digitalMamaID – Sekarang membuat desain logo, poster, grafik, resume, presentasi bahkan konten media sosial menjadi lebih mudah dengan kehadiran Canva. Mulai dari pemula hingga professional mulai beralih menggunakan platform ini. Walau awalnya banyak mendapat ulasan negatif, Canva berhasil membuktikan eksistensinya.
Canva sendiri adalah platform desain dan komunikasi visual online dengan misi memberdayakan semua orang di seluruh dunia agar dapat membuat desain apapun dan mempublikasikannya dimana pun. Platform ini sudah digunakan lebih dari 13 juta pengguna aktif bulanan, 190 negara, dengan 15 miliaran desain dan 100 bahasa.
Perempuan di balik Canva
Tahukah Mama platform yang diluncurkan pada 2013 silam ini dibuat oleh seorang perempuan asal Australia bernama Melanie Perkins? Semua berawal dari hobinya yang gemar merancang dan menggambar poster. Melanie yang saat itu sedang mengeyam bangku perkuliahan di University of Western Australia, melakukan pekerjaan sambilan dengan membuka les privat desain komputer dasar kepada sesama mahasiswa.
Namun, ia jadi menyadari masih banyak mahasiswa yang tidak bisa menggunakan Photoshop, CorelDRAW dan perangkat lunak untuk desain lainnya. Banyak pemula yang merasa software tersebut terlalu rumit. Sekalipun ada yang bisa, itu berkat pengajaran setidaknya satu semester dan latihan berulang kali.
Menurut Melanie, proses mendesain dan mencetak poster atau pamflet di era internet ini cukup merepotkan. Setelah membuat desain dengan Adobe Photoshop atau Microsoft Word,kemudian mengonversinya ke ukuran yang tepat dan menyimpannya sebagai PDF. Setelah itu baru membawanya untuk di cetak. Keresahan inilah yang membawa Melanie dan mitranya – Cliff Obrecht – merancang aplikasi desain grafis yang sederhana, ringkas dan mudah dipahami.
Dari fusion books ke Canva
Pada 2017, perlahan-lahan Melanie mulai merealisasikan idenya lewat buku tahunan sekolah. Dilansir dari KITRUM, Melanie dan Cliff berkolaborasi untuk mengembangkan perangkat lunak guna menyederhanakan proses pembuatan buku tahunan sekolah. Dengan bantuan pinjaman teman dan keluarga sebesar AUD 50.000, mereka mengontrak InDepth milik Greg Mitchell untuk membuat versi pertama perangkat lunak mereka, Fusion Books.
Di tahun pertama, 16 sekolah mendaftar untuk Fusion Books. Pada akhir tahun ketiga, bertambah 100 sekolah. Selama lima tahun, Fusion Books mengalami pertumbuhan yang luar biasa di Australia dan bahkan memperluas jangkauannya ke Selandia Baru dan Prancis. Namun, mimpi besarnya adalah menciptakan platform desain lengkap yang komprehensif dengan mengintergrasikan seluruh ekosistem desain ke dalam satu web.
Persoalan dana adalah tantangan terbesarnya saat itu, Melanie sulit mendapatkan investor. Bahkan ia telah mendapatkan 100 penolakan dari investor sebelumnya. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Bill Tai, investor Sillicon Valey yang kebetulan ada di Perth dan menyodorkan idenya untuk membuat Canvas Chef (sekarang Canva). Bill Tai tertarik dan memperkenalkan Melanie kepada Lars Rasmussen, pendiri Google Maps dan Google Wave sebagai mentor mereka. Melanie menerima investasi awal sebesar $1,6 juta dari investor dan dana pendamping sebesar $1,4 juta dari pemerintah Australia. Tak disangka Canva menjadi startup unicorn yang sukses.
Hingga kini Canva telah meraih kesuksesan besar. Canva mendapatkan berbagai putaran investasi dari berbagai investor, termasuk Felices, Blackbird Ventures, Sequoia Capital China, T. Rowe Price, dan banyak lainnya. Kini, Melanie tinggal memetik hasil dari jerih payahnya. Berkat Canva, Forbes mencatat Melanie memiliki harta US$ 3,6 miliar atau Rp 56 triliun. Sementara Canva sendiri menurut The Social Shepherd sudah mendulang keuntungan hingga US$ 1,7 miliar atau Rp 26 triliun.
“Saya merasa kami telah melakukan pekerjaan yang luar biasa, tetapi kami hanya melakukan sedikit hal dibandingkan dengan apa yang ingin kami lakukan. Kami telah melakukan 1% dari apa yang menurut saya mungkin,” kata Perkins. “Misi perusahaan kami adalah memberdayakan dunia untuk mendesain. Dan yang kami maksud adalah seluruh dunia,” lanjutnya dikutip dari Forbes.
Perempuan perintis startup di Indonesia
Perempuan sebagai pemimpin atau perintis bisnis memang seringkali kurang terekspos, khususnya di dunia digital. Tapi, kisah perjuangan Melanie Perkins membangun Canva bisa menjadi inspirasi sekaligus pengingat bahwa perempuan juga bisa berdaya, melakukan passion-nya, memperjuangkan mimpinya, berpenghasilan sama seperti laki-laki atau bahkan lebih baik.
Di Indonesia sendiri, perempuan bahkan menjadi penggerak ekonomi terbesar ketika covid melanda, UMKM banyak dipimpin dan digagas oleh perempuan. Percepatan era digital ini juga membuat perempuan tak kehabisan akal, dengan membangun bisnis startup-nya masing-masing.
Sebuah penelitian dari Accenture Indonesia, perusahaan global management consulting, servis teknologi dan outsourcing pada 2019, mengungkapkan bahwa jumlah Chief Technology Officer (CTO) atau Chief Operating Officer (CEO) perempuan di Indonesia pada 2030 akan meningkat pesat.
Bahkan belum sampai 2030, perempuan sebagai perintis startup banyak bermunculan, seperti Diajeng Lestari (CEO Hijup.com), Veronika Linardi (pemimpin Qerja.com), Shinta Nurfauzia (CEO dan Co-Founder Lemonilo), Leonika Sari (pemimpin Re-blood.com), Mesty Ariotedjo (pemimpin WeCare ID), Faye Wongso (Co-Founder & CEO Kumpul), Putri Izzati (perintis Ziliun) dan Sabrina Soewatdy dan Sarah Soewatdy (perintis Rukita), platform penyedia layanan sewa hunian jangka panjang.
Dominasi laki-laki
Dilansir dari CNBC, Sarah mengatakan, memang industri teknologi awalnya di dominasi oleh lelaki karena jurusan teknik banyak digeluti oleh lelaki. Namun saat ini, banyak yang mendukung pemberdayaan perempuan.
Bukan tidak mungkin dominasi ini juga akan semakin berkurang, karena semakin banyak perempuan dari generasi milenial dan Z yang mulai melirik industri ini. “Di Rukita hampir setara antara pegawai perempuan dan laki-laki, bahkan di tech team dan project manager juga banyak perempuan. Kami melihat skill, karakter dan kapabilitas,” jelas Sarah kepada CNBC Indonesia.
Menurut Ziliun, media digital anak muda rintisan Putri Izzati, keterlibatan langsung perempuan dalam industri ini, tidak hanya perempuan terlibat secara signifikan di dunia bisnis, tapi juga di bidang teknologi. Bidang startup yang dijalankan oleh para perempuan ini juga tidak melulu berkaitan dengan hal-hal yang mengarah ke perempuan.
“Misalnya, perempuan hanya mendominasi startup di bidang kecantikan, fesyen, atau kuliner. Nyatanya tidak begitu, justru perempuan di startup juga berkecimpung di bidang yang selama ini dianggap ‘laki-laki banget’. Lihat aja tuh, Faye Wongso yang bisnisnya berupa co–working space,” dikutip dari Zilliun.
Kesenjangan investasi berdasarkan gender masih terjadi
Menurut penelitian Boston Consulting Group (BCG), ketika pemilik bisnis perempuan menyampaikan ide mereka kepada investor untuk mendapatkan modal tahap awal, mereka menerima jauh lebih sedikit dibanding laki-laki (kesenjangan yang rata-rata lebih dari $1 juta). Namun, bisnis yang didirikan oleh perempuan pada akhirnya menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan yang didirikan oleh laki-laki (lebih dari dua kali lipat per dolar yang diinvestasikan).
Mengapa terjadi kesenjangan? Pertama, karena seringkali ketika perintis perempuan mempresentasikan bisnisnya, investor berasumsi bahwa pendiri perempuan tidak memiliki pengetahuan teknik dasar. Kedua, pendiri perempuan umumnya dinilai lebih konservatif dalam proyeksi mereka dan mungkin hanya meminta lebih sedikit daripada laki-laki. Ketiga, banyak investor pria kurang familiar dengan produk atau layanan yang dipasarkan oleh bisnis yang didirikan perempuan kepada perempuan lain. Terakhir model bisnis perempuan kebanyakan slow growth model sedangkan laki-laki aggressive growth model yang mana lebih diminati investor.
Dilansir dari Ziliun, ada cara untuk membantu mengatasi kesenjangan investasi yang nyata ini yaitu dengan memahami jenis bias yang merugikan perempuan. Perusahaan modal ventura dan investor dapat membuat keputusan pendanaan yang lebih objektif. Akselerator dapat membantu dalam hal bimbingan, sumber daya, dan jaringan. Dan pendiri perempuan, sambil melobi untuk perubahan jangka panjang, dapat tetap beroperasi secara cerdas dalam sistem saat ini. Menghilangkan ketidakadilan yang melekat dalam keputusan investasi memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar.[*]