian dalam waktu lama atau mengalami short attention span.
“Otak manusia terdiri dari otak kiri dan kanan, yang masing-masing berfungsi dalam aspek logis dan kreatif. Jika anak hanya terpaku pada layar tanpa aktivitas lain, keseimbangan otaknya terganggu,” jelasnya.
Selain itu, kebiasaan menonton video atau bermain game tanpa batas dapat menyebabkan kecanduan digital. “Sesekali menonton untuk hiburan tidak masalah, tetapi jika berlebihan, otak anak akan terbiasa dengan stimulasi instan, sehingga kehilangan minat terhadap hal-hal yang lebih kompleks seperti membaca atau berpikir kritis,” tambahnya.
Tanda-tanda brain rot pada anak
Psikolog Farah mengingatkan agar orangtua perlu waspada terhadap tanda-tanda awal brain rot pada anak, di antaranya:
-
- Kehilangan minat pada aktivitas lain, seperti membaca, bermain di luar, atau berinteraksi dengan keluarga.
- Sulit fokus dan cepat bosan terhadap tugas yang membutuhkan konsentrasi lebih lama.
- Mengabaikan kewajiban demi bermain handphone, seperti malas mandi, malas sekolah, atau enggan menghadiri acara keluarga.
- Tidur tidak teratur, sering begadang untuk menonton atau bermain game.
- Emosi tidak stabil, lebih mudah marah atau frustrasi saat tidak mendapat screen time
Jika dibiarkan, brain rot bisa berdampak lebih serius. “Ada satu kasus yang pernah saya tangani, seorang anak SMP kelas 2 yang kecanduan gadget sampai hampir dikeluarkan dari sekolah. Setelah sepakat untuk tidak menggunakan ponsel selama tiga bulan, ia justru merasa lebih bahagia. Ia jadi lebih sadar dengan lingkungan sekitar, bisa bermain dengan adiknya, membantu ibunya, dan merasa lebih aktif.” cerita Farah.
Tips mencegah brain rot
Menghadapi fenomena ini, orangtua harus mengambil peran aktif dalam membatasi screen time dan memberikan aktivitas alternatif yang lebih bermanfaat. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:
- Batasi screen time dengan aturan yang jelas
WHO merekomendasikan anak usia 5-17 tahun tidak boleh menghabiskan lebih dari 2 jam sehari di depan layar. Pastikan ada aturan yang jelas mengenai kapan anak boleh dan tidak boleh menggunakan gawai. - Ajak anak melakukan aktivitas nyata
Dorong anak untuk terlibat dalam kegiatan fisik dan sosial, seperti olahraga, bermain di luar rumah, atau mengikuti kelas pengembangan diri seperti seni dan musik. - Orangtua harus menjadi contoh
Anak akan meniru kebiasaan orang tuanya. Jika orang tua sendiri terlalu sibuk dengan ponsel, akan sulit mengharapkan anak untuk mengurangi screen time mereka. - Gunakan fitur kontrol digital
Manfaatkan fitur parental control untuk membatasi akses anak ke konten yang tidak sesuai usia dan memastikan mereka hanya mengakses informasi yang bermanfaat. - Komunikasi terbuka dengan anak
Jelaskan kepada anak tentang bahaya brain rot dan pentingnya keseimbangan dalam menggunakan teknologi. Dengan pemahaman yang baik, anak akan lebih mudah menerima aturan yang diterapkan. - Sekolah mesti terlibat
Libatkan sekolah dalam aturan screentime di rumah. Misalnya dengan pemberian imbauan dari sekolah bahwa anak-anak tidak boleh mandapat screen time sebelum tidur di malam hari yang disetujui oleh orangtua masing-masing anak.
Dampak jangka panjang
Jika dibiarkan, brain rot bisa menghambat perkembangan anak dalam berbagai aspek. “Setiap tahapan usia memiliki tugas perkembangan tertentu. Jika ada tugas perkembangan yang tidak terpenuhi di satu periode, maka akan berdampak pada periode selanjutnya. Misalnya, jika anak usia lima tahun tidak mendapat stimulasi yang cukup karena kecanduan layar, maka ia akan kesulitan menjalani tahap perkembangan di usia enam tahun dan seterusnya. Ini bisa menghambat masa depannya secara keseluruhan,” ungkap Farah.
Ia mengatakan, anak yang kecanduan layar di usia dini cenderung mengalami kesulitan dalam membangun keterampilan sosial. Selain itu juga akan kesulitan menghadapi tantangan di usia yang makin dewasa.
Di beberapa negara seperti Tiongkok, pemerintah sudah memberlakukan aturan ketat mengenai penggunaan media digital bagi anak-anak, termasuk membatasi waktu bermain game online. Menurut Farah, regulasi seperti ini bisa menjadi langkah preventif yang efektif untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif teknologi.
Fenomena brain rot bukan sekadar tren viral, tetapi masalah nyata yang dapat berdampak besar pada perkembangan anak. Orangtua perlu mengambil langkah proaktif dalam mengontrol penggunaan media digital di rumah. Dengan keseimbangan yang tepat antara teknologi dan aktivitas dunia nyata, anak-anak dapat tumbuh menjadi individu yang lebih sehat, fokus, dan siap menghadapi tantangan masa depan. [*]