digitalMamaID – Perkembangan teknologi digital yang begitu pesat semenjak pandemi Coid-19 membawa banyak perubahan besar di lini kehidupan kita. Mulai dari sekolah daring, pekerjaan jarak jauh (remote), belanja online (e-commerce), media sosial, pembayaran digital, platform streaming hingga Artificial Intelegence (AI). Perubahan ini sesungguhnya membawa manfaat dan kemudahan tapi, ternyata di sisi lain juga menimbulkan masalah baru, yaitu kesenjangan digital.
Kesenjangan digital sendiri merupakan ketimpangan atau ketidakmerataan dalam akses, penggunaan, dan pemanfaatan teknologi digital. Hal ini terjadi karena perbedaan wilayah seperti rural dan urban, keterbatasan akses dan infrastruktur, serta rendahnya pemahaman dan kemampuan digital serta gender gap. Kesenjangan digital ini tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara-negara berkembang atau negara-negara yang secara teknologi masih terbelakang saja. Negara adidaya seperti Amerika Serikat juga turut merasakan kesenjangan digital.
Dikutip dari The Washington Post pada masa pandemi Covid-19, tidak kurang dari 12 juta siswa di Amerika Serikat (AS) tidak bisa mengikuti pembelajaran secara daring, karena tidak adanya akses internet di rumah. Satu dari lima keluarga di AS tidak mempunyai perangkat teknologi seperti laptop atau komputer untuk mengakses pelajaran. Selain AS, Korea Selatan yang menjadi rumah salah satu raksasa teknologi, Samsung dan sebagai negara yang 96,16 persen dari populasinya memiliki akses internet berkecepatan tinggi dan infrastruktur digital paling maju se-Asia, juga tidak bebas dari kesenjangan digital. Ketimpangan ini terjadi umumnya pada penduduk golongan usia tertentu seperti lansia.
Persoalan global
Kesenjangan digital ini telah menjadi isu global. Laporan International Telecommunication Union (ITU), badan khusus PBB yang menangani urusan teknologi dan informasi, melalui Facts and Figures 2023, memperkirakan sekitar 2,6 miliar orang atau sepertiga dari populasi global di dunia masih belum terhubung dengan internet. Walau konektivitas internet global cenderung mengalami kemajuan, kemajuan itu tidak merata dan meninggalkan negara-negara berpendapatan rendah.
Pada negara-negara berpendapatan rendah, analisis ITU mengungkapkan, hanya sedikit orang yang terhubung ke internet. Sedangkan, bagi mereka yang terhubung ke internet, data yang digunakan juga hanya sedikit. Hal ini menunjukkan mereka belum bisa memanfaatkan potensi penuh dari konektivitas atau merasakan manfaat dari transformasi digital.
“Semakin jauh dan cepat teknologi berkembang, semakin mendesak misi kami untuk menghubungkan semua orang,” kata Doreen Bogdan-Martin, Sekretaris Jenderal ITU.
Ia mengatakan, mewujudkan janji konektivitas yang universal dan bermakna adalah salah satu tujuan terpenting zaman ini. Tujuannya untuk mewujudkan masa depan yang berkelanjutan seperti yang kita inginkan dan butuhkan.
Mengatasi kesenjangan digital
Di tingkat global, pemerintah dari berbagai negara telah mengambil banyak inisiatif untuk mengatasi kesenjangan digital dan meningkatkan skill digital. Pemerintah India memiliki Digital India Campaign untuk meningkatkan konektivitas internet dan menjadikan negaranya berdaya secara digital. Pemerintah AS telah membuat program The Community Technology Centers (CTCs) dan The Neighboorhood Networks. Sedangkan Uni Eropa (UE) punya beberapa kebijakan, program, serta inisiatif seperti Digital Compass, Digital Europe Programmed, dan European Skills Agenda.
UE berusaha untuk memastikan seluruh warganya dapat mengakses dan memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan kualitas hidup mereka, mendukung inklusi sosial, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, tantangan seperti ketimpangan antara wilayah dan negara, serta akses bagi kelompok rentan, tetap menjadi fokus utama yang perlu terus ditangani.
