Review palsu tentang sebuah produk atau fake review semakin meresahkan konsumen. Konsumen jadi tidak percaya lagi dengan sistem rating atau ulasan produk yang biasa digunakan oleh platform jual beli online. Benarkah review palsu ini menguntungkan penjual?
Pertumbuhan perdagangan elektronik atau jual beli online di Indonesia menunjukkan tren yang positif. Dari segi jumlah konsumen dan nilai transaksi mengalami kenaikan. Menurut Digital 2021 Indonesia, 78,2 persen dari pengguna internet di Indonesia mengunduh aplikasi belanja online. Tidak heran jika Shopee menduduki peringkat kelima sebagai aplikasi yang paling banyak diunduh.
Perputaran uangnya tidak main-main. Uang konsumsi masyarakat tersedot setidaknya Rp 137,3 triliun hanya untuk membeli pakaian secara online. Pertumbuhan nilai transaksi fashion dan kecantikan memang salah satu yang tertinggi, 50,7 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi di produk makanan dan kebutuhan pribadi. Hal ini tak lepas dengan situasi pandemi yang belum usai. Masyarakat mengandalkan belanja online untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Performa penjual di platform jual beli online ditentukan dari rating dan review yang diberikan oleh konsumen. Lewat algoritma, mereka mengatur penjual dengan rating tinggi dan review yang baik akan ditampilkan paling atas atau bahkan direkomendasikan kepada calon pembeli. Itu sebabnya, penjual membutuhknya rating dan review yang baik.
Bagi produk maupun brand baru, tidak gampang mendapat ulasan yang baik. Fake review atau review palsu akhirnya ditempuh sebagai jalan pintas. Kondisi ini bukan khas terjadi di Indonesia saja. Studi yang dilakukan Harvard Business Review bekerja sama dengan UCLA menyebut, diperkirakan terdapat 4,5 juta penjual yang menggunakan jasa review palsu yang didapat di grup tertutup di Facebook.
Temuan menarik lainnya, review palsu itu paling cenderung ditemukan pada produk yang memiliki pesaing dengan harga yang hampir sama, biasanya pada rentang 15-40 dolar AS.
Jangka pendek
Lalu benarkah review palsu ini merupakan strategi bisnis yang menguntungkan? Masih menurut studi yang sama, strategi ini sangat efektif untuk jangka pendek. Dua minggu setelah review palsu mulai digencarkan, rating penjual di platform digital seperti Amazon meningkat 0,16 bintang. Jumlah reviewnya juga naik dua kali lipat. Jika semula rata-rata hanya lima setiap minggunya, kini jadi 10.
Memang bisa jadi diantara ulasan itu ada juga yang organik atau asli dari pembeli. Akan tetapi data menunjukkan, peningkatan itu terjadi setelah penjual menggunakan review palsu. Review yang meningkat itu berhasil mendorong penjualan hingga 12,5%. Akan tetapi peningkatan ini tidak bertahan lama.
Hipotesisnya, perusahaan atau penjual bisa jadi menggunakan strategi review palsu untuk mengatasi persoalan cold start. Persoalan ini biasanya dihadapi oleh produk-produk berkualitas baik tetapi belum mendapat perhatian yang cukup dari konsumen. Begitu mereka sudah memiliki reputasi positif lewat review palsu, konsumen yang sesungguhnya akan mulai membeli dan mau memberi ulasan.
Akan tetapi yang terjadi, kenaikan rating, jumlah review, dan penjualan akan menurun setelah dua bulan. Delapan pekan setelag penjual tidak lagi menggunakan jasa review palsu rating menurun 6,3%, penjualan menurun 21,5%, dan mulai menerima penilaian bintang satu dari konsumen yang tidak puas. Konsumen merasa tertipu karena kualitas produk yang sebenarnya rendah.
Tidak percaya sistem
Jelas sudah review palsu ini merugikan pembeli. Tapi dampak berbahaya lainnya ialah, kepercayaan konsumen terhadap sistem rating dan review di platform tersebut juga rusak.
Amazon menghabiskan 500 juta dolar AS dan mempekerjakan 8.000 orang yang khusus mengurangi penipuan dan penyalahgunaan pada platformnya. Amazon sebenarnya sudah menghapus 40% dari review palsu, tetapi butuh waktu 100 hari setelah ulasan palsu itu muncul. Waktu yang cukup bagi penjual menikmati peningkatan penjualan jangka pendek akibat penggunaan review palsu.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Poppy Febriana mengatakan, konsumen perlu memahami pentingnya review dalam ekosistem jual beli online ini. Maka itu, konsumen diharapkan tidak malas memberikan penilaian dan membagi pengalamannya setelah membeli produk secara online, terutama jika lewat market place.
Review konsumen seharusnya untuk membantu orang lain. Tidak hanya meyakinkan orang lain tentang kualitas produk yang baik, tetapi juga menyelamatkan konsumen dari penjual yang tidak bertanggung jawab.
“Kita juga bisa membuat review sendiri lewat media sosial pribadi dengan menyertakan tagar (hashtag) atau me-mention akun produk. Itu juga bisa membantu orang lain yang sedang mencari produk terkait,” katanya. Apakah Mama sudah mempraktikannya?
1 thoughts on “Review Palsu Makin Banyak, Seberapa Efektif Strategi Ini?”
Pingback: Promo 11.11 dan Singles Day yang Jadi Momentum Tebar Diskon