digitalMamaID – Kebijakan afirmasi kuota perempuan untuk menjadi calon legislatif belum ideal. Kuota bakal caleg perempuan 30% masih sangat kecil. Tidak heran jika kebijakan yang menyuarakan kepentingan perempuan masih sulit.
Kebijakan afirmasi kuota perempuan sebesar 30% baru diterapkan di tingkat bakal calon anggota legislatif. Artinya jumlah calon legislatif perempuan akan lebih sedikit. Jumlah anggota legislatif perempuan akan jauh lebih sedikit lagi.
“Kebijakan yang ada tidak ideal. Jadi harapannya siapapun yang terpilih punya perspektif gender agar bisa menghasilkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan perempuan,” kata akademisi dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung Dr Indraswari saat menjadi pembicara di Perempuan Menggugat: Perempuan di Tahun Pemilu 2024, Rabu, 31 Januari 2024. Acara ini digelar oleh Samahita dan Tranparency International Indonesia di Sans Co Cafe & Coworking Space, Bandung.
Perspektif gender
Ia mengatakan, dengan kondisi yang tidak ideal ini, kebijakan afirmasi kuota perempuan 30% bakal calon itu tak bisa menjadi tujuan. Kebijakan itu bisa menjadi sarana untuk menyuarakan kepentingan perempuan. Akan tetapi, jauh lebih mendesak agar calon yang terpilih – termasuk laki-laki – memiliki perspektif gender.
Caleg DPRD Kota Bandung dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Gina Mardiana mengatakan, di DPRD Kota Bandung saat ini hanya ada sembilan anggota legislatif perempuan. Itupun satu orang berasal dari Pergantian Antar Waktu (PAW). Idealnya perlu ada 15 anggota perempuan agar komposisinya 30%.
Dengan komposisi yang jauh dari ideal, kebijakannya pun jadi tidak memadai. Anggaran untuk Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Bandung (DP3AKB) tidak sampai Rp 1 miliar per tahun. “Setengahnya sudah habis untuk biaya rapat dan koordinasi. Sisanya baru sampai ke masyarakat. Lalu siapa yang akan mengerjakan pekerjaan ini? Anggaran itu sangat penting. Ini tidak masuk akal,” katanya.
Caleg pajangan
Caleg DPRD Kabupaten Bandung dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Vanya Vibilla Andjani mengkritisi partai politik yang tidak disiplin memenuhi kuota 30% bakal calon perempuan. Menurutnya, aturan tersebut hanya diterapkan ketat untuk pencalonan tingkat DPR RI. Sementara di tingkat DPRD provinsi, kota, dan kabupaten masih sangat longgar. Bahkan banyak suara perempuan yang hilang karena pembulatan angka ke bawah.
Selain itu, parpol juga tidak tekun melakukan pendidikan politik kepada kader perempuan. Simpatisan perempuan tidak banyak yang akhirnya mau menjadi kader, apalagi maju sebagai caleg. “Akhirnya (parpol) ya asal comot. Akhirnya (perempuan) jadi caleg pajangan,” ujarnya.
Ia berharap, perempuan yang berhasil maju menjadi caleg dan terplih menjadi anggota legislatif bisa bergandengan tangan menyokong kepentingan perempuan. “Terlepas nanti fraksinya beda, tapi perempuan harus bersatu,” katanya.
Caleg DPRD Kota Bandung dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Wiwi Hartanti mengatakan, kebijakan afirmasi terhadap perempuan ini menunjukkan kelemahan aturan hukum di Indonesia. Afirmasi itu tidak diterapkan secara ketat karena tidak ada sanksi bagi parpol yang tidak memenuhinya.
Ia mengajak perempuan untuk tidak tabu turut serta dalam aktivitas politik. “Selama ini banyak yang mengatakan politik bukan wilayah perempuan. Nyatanya semua sendi kehidupan ditentukan lewat politik,” katanya.
Pemenuhan hak-hak perempuan dan kelompok marjinal
Sebelum diskusi, pada 16 Januari 2024, Samahita menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk menggali pengalaman diskriminasi perempuan dan kelompok marjinal di Kota Bandung. Dalam Kertas Posisi yang dibuat oleh tim Yayasan Samahita Bersama Kita disebutkan, penting untuk memilih pejabat yang tidak hanya peduli, tetapi juga memiliki perspektif yang mendukung perempuan dan kelompok marjinal.
Samahita mengidentifikasi tujuh masalah pemenuhan hak perempuan dan kelompok marjjinal di Bandung Raya. Mulai dari penanganan kasus kekerasan berbasis gender, layanan kesehatan, sistem ketenagakerjaan, sistem pendidikan, perampasan ruang hidup, inklusivitas dalam demokrasi, hingga sistem hukum dan HAM.
Dalam rekomendasinya, Samahita mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan pengesahan tujuh peraturan pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pemerintah juga harus melakukan sosialisasi yang efektif kepada aparat penegak hukum agar terjamin pelaksanaannya.
Samahita juga mendesak adanya peningkatan representasi perempuan dan kelompok marjinal dalam politik. Representasi tersebut tidak hanya dalam hal jumlah, tetapi juga secara substansi kebijakan. Isu perempuan dan kelompok marjinal perlu diintegrasikan ke dalam visi misi caleg.
Selain itu, Samahita menyebut adanya kebutuhan mendesak untuk berkolaborasi antara anggota parlemen dan organisasi masyarakat sipil untuk pengarusutamaan gender. Meningkatkan pemahaman gender diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang sensitif gender. [*]