digitalMamaID – Memasuki tahun politik, konten hoaks yang tersebar di dunia maya semakin banyak. Mama perlu mewaspadai dampak buruk hoaks pemilu ini, ya!
Sebagai Mama melek digital, kita perlu melakukan sesuatu agar penyebaran konten hoaks semacam ini tidak semakin masif. Setidaknya, kita mampu menyaring konten hoaks untuk diri kita sendiri.
Menurut anggota Tim Pengawasan dan Sosialisasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Deytri Aritonang, setidaknya ada empat bahaya hoaks dalam pemilu, yakni sebagai berikut:
1. Memengaruhi prefrensi
Hoaks dapat memengaruhi prefrensi kita loh Mam. Sebagai contoh, kita awalnya memilih calon A, tetapi karena ada hoaks kita tidak lagi melihat visi dan misi calon tersebut.
“Kita jadi lebih terpengaruh informasi di luar sana, di luar visi dan misi si calon, informasi yang jadi kampanye hitam yang mengubah preferensi kita,” kata Deytri dalam diskusi webinar yang digelar Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).
2. Merusak legitimasi proses dan hasil pemilu
Karena hoaks ini, masyarakat jadi meragukan hasil pemilu. Menurut Deytri, ini terlihat jelas saat Pemilu 2019. Saat itu, KPU memang menetapkan pemenag pemilu tengah malam.
Namun, informasi yang beredar justru menekankan bahwa penetapan pemenang pemilu itu dilakukan diam-diam sehingga hasilnya berubah.
“Padahal kan di sana ada saksi pasangan calon hadir, bawaslu hadir, pemantau pemilu hadir, tidak ada yang disembunyikan. Itu efeknya masih sampai sekarang, di media sosial jadi serangan,” kata dia.
Akibat dari itu, pemenang pemilu tidak lagi dipercaya masyarakat, demikian juga dengan penyelenggara pemilu. Dampak akhirnya, partipasi masyarakat akan berkurang. Masyarakat cenderung apatis terhadap pemilu. “Ah ngapain saya pilih lagi toh hasilnya dicurangi, yang saya pilih enggak menang, itu kan menurunkan partisipasi,” ujar Deytri.
3. Polarisasi, konflik sosial, dan perpecahan
Perpecahan akibat hoaks tidak hanya terjadi di media sosial tetapi juga di kehidupan pribadi. Bahkan, pasangan suami-istri bisa cekcok karena hal ini.
“Yang berteman, adik kakak, saya sendir merasakannnya, dicuekin sepupu karena saya pernah meluruskan informasi yang dia sampaikan bahwa itu bohong, hoaks,” ucap Deytri.
Karena hoaks, jadi muncul bias informasi yang akhirnya membuat orang hanya mempercayai apa yang ingin dia percaya.
4. Megalihkan perhatian orang
Akibat hoaks, masyarakat cenderung teralih perhatiannya. Dalam memilih calon pemimpin misalnya, mereka tidak lagi melihat dari visi dan misi atau program sang calon, tetapi hanya melihat informasi yg salah.
“Tidak lagi melihat tujuan dia dalam memilih kandidat itu,” ujar Deytri.
Saluran hoaks
Presidium Mafindo Puji F Susanti menyampaikan, berdasarkan data Mafindo pada triwulan I 2023, hoaks terbanyak di media sosial merupakan hoaks terkait isu politik, yakni 35%. Disusul hoaks terkait isu pribadi 10%, hoaks kriminalitas 9%, kemudian hoaks kesehatan 7%, dan hoaks berita duka 6%.
Sementara itu, saluran hoaks terbanyak disebarkan lewat Facebook (35%), YouTube (32%), Twitter (14%), dan Tiktok (7%).
“Facebook memang luar biasa, mungkin generasi pengguna Facebook masih suka sekali menyebarkan berita, mungkin niatnya, dia tdk tahu, mungkin jadi sarana berbagi info yang mudah,” kata dia.
Meski begitu, kata dia, jika dilihat khusus untuk bulan terakhir yang didata Mafindo, yakni Juni 2023, saluran penyebaran hoaks cenderung lebih banyak melalui YouTube.
“Juni agak kebalik, Facebook kalah dengan YouTube, YouTube 75 persen, Facebook 57 persen.”
Berdasarkan data Juni itu, menurut Puji, banyak portal di YouTube yang nuansanya portal media tetapi membagikan hoaks dan konten manipulatif.
Ia mencontohkan suatu portal YouTube yang membagikan konten video soal gempa Yogyakarta seolah-olah itu gempa yang baru terjadi, padahal sudah lama.
“Kita harus waspada lagi karena tren masyarakat bukan lagi menyimak tulisan, menyimak gambar, tetapi audio visual sehingga YouTube cukup banyak sebagai penyalur berita hoaks,” ujar Puji.
Yang bisa kita lakukan
Untuk mencegah penyebaran hoaks, Puji menyarankan masyarakat untuk melakukan 6 hal:
1. Ubah pola pikir
Kita bisa membantu menangkal hoaks dengan mengubah pola perilaku kita untuk tidak asal sebar informasi. Saring sebelum sharing
2. Skeptis
Selain itu, skeptik atau berpikir kritis bisa menjadi pilihan. Sebelum menerima informasi dari media sosial, ada baiknya mengecek terlebih dahulu informasi tersebut, terutama jika informasi itu meragukan. “Bisa cek di website cekfakta.com, ada apa tidak ini, hoaks atau bukan, sehingga kita tidak menyebarkan informasi hoaks jika benar itu hoaks,” kata dia.
3. Cek sumber
Mengecek sumber informasi juga penting dilakukan. Ia menyarankan masyarakat mengonsumsi berita dari sumber terpercaya
4. Sadari hoaks manfaatkan sisi emosional
Puji berpesan, konten hoaks cenderung memanfaatkan sisi emosional pembaca, seperti sisi kebencian, kesukaan, atau jika kita mendewakan sesuatu. “Mendewakan tokoh tertentu misalnya. Makanya jika mendapat berita apa pun, cobalah calm down, inhale, exhale dulu baru kita cerna,” kata dia.
5. Tularkan pengetahuan dan kebenaran
Jika kita sudah tahu konten mana yang hoaks, ada baiknya kita menyampaikan kebenaran tersebut kepada sekitar kita. Degan begitu, tidak lebih banyak orang yang tertipu hoaks.
6. Laporkan hoaks
Sebagai Mama yang melek digital atau peduli terhadap cakap digital, ada baiknya jika kita melaporkan hoaks yang kita temukan. Laporan bisa disampaikan ke sejumlah kanal penerima aduan, salah satunya aduankonten.id milik Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Jadi Mam, mari ambil bagian membantu tangkal hoaks! [*]