digitalMamaID – Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023 mencatat jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 289.111 kasus. Angka ini mengalami penurunan (55.920 kasus, atau sekitar 12%) dibandingkan tahun 2022. Data kasus kekerasan terhadap perempuan ini merupakan jumlah kasus yang dilaporkan oleh korban, pendamping maupun keluarga. Sementara, kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak dilaporkan bisa jadi lebih besar.
Kasus kekerasan terhadap perempuan yang banyak dilaporkan adalah kekerasan di ranah personal. Akan tetapi, kekerasan di ranah publik meningkat 44% dibanding tahun sebelumnya, misalnya kekerasan yang terjadi di tempat kerja, fasilitas umum, dan ruang publik lainnya.
Kekerasan oleh negara
Data yang memprihatinkan adalah kekerasan terhadap perempuan di ranah negara naik 176%. Contohnya adalah perempuan berkonflik dengan hukum, kekerasan terhadap perempuan oleh anggota TNI atau POLRI, kekerasan terhadap perempuan pembela hak, kekerasan terhadap perempuan di dunia politik, pemilihan jabatan publik, penggusuran paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, merendahkan martabat berbasis gender seperti kebijakan-kebijakan diskriminatif.
Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) tercatat menduduki posisi tertinggi diikuti dengan pelecehan seksual fisik, kekerasan seksual lain dan perkosaan di ranah personal. Menurut Ratri Kartikaningtyas, M.Psi, psikolog klinis anak, remaja dan keluarga dari Bliss Happiness Clinic, hal ini terjadi karena pada saat pandemi penggunaan media digital, media online meningkat pesat.
“Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) ini juga seringkali dalam perspektif patriarki, sehingga pelaku kekerasan selalu laki-laki dan korban adalah perempuan dalam perspektif patriarki. Meskipun tidak selalu begitu,” tuturnya dalam Webinar dalam rangka bulan kesehatan mental, ‘Mengenali dan Menyikapi Kekerasan Terhadap Perempuan’ bersama digitalMamaID, Minggu 20 Oktober 2024.
Kekerasan di ranah privat mendominasi
Merujuk Undang-Undang No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan baik secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Menurut Ratri, masih banyak yang belum menyadari bahwa kekerasan itu tidak selalu berbentuk fisik tetapi, penderitaan psikologis juga bentuk kekerasan yang seringkali ditoleransi. “Ada yang tidak sadar mengalami kekerasan. Dia mengatakan suaminya tidak melakukan kekerasan seperti memukul tapi, suaminya ini sangat sering menghina dengan kata-kata yang membuat dia merasa rendah diri,” ungkap Ratri.
Tidak hanya fisik
Menurut dia, pemahaman kekerasan tidak selalu berbentuk fisik atau seksual ini masih kurang. “Bahkan seksual pun banyak juga yang tidak menyadari karena merasa sudah dalam lingkup perkawinan. Padahal bisa saja ada pemerkosaan dalam perkawinan karena pemaksaan hubungan seksual meskipun dalam konteks perkawinan,” lanjutnya.
Kekerasan itu ada kekerasan fisik yang menyebabkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka dan bisa terlihat jelas. Sedangkan kekerasan psikis mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, perasaan tidak berdaya atau penderitaan.
Lalu, kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual atau pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial. Terakhir penelantaran rumah tangga, yaitu tidak diberikan kehidupan perawatan atau pemeliharaan terhadap orang tersebut. Berlaku juga bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja secara layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dalam kendali orang tersebut.
“Banyak sekali dalam kasus-kasus KDRT, perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan, dia merasa tidak bisa keluar dari dari lingkaran kekerasan karena, bergantung secara ekonomi. Jadi dia merasa saya tidak bekerja lalu tidak bisa apa-apa tanpa dia. Jadi ketergantungan ekonomi yang membuat tidak berdaya sebenarnya juga bentuk kekerasan dan banyak yang mengalami tapi tidak menyadarinya,” jelasnya.
Mengapa kekerasan terjadi?
Kekerasan bisa terjadi karena adanya ketimpangan relasi. Pola hubungan yang menggambarkan ada pihak yang lebih berkuasa dibanding lainnya. Ini banyak terjadi di ranah domestik, KDRT, kekerasan dalam pacaran atau toxic relationship. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan:
- Faktor lingkungan, yaitu keluarga yang disfungsional.
- Faktor individu, misalnya sulit mengontrol diri dan kesulitan mengelola stres dan punya riwayat kekerasan sebelumnya, sebagai korban.
- Faktor ekonomi, tekanan biaya hidup yang tinggi, kehilangan atau ketiadaan pekerjaan itu membuat stres yang yang meningkat dan dirinya kesulitan untuk mengontrol stresnya.
- Tingkat pendidikan yang rendah, sehingga minim informasi, masih menggunakan pendekatan-pendekatan yang lama, tidak open minded.
- Pola keluarga yang keliru, kebiasaan yang turun-menurun.
- Penghayatan budaya yang salah, konsep penghayatan patriarki yang sangat ekstrim dan pemahaman atau perspektif tentang relasi kuasa.