Di Asia Tenggara sendiri, ASEAN telah melaksanakan ASEAN ICT Masterplan 2020, sebuah rencana regional untuk penciptaan ekonomi digital terintegrasi. Rencana tersebut berupaya menciptakan lingkungan yang mendukung bagi ekonomi digital yang terintegrasi (Association Southeast Asian Nations (ASEAN) 2020).
Selain itu juga ada ASEAN Digital Integration Framework (ADIF), ASEAN Smart Cities Network (ASCN), Digital Economy Framework Agreement (DEFA). Secara keseluruhan, ASEAN telah mengambil langkah-langkah yang signifikan untuk mengatasi kesenjangan digital di kawasannya. Namun, meskipun kemajuan terus dicapai, tetap saja ASEAN dihadapkan oleh tantangan besar, terutama dalam hal distribusi infrastruktur dan peningkatan keterampilan digital di daerah yang kurang terlayani.
Kesenjangan gender
Tantangan kesenjangan digital di Indonesia sendiri masih begitu nyata, kontras dengan pengguna internet di Indonesia cukup masif. Ketimpangan ini disebabkan oleh akses, infrastruktur, wilayah geografis yang beragam, serta skill digital dalam memanfaatkan teknologi. Masyarakat lebih menyukai hiburan ketimbang memanfaatkan teknologi untuk hal yang lebih bermanfaat.
Kepala Perwakilan UNDP Indonesia, Norimasa Shimomura, menyatakan masalah utama dari kesenjangan digital di Indonesia adalah kondisi geografis. Pada 2022, akses internet tertinggi di Jakarta dengan 85 persen untuk kelompok usia lima tahun ke atas. Sedangkan, di Papua hanya 26 persen masyarakatnya yang bisa mengakses internet.
“Meskipun kesenjangan gender semakin menyempit, perempuan, terutama yang tinggal di pedesaan dan lansia, serta mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah, masih menghadapi tantangan besar dalam hal akses dan literasi digital,” kata Shimomura dikutip dari IDN Times.
Menurutnya, perlu ada upaya mengatasi kesenjangan digital, yakni standar etika dan melawan polarisasi dengan memanfaatkan transformasi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah pemberdayaan perempuan di ruang digital untuk mempercepat kemajuan Indonesia dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Digital Queen
Pemberdayaan perempuan dalam dunia digital adalah langkah yang sangat strategis untuk mengurangi kesenjangan digital, meningkatkan kesetaraan, dan mempercepat kemajuan sosial-ekonomi. Selain itu, hal ini juga penting untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat.
Dengan memberi perempuan kesempatan yang sama dalam dunia digital, tidak hanya memberi manfaat bagi perempuan itu sendiri, tetapi juga kepada seluruh masyarakat. Perempuan yang berdaya, akan dapat berperan lebih besar dalam keluarga, komunitas, dan bahkan negara, menciptakan perubahan positif yang lebih luas.
digitalMamaID membuat program bernama digitalQueen untuk mengajak perempuan-perempuan yang aksesnya belum sebesar atau sekuat di perkotaan untuk belajar literasi digital.
“Berawal dari kita kalau lagi berkegiatan, melihat ada ibu-ibu yang effort-nya itu besar sekali untuk datang belajar. Buat kami, di satu sisi senang, di satu sisi lagi khawatir. Karena untuk belajar itu dia harus menyisihkan uang yang tidak sedikit untuk transportasi, untuk jajan anaknya (di jalan), dan segala macam. Akhirnya ketika situasi tidak memungkinkan, keinginan belajar ini kan kalah dengan hal-hal yang lebih urgent,” ungkap Editor in Chief digitalMamaID Catur Ratna Wulandari dalam Live Instagram Rabu 22 Januari 2025.
Digital Queen bertujuan untuk melahirkan queen baru yang nantinya bisa memanfaatkan era digital saat ini. Sehingga perempuan tidak hanya jadi penonton atau konsumen saja. Mereka juga bisa berdaya di era digital ini.
Program dengan pendekatan volunteerism atau kegiatan sukarela ini rencananya akan dimulai pada Februari 2025. Simak informasi selengkapnya melalui Instagram @digitalqueenid. [*]






