digitalMamaID – Bagaimana masyarakat desa bisa mengakses internet yang ternyata belum tersebar merata? Common Room aktif membangun infratruktur internet pedesaan membangun menara bambu pemancar internet di desa-desa blank spot.
Pada ICT Camp 2024 dilakukan peresmian menara bambu pemancar internet di Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Menara ini merupakan yang kelima dibuat oleh Common Room berkat dukungan Kedutaan Inggris. Warga kini bisa mengakses internet dengan mudah.
Sebelumnya, menara bambu pemancar internet ini telah didirikan di Lembang, Kabupaten Bandung Barat; Desa Tae, Sanggau Kalimantan Barat; Desa Tembok, Bali; dan Sumba Barat Daya. Menara bambu pemancar internet di Pangumbahan diresmikan pada hari kedua pelaksanaan Rural ICT Camp 2024, Selasa, 8 Oktober 2024.
Buka akses
Kepala Desa Pangumbahan Mulyana menjelaskan, desanya selama ini belum terkoneksi dengan internet atau yang disebut dengan blank spot. Ini membuat perangkat desa kesulitan saat melakukan pelaporan maupun mengakses sitem informasi yang semuanya membutuhkan internet. “Tahun ini pemerintah desa diwajibkan melakukan pelaporan online. Salah staunya masuk ke berbagai sistem, termasuk sistem keuangan dan informasi. Kami jadi kesusahan,” katanya.
Masyarakat pun kesulitan memanfaatkan internet. Siapapun yang membutuhkan jaringan internet harus mendekat ke pohon ki hujan yang berada di dekat kantor desa. Sebab hanya di situ lah internet bisa tertangkap. “Tentu saja fasilitas yang begini ini membahayakan,” ujarnya.
Ia sangat bersyukur, dengan adanya menara bambu pemancar internet ini akhirnya warga bisa mengakses internet dari rumah masing-masing. Dengan terbukanya akses ini, ia yakin potensi sumber daya alam dan manusia yang dimiliki oleh desa berpenduduk 6.000 jiwa ini bisa terangkat.
Selanjutnya ia berharap masyarakat bisa mendapat pelatihan agar bisa memaksimalkan internet yang sudah terpasang. “Supaya petani bisa menggunakan internet untuk memaksimalkan pertaniannya. Mayoritas penduduk kami petani. Meskipun mereka hanya punya cabai 10 pohon, bisa jual secara online. Saya yakin hal-hal kecil bisa menjadi besar,” tuturnya.
Bahan lokal
Nils Brock dari Association Progressive Communities mengatakan, biasanya menara pemancar internet biasanya terbuat dari baja dan beton. Bahan-bahan tersebut harus didatangkan dari luar desa. Harga pembuatannya menjadi sangat mahal. Menara seperti ini basanya juga tidak memiliki hubungan atau ikatan dengan masyarakat.
Setelah menjalankan prgram ini di negara-negara lain, akhirnya mencoba menemukan bahan lokal untuk membuat menara pemancar internet ini. “Di negara lain ada yang hanya menggunakan bambu tapi hanya satu tiang saja. Jadinya sangat mudah goyang ketika terkena angin. Penangkapan sinyalnya jadi kurang bagus,” tuturnya.
Bambu dipilih sebagai bahan lokal untuk pembuatan menara di Indonesia dan India. Menara bambu seperti yang ada di Indonesia ini juga dibuat di Uganda. Sehingga secara keseluruhan terdapat enam menara bambu di seluruh dunia.
Nils mengatakan, pembuatan menara bambu ini mengawinkan kemampuan teknik yang disokong oleh akademisi dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat.
Tidak hanya memancarkan sinyal internet, menara ini juga menjadi titik temu masyarakat. Menjadi tempat berkegiatan bersama.
“Menara bambu ini bisa direplikasi dan dikembangkan di tempat lain,” ujarnya.
Inisiatif warga
Direktur Common Room Gustaf Hariman Iskandar menceritakan awal mula inisiatif pembuatan menara bambu ini. Aspirasi pertama datang dari masyarakat di Sumba Barat Daya saat kegiatan internet komunitas pada 2021. Ketika itu masyarakat menanyakan alternatif menara sinyal internet yang tidak terbuat dari baja dan beton. Sulit mendapatkan material itu. Apalagi untuk menara berbentuk kaki tinggi. paling dekat harus mendatangkan dari Bali. Itu pun bukan kualitas terbaik karena harganya yang sangat mahal.

“Warga bilang biasanya menggunakan bambu. Warga sudah biasa membangun macam-macam bangunan struktur dengan material bambu,” tuturnya.
Dari sana Common Room mencari mitra yang bisa mewujudkan hal ini. Ia bekerja sama dengan akademisi ITB Adi Nugroho yang memang ahli di bidang desain bambu. Setelah melakukan riset, didapatlah bambu dengan spesifikasi tertentu yang cocok membuat struktur menara.
“Desain yang dikembangkan ini desain produk lingkungan, jadi bisa menyesuaikan dengan sesuai nilai lokal. Jadi menara kelima ini ya versi kelima, tidak ada yang sama,” katanya.
Ia berharap ini bisa jadi inspirasi global dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
Lebih murah
Secara teknis, pembangunan menara bambu di Ciracap ini dibantu oleh PT Internet Desa Digital (Indes) yang digawangi oleh Dede, seorang guru SMK. Ia mengatakan, selama mengelola sambungan internet pedesaan di Ciracap, Desa Pangumbahan merupakan pengguna terbesar.
Agar mendapat sambungan internet, ia harus menarik kabel fiber optik sejauh 6 km yang kemudian disebar ke rumah-rumah. Saat ini sudah terpasang di sekitar 180 rumah. Cara ini cukup berat dari sisi biaya pemeliharaan.
“Semakin banyak akses poin yang dipasang, perawatan semakin banyak juga. Dengan tower bambu ini bisa dipasang satu alat yang bisa mengcover 200-300 klien. Lebih mudah perawatannya, instalasi kabel juga lebih rapi,” tuturnya.
Dari segi desain, menara di Ciracap lebih rendah dibandingkan yang terpasang di Bali. Dede menjelaskan, ini terkait dengan kondisi geografi yang berada di pinggir laut dengan angin yang kencang. Sehingga menara tidak bisa dibuat terlalu tinggi karena berisiko diterjang angin. Pondasinya juga dibuat lebih dalam, sampai 1,5 meter, agar menara lebih kokoh.
Weather station
Hal menarik lainnya, menara bambu yang terpasang di Ciracap ini dilengkapi dengan weather station. Sebuah alat yang terdiri dari banyak sensor sehingga bisa mengumpulkan data seperti suhu, kelembaban, curah hujan, UV, ketinggian awan, dan lainnya. Data ini terkumpul di server untuk kemudian bisa dimanfaatkan oleh peneliti. Pada akhirnya bisa digunakan untuk membantu masyarakat membuat keputusan.
Mewakili Kedutaan Inggris di Jakarta, Amanda McLoughlin mengatakan, sebagai negara kepulauan dengan 17.000 pulau sulit untuk menyediakan infrastruktur digital yang komprehensif. Di lain sisi, masih ada 73 juta penduduk yang masih belum punya akses internet.
“Ini akan menghambat akses informasi, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Itulah kenapa menara ini dan pelatihan yang dilakukan lewat Sekolah Internet Komunitas jadi penting. Ini jadi contoh kolaborasi dan kreativitas,” katanya.
Bagi Inggris, program ini menjadi bukti komitmen terhadap transformasi digital yang inklusif, bertanggung jawab, dan berkelanjutan.***