Siklus KDRT
KDRT itu seringkali terjadi berulang kali, sulit diungkap, masyarakat ragu untuk menolong karena tidak mau terlibat dalam urusan rumah tangga orang lain karena, merasa itu adalah ranah privat. Mengapa KDRT ini terjadi berulang kali ? Sebenarnya ada yang dinamakan siklus KDRT, ini sangat khas pada KDRT.
Tension yang sangat tinggi terjadi karena, pelaku tidak bisa mengelola komunikasi. Hal-hal sepele seperti perkara makanan misalnya, dapat membuat tension naik. Akibatnya, komunikasi mulai memburuk kemudian terjadi incident. Ketika ada konflik meningkat maka kekerasan terjadi. Setelah terjadi kekerasan, kemudian ada fase reconcilation, di fase ini pelaku minta maaf. Biasanya ini malah membuat korban merasa bersalah, berpikir karena dirinya tidak lebih sabar, terlalu cerewet, maka kekerasan terjadi. Korban secara psikologis ikut menjadi merasa bersalah, menjadi penghayatan korban. Setelah itu masuk ke fase Calm, fase bulan madu, yang berbaik-baikan. Korban sudah memaafkan pelaku.
“Fase rekonsiliasi dan fase bulan madu itu tadi yang membuat korban itu seringkali terjebak dalam kekerasan KDRT. Ini hubungan love-hate. Ada konflik lagi, tension naik, KDRT lalu maaf, disayang-sayang lagi, jadi secara psikologis itu yang mengikatnya,” jelas Ratri.
Pendampingan korban
Hal ini pun dibenarkan oleh Sugih Hartini, pendamping korban di Bale Istri SAPA Institute, sebuah learning organization non profit dan independen yang berfokus pada isu-isu perempuan. Bahkan dirinya pernah mendampingi kasus KDRT berulang yang dialami oleh seorang istri selama 23 tahun lamanya.
“Dia tidak berani cerita ke tetangga, ke saudara. Sampai akhirnya dia merasa sudah nggak kuat lagi, akhirnya lapor ke RT/RW tapi responnya kurang, tidak ada yang peduli. Akhirnya dia konsultasi ke SAPA memberanikan diri datang sendiri. Memang pendekatan untuk kasus seperti ini lama dan tidak bisa dipaksakan,” ungkap Sugih.
Untuk proses pengaduan dan pendampingan di SAPA Institute sendiri, SAPA memiliki layanan yang berbasis komunitas. Komunitas yang menerima laporan baik secara langsung dan tidak langsung. Kemudian untuk memastikan bahwa laporan tersebut benar adanya, pendamping akan melakukan investigasi terlebih dahulu dan memastikan bahwa kasus itu benar-benar terjadi.
SAPA Institute juga berintegrasi dengan kabupaten, provinsi, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). “Kami kan tidak bisa sendiri. Apalagi untuk kasus yang rumit, memerlukan penanganan yang cukup kompleks, kemudian butuh dana operasional yang besar apalagi kalau terus ke proses hukum. Sampai saat ini SAPA tidak memiliki rumah aman sendiri, psikolog sendiri, lawyer sendiri. Kami hanya punya relawan pendamping kasus. Jadi memang sangat diperlukan kerjasama dengan berbagai pihak,” ungkapnya.
Laki-laki juga bisa jadi korban
KDRT itu situasi yang menantang karena yang sebenarnya persoalan privat menjadi permasalahan publik. Setiap orang berpeluang untuk menjadi pelaku ataupun korban KDRT. Untuk itu, pencegahan KDRT perlu kerjasama antara lembaga dan kebijakan. Ketika kita bicara kekerasan terhadap perempuan seringkali pelakunya adalah laki-laki. Sebetulnya laki-laki ini juga perlu ditolong karena, laki-laki itu punya tantangan yang lebih besar untuk mereka mengelola kesehatan mental dan emosi.
“Secara sosial laki-laki tidak dilatih untuk lebih terbuka dengan emosinya. Jadi lebih pada image bahwa laki-laki itu kuat. Stigma ini yang melekat pada laki-laki, sehingga tantangan kesehatan mental pada laki-laki itu lebih besar yang kemudian lebih beresiko untuk membuat mereka menjadi pelaku kekerasan,” lanjut Ratri.
Menurutnya, seringkali kita juga terjebak konsep ideal victim sendiri, bahwa korban itu sedih, korban itu depresi, korban itu lemah. Padahal tidak selalu begitu. Jika korban berpenampilan baik-baik saja. Itu sering membuat orang berpikir, ‘Kok bisa ya dia korban, jangan-jangan karena dia juga sih’. Jadi berbalik justru menyalahkan korban karena, perspektif ideal victim tadi.
Apabila terpapar dengan kekerasan, Ratri berpesan untuk jangan takut dan jangan ragu mencari bantuan psikolog. “Ke psikolog untuk edukasi membantu merawat kesehatan mental kita, supaya dapat perspektif-perspektif yang lebih sehat, melihat blind spot kita yang selama ini tidak terlihat. Tidak harus ketika depresi atau kondisi mental kita kepayahan,” lanjutnya.[*]