digitalMamaID – Kesenjangan gender di ranah digital masih terjadi di seluruh dunia. Teknologi tercatat sebagai bidang dengan kesetaraan gender yang paling buruk.
Kemajuan teknologi membawa dampak pada berbagai aspek kehidupan manusia, dan pesatnya transformasi digital telah mendorong berbagai perubahan, baik itu di ranah sosial, ekonomi, hingga pemerintahan. Perkembangan ini seharusnya tetap bisa memperhatikan inklusi gender. Mengingat, hingga detik ini, kesenjangan gender dalam ranah digital, antara laki-laki dan perempuan, masih kerap terjadi di Indonesia.
Peringkat 87 kesetaraan gender
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan dari Kementrian Perlindungan Perempuan dan Anak, Eni Widiyanti menuturkan, berdasarkan data dari Global Gender Gap Index Survei tahun 2023, yang dilakukan oleh World Economic Forum, skor yang diperoleh adalah 68,4%. Hal ini berarti masih dibutuhkan waktu sekitar 131 tahun untuk mencapai kesetaraan gender di dunia ini. Saat ini, Indonesia berada pada peringkat 87 dari 146 negara yang disurvei dan skornya 69,7%. Dan hal ini berarti masih dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk mencapai kesetaraan gender yang dimaksud.
“Transformasi digital ini senyatanya dapat menjadi katalis terhadap pemberdayaan perempuan dengan memberikan kesempatan yang adil dan setara, khususnya dalam memanfaatkan digital sebaik-baiknya. Namun, hingga saat ini, kesetaran gender masih jauh dari harapan. Ini yang menyebabkan perempuan masih dipinggirkan dalam proses pengambilan keputusan, tidak diikut sertakan ketika ada peluang ekonomi, dan juga mengalami berbagai macam bentuk kekerasan dan diskriminasi,” terang Eni saat menjadi narasumber pada kegiatan webinar Permata: Menyuarakan Peran dan Hak Perempuan di Ruang Digital yang digelar ICT Watch – Internet Sehat, Jumat, 22 Maret 2024.
Menurutnya, kesenjangan gender yang terjadi juga menunjukkan lanskap yang begitu timpang. Perempuan mengalami ketertinggalan dalam akses dan juga adopsi teknologi. Selain itu, kesenjangan gender terjadi di sejumlah aspek seperti partisipasi politik, angkatan kerja, ketimpangan upah dan pendapatan. Hal ini semakin membatasi perempuan untuk terlibat dalam agenda digitalisasi nasional.
Kesenjangan gender di ranah digital dan teknologi
Kesenjangan gender di ranah digital juga terlihat dari keterlibatan perempuan pada domain teknologi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh SNP Global pada tahun 2021, keterlibatan perempuan secara profesional di bidang TIK (Teknologi, Informasi, dan Komunikasi) hanya sepertiga jumlahnya di seluruh dunia. Perempuan memiliki jumlah yang lebih sedikit, khususnya yang menduduki peran di posisi senior atau manajemen. Inilah yang menjadi alasan adanya identifikasi bahwa bidang TIK, merupakan salah satu bidang terburuk bagi kesetaraan gender.
Eni menyebutkan, keterlibatan dan peran aktif perempuan dalam transformasi digital dapat membuka peluang dan berdampak signifikan bagi perekonomian. Peningkatan keterlibatan perempuan dalam transformasi digital ini tidak bisa dilepaskan dari perannya mempertahankan ekonomi di tengah terpaan pandemo Covid-19. Perempuan terbukti berhasil menjadi motor penggerak UMKM. Ekonomi keluarga tetap bertahan di tangah perekonomian nasional yang turun dari kelas upper middle income pada tahun 2020 menjadi lower middle income country .
Meningkatnya risiko KBGO
Seiring meningkatnya keterlibatan perempuan di ranah digital, risiko yang dihadapi pun semakin besar. Tidak dimungkiri, internet pada saat ini menjadi sarana munculnya tindakan kekerasan dan eksploitasi. Salah satunya, perempuan kerap menjadi korban di dunia maya atau yang kerap disebut Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Eni menerangkan, ada 8 bentuk KBGO yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan, diantaranya pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privacy (infrement of privacy), ancaman distribusi foto/ video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik, rekrutmen online dan lainnya.
Pada Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021 yang dilakukan oleh Kementrian PPA, KBGO ditanyakan kepada responden terkait dengan kekerasan cyber harasment yaitu pengiriman pesan bernada seksual melalui media sosial yang tidak diinginkan oleh korban. Data menunjukkan, 8,7% dari 93,9 juta perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami pelecehan seksual secara online sejak umur 15 tahun. Sehingga diperkirakan terdapat 8,2 juta perempuan yang dalam hidupnya pernah mengalami KBGO.
Tidak melapor
Selain itu, data dari SAFEnet tahun 2019, terdapat 942 kasus KBGO yang dialami perempuan. Namun dari hasil tersebut, tidak banyak yang berani melaporkan secara langsung ke ranah hukum. Begitu pun dengan data dari LBH Apik. Tercatat sebanyak 307 kasus yang ditangai pada tahun 2021. Jumlahnya meningkat menjadi 489 kasus pada tahun 2022. Hal ini berarti masih banyak korban KBGO yang tidak melapor, tidak berani melapor, atau juga tidak tahu bagaimana cara melaporkannya.
“Berdasarkan data tersebut, penting menjadi perhatian kita bersama untuk mendorong lebih banyak perempuan Indonesia dapat memanfaatkan teknologi digital . Namun pada saat bersamaan, mereka juga dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk melindungi diri sendiri agar tetap aman dan bebas dari ancaman KBGO, maupun tindak kriminal lainnya. Saya yakin, perempuan dengan literasi digital yang baik akan mampu melindungi diri sendiri dan juga mampu melindungi masa depannya. Ia juga bisa melindungi anak-anaknya di ranah digital,” ujar Eni. [*]