Circle Solidarity: Memperjuangkan Kesetaraan Gender di Bidang ICT

Gender Circle di Rural ICT Camp 2024 yang khusus mengangkat isu kesetararaan perempuan di bidang ICT/Dok.
Share

digitalMamaID – Kesetaraan gender di bidang teknologi informasi dan komunikasi (ICT) sulit terwujud jika akses untuk perempuan tidak dibuka lebar. Kebijakan afirmatif  (affirmative action) diperlukan agar perempuan memiliki peluang yang setara dengan laki-laki di bidang ICT.

Kesetaraan gender menjadi bahasan khusus di Rural ICT Camp 2024 yang diselenggarakan di Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Padasuka hari ketiga, Rabu, 9 Oktober 2024, peserta perempuan mengikuti sesi gender “Solidarity Circle”. Sesi ini khusus memberi ruang kepada perempuan yang terlibat dalam bidang ICT mengenai persoalan yang dihadapi hingga mendengar harapan mereka.

Sebagai informasi, Rural ICT Camp merupakan kegiatan tahunan yang diinisiasi oleh Common Room. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan Sekolah Internet Komunitas (SIK) dari sembilan desa yang tersebar di delapan provinsi di seluruh Indonesia. Mereka adalah para pegiat ICT yang aktivitasnya mulai dari internet pedesaan, literasi digital, hingga pengembangan ekonomi digital.

Tidak dipercaya

Peserta dari SIK Sumba Barat Daya Aurea Imelda Mone menuturkan, perempuan selalu jadi nomor dua. Jika dalam keluarga memiliki anak perempuan dan laki-laki, maka laki-laki yang akan diberi kesempatan sekolah lebih dulu. Saat keluarga mampu membeli gawai, maka laki-laki pula yang punya kesempatan memilikinya dulu.

Ia berkata, “Perempuan buat apa sekolah, nanti juga masak. Menjadi perempuan seperti tidak terlihat. Saya sampai berpikir, apakah jadi perempuan itu memang hanya bisa masak saja?”

Perempuan sering terhalang saat ingin mengembangkan diri karena dibebani pekerjaan rumah tangga. Saat mereka meninggalkan rumah untuk mengikuti pelatihan misalnya, mereka akan ditanya siapa yang akan memasak untuk keluarga, siapa yang akan mengasuh anak. Akhirnya perempuan tak jadi belajar. Padahal perempuan juga yang diberi beban untuk mengajari anaknya.

Banyak perempuan yang tidak melanjutkan sekolah. Kalaupun sekolah, mereka harus terima dengan pekerjaan seadanya. Pencari kerja lebih memilih laki-laki. Perempuan sering dianggap kalah cakap dengan laki-laki. “Akhirnya banyak perempuan sarjana bekerja seadanya atau mereka harus meninggalkan rumahnya supaya dapat pekerjaan yang lebih baik,” katanya.

Imel, begitu ia akrab disapa, memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Yogyakarta. Ia merasa kaget ketika di sana ia dipercaya untuk memimpin untuk sebuah organisasi. Sebelumnya, ia bahkan tak pernah didengar. “Kenapa di luar saya malah dilihat, sementara di tempat sendiri saya tidak dilihat, tidak didengar,” ujarnya dengan air mata yang tak bisa dibendung lagi.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia kembali ke kampung halaman lalu menjadi guru komputer di Balai Latihan Kerja (BLK) Don Bosco. Di sana, ia mengajar masyarakat yang putus sekolah untuk menyelesaikan Kejar Paket A, B, atau C. Banyak murid laki-laki yang harus ia hadapi. Kemampuannya kerap diragukan. “Saya sering ditanya, bisa mengajar kah tidak ini? Saya jawab, kalau saya di sini (jadi guru) berarti saya bisa,” katanya.

Gender Circle di Rural ICT Camp 2024 yang khusus mengangkat isu kesetararaan perempuan di bidang ICT/Dok.
Gender Circle di Rural ICT Camp 2024 yang khusus mengangkat isu kesetararaan perempuan di bidang ICT/Dok.

Tidak leluasa

Kesetaraan gender masih harus terus diperjuangkan. Saat ini, sekadar mendapat kepercayaan saja sulit bagi perempuan. Syakirah Syahrir, seorang penyuluh perikanan di Balai Riset Perikanan Maros pun merasakan hal yang sama. “Saya bisa ikut pelatihan berhari-hari di luar begini, tidak semua punya kesempatan,” katanya.

