digitalMamaID – Pemilu 2024 membawa kekhawatiran terhadap lonjakan hoaks terutama di media sosial. Fitur-fitur baru di platform tersebut memberikan tantangan sendiri bagi Koalisi Cek Fakta. Bagaimana kita bisa menghadapi gelombang hoaks ini?
Koalisi Cek Fakta bekerja sama dengan Lembaga Riset Binokular untuk melakukan pemantauan media sepanjang masa pra-pemilu hingga akhir 2024. Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber (AMSI) Adi Prasetya mengatakan, penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dapat membantu mengidentifikasi kata kunci yang banyak digunakan menjelang Pemilu 2024.
Berasal dari buzzer
Data dari Binokular mengindikasikan peningkatan aktivitas buzzer sejak awal tahun 2023, seiring dengan pertumbuhan hoaks di masyarakat. Pola penyebaran hoaks ini mirip dengan Pemilu 2019. Sebagian besar berasal dari buzzer dan afiliator, sedangkan hoaks dari akun organik/akun perseorangan sangat sedikit. Hingga Agustus 2023, MAFINDO mencatat sebanyak 1.500 hoaks dengan akumulasi jangkauan mencapai 1 miliar views, terutama berupa foto dan video.
Ketua Umum Presidium MAFINDO Septiaji Eko Nugroho mengungkapkan, hoaks selama musim Pemilu tidak hanya terkait dengan saling serang antara calon presiden, namun juga melibatkan pendukung-pendukung mereka. Serangan hoaks ini sangat aktif dan belum seimbang dengan upaya counter dari Koalisi Cek Fakta. “Ada kanal YouTube Politik Nusantara dapat memproduksi hingga 5 video hoaks dalam sehari dengan lebih dari 800 ribu followers,” ujarnya saat menjadi pembicara di webinar yang diadakan oleh AMSI pada September 2023.
Hoaks dari media mainstream
Selain dari akun anonim, hoaks juga diproduksi oleh media mainstream. Contohnya, hoaks alumni 212 yang mendukung Ganjar Pranowo dan Sudirman Said yang dianggap merendahkan AHY. Hoaks Sudirman Said yang diproduksi oleh Tempo.co sudah diklarifikasi dan dihapus artikelnya pada awal September lalu.
F.X. Lilik Dwi Mardijanto, peneliti Koalisi Cek Fakta menyebutkan, hoaks dari media mainstream disebabkan oleh pelanggaran elemen jurnalisme, terutama terkait kebenaran, loyalitas pada warga, dan verifikasi.
Fitur video pendek
Tidak hanya dalam bentuk tulisan atau foto, hoaks saat ini juga menyebar melalui fitur video pendek di berbagai platform media sosial dan marketplace. Memang faktanya tren video pendek ini sangat efektif untuk penyebaran informasi, tapi tentu bukan untuk menyebarkan hoaks/misinformasi.
Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis menyebutkan, 2024 is TikTok election. “Filipina adalah contoh negara yang terpengaruh TikTok pada pemilu di 2022 lalu yang memenangkan Bongbong Marcos anak dari Ferdinand Marcos,” ujarnya. Banyaknya Gen Z sebagai pengguna Tiktok yang tidak tahu sejarah di masa lalu membuat suara Bongbong naik pesat. Berawal dari wawancara kepada Juan Ponce Enrile, mantan Menhan pada masa Marcos oleh Joey Toledo yang viral di Tiktok Filipina. Dalam wawancara itu disebutkan, pada masa Marcos situasi Filipina sangat aman.
Sebagai informasi, Indonesia merupakan pengguna Tiktok terbesar kedua di dunia. Jumlahnya mencapai 99,8 juta pengguna. Peringkat pertama ditempati Amerika dengan 120 juta pengguna. Jumlah pengguna yang besar ini menimbulkan kekhawatiran sendiri bagi Koalisi Cek Fakta karena sulit untuk memeriksa hoaks secara menyeluruh.
Menurut Lilik, sebenarnya banyak pengguna TikTok ingin mencari berita, namun yang tersaji adalah misinformasi terkait pemilu. TikTok sendiri saat ini ada di posisi lima besar platform video yang paling diminati. Yang pertama adalah YouTube, news app/website, Facebook, dan Instagram.
Kolaborasi dan kesadaran kolektif
Penyebaran hoaks memang tidak bisa dilawan satu lawan satu oleh Koalisi Cek Fakta. Sebuah foto bisa diperiksa kebenarannya oleh tim dalam waktu dua jam, bila berbentuk video akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Maka dari itu dibutuhkan kesadaran kolektif untuk memverifikasi dan kolaborasi besar untuk melawan hoaks/misinformasi yang dapat memecah belah masyarakat saat masa pemilu ini. Kolaborasi ini menurut Uni adalah bisa menggandeng universitas atau mahasiswa untuk menjadi pemeriksa fakta.
Memeriksa fakta bukan hanya tugas Koalisi Cek Fakta, tapi tugas seluruh jurnalis. Walaupun pada kenyataannya tekanan pekerjaan, kurangnya sumber daya manusia, keadaan bisnis media yang kurang sehat menghambat jurnalis untuk lebih profesional. Jalan mudah kadang ditempuh seorang jurnalis dengan langsung mengutip dari media sosial tanpa verifikasi karena berlomba dengan media lain.
Uni menuturkan, jurnalisme berkualitas bukanlah tugas platform media sosial, tetapi tugas jurnalis. Tetapi, ada hal yang menghambat pekerjaan ini yaitu enggannya platform/publisher membuka algoritmanya. Pada 25 Agustus lalu, Uni Eropa secara efektif memberlakukan digital service act untuk mencegah platform menyebarluaskan misinformasi/illegal content/targeted ads berkaitan dengan pemilunya. Hal ini sangat baik untuk menghindari pemilih dari paparan hoaks.
Selain jumlah pemeriksa fakta tentu tidak sebanyak pembuat hoaks, biaya yang dibutuhkan untuk cek fakta juga cukup tinggi. Hal ini tentu menghambat kecepatan untuk menyaingi penyebaran hoaks yang sangat masif.
“Para pembuat hoaks berlindung di bawah slogan kebebasan berpendapat, tetapi bila yang diproduksi adalah disinformasi, adu domba, seharusnya platform atau publisher ikut bertanggung jawab. Dukungan dari masyarakat sangat kami butuhkan dalam membangun ekosistem informasi yang sehat,” kata Septiaji menutup di webinar ini. [*]