digitalMamaID – Pembuatan Identitas Kependudukan Digital yang digagas pemerintah dinilai belum mendesak. Pemerintah diminta membenahi soal pengelolaan data pribadi yang sering bocor dan tidak ada penyelesaiannya.
Identitas Kependudukan Digital (IKD) adalah e-KTP digital. Akan tetapi, menurut pemerintah, IKD tidak menghapuskan e-KTP. Keberadaannya disebut saling melengkapi.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum menuturkan, jika melihat rekam jejak pemerintah dalam pengelolaan data pribadi masyarakat, pembuatan IKD ini bukan sesuatu yang mendesak untuk saat ini.
“Karena kita sendiri sebagai masyarakat tahu dan melihat seberapa seringnya data pribadi yang dikelola pemerintah bocor walaupun dengan berbagai alasan,” ujarnya saat diwawancara pada Jumat, 5 Januari 2024.
Dengan berbagai kasus kebocoran data oleh lembaga pemerintah, ia mengatakan sangatlah wajar jika masyarakat was-was atau ragu untuk membuat IKD. Selain itu, e-KTP sendiri sejauh ini belum digunakan secara maksimal. Padahal, di beberapa instansi swasta, seperti perbankan, pemanfaatan e-KTP bisa meningkatkan pelayanan. Namun, hal itu belum dirasakan masyarakat di sektor pelayanan oleh pemerintah.
“Aku yang menjadi salah satu nasabah bank, (penggunaan e-KTP) sangat terasa banget manfaatnya. Dengan e-KTP mereka tidak perlu lagi memfotokopi dokumen lainnya,” ucapnya.
Selesaikan kasus kebocoran data
Seharusnya, kata dia, hal seperti ini yang harus diadaptasi oleh pemerintah terhadap sistem atau pelayanan publik lainnya. “Itu mudah loh tanpa harus menginstal aplikasi, tanpa harus melampirkan dokumen yang difotokopi,” katanya.
Nenden mengatakan, sekarang masyarakat sudah melek soal data pribadi. Masyarakat sudah mengetahui risiko ketika harus menyerahkan lagi data dan mengikhlaskan datanya dikelola oleh negara yang ternyata dalam perlindungannya masih sangat buruk.
Ia menyarankan, daripada harus mewajibkan penerapan identitas kependudukan digital, lebih baik pemerintah terlebih dulu menunjukkan komitmennya dalam hal perlindungan data pribadi. Caranya dengan menyelesaikan kasus-kasus kebocoran data yang selama ini ada. Hal semacam ini yang akan membuat masyarakat percaya pemerintah mampu mengelola data pribadi masyarakat.
“Kalau memang sudah seperti itu kan jika nantinya diwajibkan ada penerapan identitas kependudukan digital, kita tidak ragu-ragu lagi. Kita paham negara sudah sangat baik dalam melindungi data kita. Tapi sekarang kan belum, masih jauh ya,” ungkapnya.
Menyerahkan data lagi
Masyarakat bisa membuat IKD ini dengan mengunduh aplikasi Identitas Kependudukan Digital yang dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri di Play Store. Kemudian, pengguna harus memasukkan sejumlah data pribadi, seperti nomor ponsel, Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan alamat email.
Lalu, pengguna juga harus melakukan verifikasi wajah dengan mengambil foto dan pemadanan wajah. Plih scan QR Code yang terdapat di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Setelah melalui proses pendaftaran, pengguna akan menerima kode aktivasi melalui email yang sudah didaftarkan. Masukkan kode tersebut untuk mengaktifkan IKD.
Jika melihat langkah-langkah tersebut, berarti masyarakat harus menyerahkan data pribadi lagi. Padahal, masyarakat telah melakukannya saat membuat e-KTP.
Meminggirkan kelompok marjinal
Nenden berpendapat, jika nanti IKD diwajibkan, kebijakan iini berpotensi meminggirkan kaum marjinal. Pembuatan IKD ini bisa dilakukan dengan dukungan infrastruktur yang memadai. “Harus menginstal aplikasi di smartphone, harus ada akses internet dan lain sebagainya,” tuturnya.
Sementara, kata dia, tidak semua masyarakat bisa mengakses atau bisa menggunakan smartphone. Belum lagi koneksi internet yang belum merata di seluruh Indonesia. Bahkan, kemungkinan masih adanya masyarakat yang belum mengetahui keberadaan internet.
Hal-hal seperti itu yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah ketika ingin menerapkan identitas kependudukan digital secara masif. Jika dilihat dari sudut pandang tersebut, kata Nenden, penerapan identitas digital itu tidak bukan keputusan bijak jika dilaksanakan dalam waktu dekat.
Jika wacana tersebut ingin direalisasikan bisa dilakukan secara bertahap. Misalnya, pemerintah memperbaiki terlebih dulu rekam jejak perlindungan data pribadi, meratakan koneksi internet di seluruh Indonesia, dan memastikan masyarakat semuanya sudah bisa mengakses smartphone.
“Mereka paham soal literasi digital, paham hak-haknya, hak privasi, data pribadi dan lain-lain. Kalau infrastrukturnya sudah siap dan masyarakatnya siap, identitas digital itu baru bisa diterapkan secara efektif dan produktif,” tutur Nenden. (Catur Ratna Wulandari) [*]