Institusi pemerintahan terkenal dengan birokrasi yang formal. Berbagai kesmepatan untuk mengikuti pelatihan di bidang ICT seringkali diberikan kepada laki-laki. Perempuan dianggap tidak cocok atau tidak tertarik. Pada banyak kegiatan, bahkan perempuan hanya dijadikan petugas di bagian belakang. “Paling mengurus konsumsi saja,” ujarnya.

Suraiyah dari SIK Lombok Utara mengatakan, keterampilan baru di bidang ICT telah membantunya mengembangkan diri meski usianya tidak muda lagi. Ilmu-ilmu baru itu membuatnya lebih produktif. Perempuan bisa berjualan online, bahkan belajar marketing digital.

Ia sadar betul, perempuan tidak punya keleluasaan gerak. Sebagai perempuan ia harus bisa bernegosiasi dengan suami agar mau berbagi peran mengurus pekerjaan domestik. “Urusan memasak itu bukan urusan perempuan saja. Laki-laki juga harus bisa,” katanya.

Pembagian peran inilah yang akan memberi ruang gerak yang lebih besar bagi perempuan. Perempuan jadi berkesempatan menimba banyak ilmu. Padasuka akhirnya, produktivitasnya akan kembali ke keluarga.

Affirmative action

Koordinator Program Common Room Ressa Ria Lestari mengatakan, sesi gender Solidarity Circle ini untuk menunjukkan penggerak ICT perempuan itu ada. “Selama ini kalau kami bikin pelatihan, kebanyakan yang ikut laki-laki. Kalau kita minta perempuan yang ikut, biasanya dibilang tidak ada perempuan yang bisa ikut,” katanya.

Penyelenggaraan Rural ICT Camp 2024 ini kemudian membuat pendekatan yang berbeda dengan empat penyelenggaraan sebelumnya. Common Room membuat kebijakan afirmatif yang tegas. Setiap perwakilan harus mengirimkan minimal satu peserta perempuan. Posisi tersebut tidak bisa diganti oleh laki-laki. “Kalau peserta perempuan tidak terisi, maka kesempatannya hangus. Kalau wakil tiga orang, satu perempuan tidak ada berarti hanya ada dua peserta. Tidak akan diganti dengan laki-laki. Dan ternyata bisa kan?” katanya.

Ia mengatakan, seringkali untuk bisa dianggap terlibat dalam bidang ICT, perempuan harus punya kecakapan teknis. Padahal tidak harus begitu. “Seolah-olah harus jadi teknisi dulu baru dianggap berperan. Tidak semua perempuan tertarik dengan keterampilan teknis. Misalnya pegang administrasi, keuangan, atau lainnya itu tidak apa-apa. Perannya sama pentingnya apapun dalam SIK, itu perannya sama,” tuturnya.

Partisipasi perempuan

Semua pendapat dan aspirasi perempuan pada sesi gender ini dicatat dan menjadi dokumen dasar pembuatan modul. Modul tersebut fokus pada bagaimana strategi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam komunitas ICT ini.

“Jadi isi modulnya bukan memberi materi-materi untuk perempuan, tapi bagaimana mengembangkan partisipasi perempuan dalam komunitas,” ujar Ressa.

Dengan cara ini, ia berharap mampu membuka akses yang lebih besar kepada perempuan untuk terlibat dalam komunitas pengembangan ICT. Semakin banyak perempuan terlibat, suara perempuan akan kian terdengar.

Alessandra sangat mengapresiasi keberanian perempuan angkat suara. Tidak mudah untuk mengubah nilai-nilai sosial yang sudah lama bercokol di masyarakat. Perubahan tersebut bisa terjadi jika upaya ini juga menggandeng laki-laki. Mewujudkan kesetaraan gender pun harus melibatkan laki-laki. “Mereka adalah sekutu kita. Perlakukan mereka sebagai mitra,” ujarnya.

Betapa sulit perjalanan yang dilalui perempuan untuk sampai di titik ini. Penting bagi perempuan untuk melihat kembali ke titik awal perjalanan panjang ini. “Jangan pernah lupakan, apa yang sudah kita lakukan ini punya nilai dan bermanfaat untuk masyarakat,” katanya.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID