Boomer to Zoomer, Tantangan Kesenjangan Digital Antargenerasi

Ilustrasi literasi digital untuk lansia
Share

digitalMamaID – Di era digital yang terus berkembang pesat, kesenjangan digital antargenerasi menjadi salah satu tantangan utama dalam masyarakat modern. Perbedaan akses, pemahaman, dan keterampilan dalam menggunakan teknologi digital menciptakan jarak yang lebar dan signifikan terutama untuk generasi muda dan generasi yang lebih tua.

Sementara generasi muda lebih cepat beradaptasi dengan teknologi baru, sedangkan generasi yang lebih tua sering kali merasa tertinggal. Tim Kurikulum Riset Tular Nalar dan Dosen Universitas Jenderal Soedirman King Anugerah Wiguna menjelaskan, fenomena ini meresahkan dan menjadi tanggung jawab semua pihak untuk bagaimana kesenjangan ini bisa dijembatani karena berkaitan dengan semua lini kehidupan.

“Memang sudah sepantasnya kita resah ya terkait gap ini karena, itu kaitannya dengan hak semua orang. Tidak hanya untuk Gen Z, Milenial tapi, juga untuk orang tua kita di rumah, mbah kita, untuk kelompok-kelompok yang mungkin selama ini termarjinalisasi,” jelas King dalam live instagram bersama Digital Queen dan digitalMamaID, Jumat, 21 Maret 2025.

Menurutnya, selama ini kita terlalu fokus kepada generasi muda, Gen Z dan Milenial yang sebenarnya termasuk kelompok digital native atau penduduk asli digital. Sedangkan, kelompok digital immigrant bahkan digital pengungsi, istilah yang ia gunakan untuk generasi yang lebih tua, tidak terfasilitasi dengan baik dan semakin termarjinalkan dan terpinggirkan. Padahal mereka juga punya hak yang sama.

“Paling gampang, sekarang kita beli tiket kereta harus digital gitu. Bayangkan orang tua kita. Pernah orang tua saya mau beli tiket kereta saja bingung. Kalau mungkin orang tuanya pegawai negeri, pensiunan lewat mobile banking, juga bingung. Ya bukan salahnya mereka,” ungkapnya.

Gap yang lebar antara Boomer ke Gen Z

Menurut King, jika melihat dari kelompok umur, kesenjangan digital antargenerasi memang terasa lebar dan jauh. Apalagi dengan kelompok umur Gen Z. Jika Gen Alpha masih berada di pantauan Milenial. “Gen Z dengan Boomer, itu kan berarti kalau kita bayangkan Mbah Buyut. Nah, apakah kemudian Mbah Buyut ini juga tidak berhak untuk mengkases digital? ya berhak juga, tapi kesenjangannya sangat jauh antara Gen Z dan Boomer atau dengan Gen X,” jelasnya.

Lanjutnya, Gen X yang memang orang tua Milenial, mungkin sudah banyak yang menggunakan Facebook dan Whatsapp. Akan tetapi, mereka sendiri kurang familiar dengan teknologi-teknologi baru, mereka butuh waktu dan kurang memiliki kepercayaan diri untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan akses digital, seperti memiliki Mobile Banking atau tahu scan QR tapi tidak percaya diri untuk melakukan transaksi.

“Seberapa lebar kesenjangan yang ada, ya sebesar kita mau beli tiket kereta, Gen X tidak percaya diri sedangkan Gen Z sudah terbiasa. Sejauh itu kesenjangan jika kita bisa membayangkan,” tuturnya.

“Itu dari umur saja, belum geografis. Di Cilacap, daerah Kampung Laut, walau sama-sama Gen Z, sama-sama Milenial bahkan ada kesenjangan,” lanjutnya.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Digital Queen (@digitalqueenid)

Faktor yang menyebabkan gap

Menurut King ada beberapa faktor yang membuat kesenjangan digital antargenerasi ini. Pertama adalah akses terkait teknologi, terkait digital. Generasi yang lebih tua tumbuh dan lahir tanpa teknologi, mereka melakukan semua hal serba analog. Mereka terbiasa tidak ketergantungan dengan teknologi. “ Karena terbiasa, akhirnya terpinggirkan terkait akses,” katanya.

“Kedua, masalah ekonomi, geografis dan sebagainya. Hanya yang jelas, jika kita bicara kelompok umur yang lebih tua, ada faktor kemampuan kognitif juga kemudian,” lanjutnya.

King mengatakan kemampuan kognitif Gen Z dan Milenial dinilai masih tinggi karena masih muda dan terbiasa belajar sendiri. Sedangkan generasi yang lebih tua kemampuan kognitifnya semakin menurun, ini yang menjadi faktor paling besar dari kesenjangan ini. Mereka tidak bisa mengingat sesuatu yang terlalu kompleks. Apalagi sekarang ada kecerdasan buatan (AI), hyperlink dan sebagainya.

Untuk masalah akses sendiri, sekarang banyak inisiatif-inisiatif masyarakat sipil atau komunitas untuk mengurasi atau menjembatani akses terhadap teknologi, salah satunya, Tular Nalar lewat Akademi Digital Lansia.

Akademi Digital Lansia (ADL)

Berangkat dari keresahan akan kesenjangan digital, bahwa lansia termasuk kelompok yang rentan. Dalam konteks Pemilu, arus informasi hoaks yang paling rentan adalah lansia dan pemilih pemula (first voters). Oleh sebab itu, Tular Nalar menginisiasi ssebuah program bernama Akademi Digital Lansia (ADL) yang bertujuan untuk memberikan dan membekali lansia-lansia dengan kemampuan literasi digital yang baik serta kemampuan berpikir kritis yang baik, agar mereka lebih tahan dengan bahaya-bahaya proliferasi hoaks, misinformasi, disinformasi dan malinformasi.

Dengan pendekatan pendampingan, Tular Nalar tidak hanya memberikan pelatihan satu arah seperti kelas atau seminar tapi, membuat kelompok-kelompok kecil yang didampingi fasilitator dari Tular Nalar. “Jadi, memang lansia ini paling cocok, paling benar untuk dikasih pendidikan, ya dengan metode peer learning atau teman sebaya, pendampingan kalau bahasa yang lain,” jelasnya.

Dalam kelompok kecil, bersama-sama membahas terkait keluhan, masalah atau kasus yang pernah ditemui, lalu memberikan pendidikan-pendidikan kemampuan kritis dan literasi digital. “Jadi, tidak menggurui gitu ya. Pendekatannya itu pendekatan peer learning tidak menggurui dan dan based on kasus yang mereka hadapi sehari-hari. Nah, itu mungkin yang menarik dari dan berbeda gitu ya dari program Akademi Digital Lansia Tular Nalar,” jelasnya.

Harapannya peserta yang mengikuti ADL ini bisa menjadi agen literasi digital. Menjadi agen bagi teman-teman lansianya yang lain di grup-grupnya karena, lansia atau pesiunan biasanya memiliki kelompok-kelompoknya sendiri baik di Facebook atau Whatsapp. Baik kelompok pensiunan atau alumni. “Jadi ketika datangnya dari sama-sama lansia itu kan juga malah lebih efektif dibandingkan datangnya dari Gen Z,” lanjutnya.

Bagi King, akses digital, literasi digital ini berhak untuk lansia dapatkan karena, jika tidak, lansia-lansia ini akan semakin termarjinalkan secara sosial dan ekonomi. “Harusnya masih produktif akhirnya nggak bisa produktif. Itu hanya bisa dilakukan ketika lansia juga memiliki pemahaman terkait literasi digital,” pungkasnya. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID