digitalMamaID – Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan mencatat peningkatan 792% kekerasan terhadap perempuan dalam waktu 12 tahun. Komnas Perempuan mencatat 338.496 laporan kekerasan terhadap perempuan dan 4.660 kasus kekerasan seksual. Kampus menempati posisi teratas dengan 27% laporan dari data tersebut.
Mengingat angka ini hanya berdasar data pelaporan, bisa dipastikan situasi ini hanya gunung es. Menurut Laporan WHO (2022), 9% korban kekerasan seksual tidak melaporkan. Artinya, jumlah laporan kekerasan seksual mungkin sepuluh kali lipat jika laporan WHO digunakan untuk situasi Indonesia.
Jika kita mempertimbangkan bahwa korban kekerasan seksual tidak hanya perempuan dewasa, tetapi juga anak-anak, laki-laki, dan penyandang disabilitas, datanya akan lebih kompleks.
Gunung es
Laporan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi menunjukkan, 70% dosen menyatakan mereka pernah mengalami kekerasan seksual selama waktu mereka bekerja di kampus. Meskipun demikian, 63% dari mereka tidak melaporkan kasus tersebut.
Sementara itu, Rika Rosvianti, salah satu Tim Tenaga Ahli Pencegahan dan Penanganan Seksual Kemendikbudristek mengumumkan, Kemendikbudristek telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS). Regulasi ini dibuat untuk menjaga hak warga negara atas pendidikan. khususnya para korban kekerasan seksual yang seringkali tidak menerima pendidikan.
“Aturan ini memastikan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang
berorientasi pada kebutuhan korban. Dalam proses dan isinya, Permendikburistek PPKS menjaga prinsip inklusif, dan partisipatif dengan melibatkan jaringan masyarakat sipil yang bergerak di isu kekerasan, disabilitas, dan lintas iman,” kata Rika.
Luluk Nur Hamidah, Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen RI dan Anggota Badan Legislasi DPR RI, mengapresiasi keberadaan Permendikbudristek PPKS karena membantu menciptakan lingkungan pendidikan yang aman di perguruan tinggi.
Bentuk kekerasan seksual
Sayangnya, masih banyak yang tidak tahu apa saja bentuk kekerasan seksual. Menurut Permendikbudristek Nomor 30 Th 2021 Pasal 5 ayat 1, kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Ayat selanjutnya menjabarkan berbagai tindakan yang termasuk kekerasan seksual, yaitu:
- menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban;
- memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
- menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban;
- menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
- mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban;
- mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
- mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
- menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
- mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
- membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;
- memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
- menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
- membuka pakaian Korban tanpa persetujuan korban;
- memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
- mempraktikkan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan yang bernuansa kekerasan seksual;
- melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
- melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
- memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi;
- memaksa atau memperdayai korban untuk hamil;
- membiarkan terjadinya kekerasan seksual dengan sengaja; dan/atau
- melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya
Great UPI
Permendikbud Nomor 30 Th 2021 disahkan pada September 2021 untuk mengakhiri kekerasan seksual di perguruan tinggi. Peraturan ini dianggap sebagai ‘angin segar’ untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus. Salah satunya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) bernama Great UPI.
Jauh sebelum adanya peraturan tersebut, UPI sudah ada rencana pembuatan UKM ini, dengan adanya peraturan, Great UPI mengkaji dan menyesuaikan UKM
nya dengan isi peraturan. Program yang ada di Great UPI pun banyak, diantaranya ada riset, advokasi, edukasi serta sekolah advokasi gender.
Hadirnya Great UPI di tengah-tengah lingkungan kampus ini sempat menuai banyak cibiran. Banyak yang belum paham seberapa daruratnya kekerasan seksual
di lingkungan kampus.
“Ih takut ada polisi moral! Takut ah ada Great,” kata Ketua Great UPI Nida menirukan cibiran orang yang ditujukan kepada Great UPI. Namun hal tersebut tak membuat Great UPI kehilangan semangatnya yang berkobar demi menegakkan kesetaraan gender dan melawan kekerasan seksual karena nyatanya banyak yang belum paham apa saja bentuk kekerasan seksual dari yang tingkatannya ringan sampai yang berat.
Great UPI terus berupaya melakukan sosialisasi mengenai isu-isu tersebut dan melakukan kampanye seperti memasang banner, stiker dan hal-hal semacamnya. Tak hanya itu, Great UPI pun mencantumkan hotline yang bisa dihubungi untuk pengaduan.
Nida mengatakan, korban kekerasan seksual di kampus banyak yang tidak berani untuk mengadu, banyak pula yang bingung harus mengadu kemana. Great UPI dengan gencar menempelkan stiker berisikan hotline yang bisa dihubungi untuk membantu korban.
“Suatu pencapaian ya sekarang banyak pengaduan yang masuk, korban udah berani untuk mengadu,” ujar Nida, ketua Great UPI.
Menerima pengaduan
Great UPI melayani setiap pengaduan yang masuk dan melakukan pendampingan, untuk penanganan dan konsekuensi terhadap pelaku di urus oleh Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SPPKS) UPI sebagaimana yang tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 30 Th 2021 Bab V tentang mekanisme penanganan kekerasan seksual oleh satuan tugas.
Kegiatan yang kini sedang dilakukan Great UPI adalah menulis riset risalah tahunan, riset kekerasan dalam pacarana, riset Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Dalam risalah tahunan yang Great UPI tulis tertera berapa banyak jumlah pengaduan yang masuk. Korban kekerasan seksual tak hanya perempuan, laki-laki pun bisa menjadi korban dan pendampingan serta penanganan yang diberikan pun sama.
Waktu yang dibutuhkan dalam menangani setiap kasus berbeda-beda. Ada yang sebentar ada yang memakan waktu hingga setahun. Dengan menangani kasus, Great UPI serta anggota SPPKS UPI menyadari betapa pentingnya sosialisasi mengenai isu kekerasan seksual dan pentingnya ada satuan tugas di setiap kampus.
“SPPKS harus ada di setiap kampus, karena kadang kita menerima pengaduan dari
mahasiswa luar UPI yang bingung mau ngadu ke mana karena di kampusnya gak ada yang bisa menangani,” ucap Mentari, salah satu anggota Great UPI serta SPPKS UPI.
Triyashica Pragya
Harapan anggota Great UPI ini segera terwujud karena sudah banyak kampus yang mulai mempunyai komunitas atau UKM yang bergerak membahas isu gender dan kekerasan seksual, salah satunya ada di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Bandung yang diberi nama Triyashica Pragya.
Perempuan muda yang sukses dan bijaksana. Itulah arti dari Triyashica Pragya, salah satu komunitas di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Bandung yang aktif di isu
perempuan dan gender. Triyashica awalnya tidak berdiri sendiri, komunitas perempuan ini awalnya ada bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Pada awalnya menjadi komunitas mengasah kemampuan perempuan dan membahas kesetaraan gender. Lama kelamaan jadi di fokuskan untuk membahas kesetaraan gender, menyebarkan awareness atau kesadaran dan menciptakan ruang aman.
Ada pula satu kasus yang memantik komunitas ini untuk berani membahas isu kekerasan seksual. Kasus yang ternyata sangat meresahkan hingga membuat korban takut untuk datang ke kampus dan merasa tidak ada ruang aman untuk dirinya
“Setelah kita caru tahu mengapa, lalu dia certain. Ternyata, hal yang mau kita angkat ini adalah yang paling penting. Jadi, kita berani untuk angkat isu ini,” ujar Nazwa, Ketua Triyashica Pragya.
Kampanye di kampus
Mulai berdiri sejak September 2023, kini Triyashica memiliki 27 anggota aktif yang awalnya hanya perempuan saja, tapi ada juga anggota laki-lakinya. Kini Triyashica berfokus pada Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan Kekerasan Berbasis Gender Seksual (KBGS).
Awal kemunculan komunitas Triyashica ini tentunya tidak mudah diterima oleh orang-orang dan sering disepelekan. “Ah apa Triyashica mah keputrian-keputrian doang,” tutur Nazwa.
Terlihat juga masih banyak orang yang tidak mengerti apa itu gender dan macam-macam kekerasan seksual. Itu sebabnya Triyashica banyak melakukan kampanye mengenai kekerasan seksual, kekerasan terhadap perempuan dan lain-lain. Kampanye yang dilakukan ini melalui platform Instagram dan menempelkan poster-poster di mading dan beberapa spot di kampus.
Mengingat umur komunitas ini yang masih sangat muda, kegiatan dan pelayanan yang mereka rencanakan pun belum dapat terlaksana. Pihak kemahasiswaan memberi arahan agar komunitas ini kuat di bagian internal terlebih dahulu sambil menunggu terbentuknya satgas kampus.
Belajar dari komunitas lain
Pelayanan yang direncakan akan hadir kedepannya adalah menerima aduan atas terjadinya kekerasan seksual. Namun sebelum dapat menangani kasus bila ada aduan, komunitas ini diarahkan untuk belajar banyak dari komunitas lain yang sudah lebih dulu lahir di kampus lain.
Kegiatan-kegiatan dilakuakan Triyashica adalah diskusi rutin sesama anggota dan sering juga berdisusi dengan komunitas di luar kampus yang membahas isu gender dan kekerasan seksual juga agar wawasan para anggota lebih luas dan nantinya dapat menangani kasus.
Sebagai komunitas baru, tidak ada syarat khusus untuk mengikuti komunitas ini. Triyashica mengumpulkan anggota sebanyak-banyaknya saja. Akan tetapi, direncanakan akan ada ketentuan bergabung nantinya.
Mulai Januari tahun 2024, Triyashica melakukan wawancara untuk mengetahui sejauh apa pengetuan dan siapa saja yang sanggup untuk menangani kasus yang membuat kepengurusan di internalpun mengalami perombakan.
Nazwa berharap, komunitas ini semakin berkembang. “Harapan aku, Triyashica tuh nggak menggebu di awal. Kita bisa konsisten, terus gak pernah mati lah. Harus terus berkembang dan impian kita kan menciptakan aman, ramah gender. Semoga saja itu bisa tercipta, setidaknya mengurangi kasus yang ada dan orang juga lebih aware lah ternyata ini tuh ga boleh, itu ga boleh dan lebih tau mana yang seharusnya dilakukan dan tidak,” tutur Nazwa. [*]