Di era belanja online, review produk berperan penting membantu seseorang mengambil keputusan untuk membeli sebuah barang. Review atau ulasan yang baik dari pengguna akan mendatangkan pengguna baru. Lalu, apa jadinya jika review produk dimanipulasi?
Beberapa hari lalu, media sosial ramai membahas soal buzzer yang menyerbu kolom komentar akun Instagram sebuah brand kecantikan. Kolom komentar itu dihujani dengan komentar yang sejenis. Mereka menyoal kemiripan dengan produk kecantikan brand lain. Komentar yang seragam ini yang menguatkan, komentar tersebut berasal dari buzzer, bukan pengguna yang sesungguhnya.
Dari penelusuran pihak brand, terungkap akun-akun yang meninggalkan komentar sejenis tersebut rupanya memang sudah mendapat arahan. Mereka dibayar Rp 3.000 untuk setiap komentar yang dibuat sesuai petunjuk yang diberikan.
Ramai diperbincangkan, terkuat pula keresahan konsumen yang semakin sulit menemukan review produk yang jujur. Pemilik brand tampaknya tahu benar peran strategis review produk dari pengguna. Alhasil banyak review yang sengaja dibuat untuk menaikkan popularitas brand, bukan karena pengalaman langsung penggunanya.
Hal ini tak lepas dari aturan main dunia digital yang menjadikan popularitas sebagai acuan. Algoritma yang digunakan marketplace maupun website yang khusus mengulas produk memberi karpet merah pada produk-produk dengan rating dan review yang baik.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung Santi Indra Astuti mengatakan, cara review produk bekerja sebenarnya sama dengan pemasaran dari mulut ke mulut (word-of-mouth marketing), hanya beda platform yang digunakan. “Kita dengar dari teman atau temennya teman. Nah sekarang ada orang-orang tertentu yang menjadi influencer. Cara kerjanya kan seperti itu juga,” katanya saat diwawancara digitalMamaID, Selasa (1/3/2022).
Pada model pemasaran seperti itu faktor utamanya ialah kepercayaan. Pada era digital seperti sekarang, faktornya harus ditambah dengan berpikir kritis. “Kepada siapa kepercayaan itu kita berikan, lalu berpikir kritis kita harus bagaimana,” ujarnya.
Lihat dulu siapa yang membuat review produk
Sekarang banyak orang didapuk sebagai influencer di media sosial. Mereka jadi incaran pemilik brand untuk membantu memasarkan produknya. Konsumen tidak bisa sembarang percaya, lihat rekam jejaknya. “Banyak influencer, tidak bisa asal influencer saja, ada influencer yang berkualitas,” ujar Santi.
Ia menambahkan di negara lain, untuk mereview produk tidak bisa dilakukan sembarangan. Orang yang bisa menjadi reviewer profesional harus mengikuti kursus. Upaya ini penting untuk menjaga kejujuran review produk. “Review yang tidak jujur akan dijauhi konsumen. Kalau tidak bisa dipercaya, tidak bisa menjaga performa, maka akan dijauhi,” katanya.
Waspadai pujian setinggi langit
Bisa saja kita memberikan kepercayaan itu kepada siapapun, selama kita siap menanggung akibatnya. Misalnya kita menggunakan suatu produk karena review produk yang viral, maka kita harus siap jika produk itu ternyata tidak cocok atau bahkan membahayakan kesehatan diri sendiri.
Santi menyarankan, saat melihat atau membaca review produk jangan mudah percaya pada mereka yang hanya menceritakan hal baik saja. Review produk haruslah jujur obyektif, dan tidak berlebihan. “Kalau review produk itu ya musti sebaik-baiknya review, bukan sebaik-baiknya produk. Kalau memujinya sudah menyundul langit, lalu apa bedanya dengan iklan biasa? Buat saya, ini sudah alarm. Harus cari perimbangan yang lain,” katanya.
Rating bukan satu-satunya patokan
Salah satu alat review paling umum yang digunakan platform jual beli online ialah rating menggunakan bintang. Semakin tinggi rating atau semakin banyak bintang, maka penilaiannya semakin baik.
Santi mengatakan, rating bisa menjadi alat bantu, akan tetapi tidak bisa menjadi pijakan yang selalu valid. Rating juga bisa dipermainkan. Ingatkah ketika publik marah atas pernyataan Presiden Perancis yang dinilai kontroversial? Gara-gara hal itu, toko roti yang menggunakan bahasa Perancis mendapat review buruk, hingga mendapat rating bintang satu selama dua hari. Fenomena semacam ini beberapa kali terjadi karena sikap politik tertentu.
“Ini pentingnya kita untuk membaca secara luas. Tidak ada cara yang betul-betul valid untuk membuat keputusan. Pakai bintang bisa, tetapi jangan hanya terpaku pada bintang yang tinggi atau yang awal-awal kita baca saja. Baca juga ulasan dengan bintang rendah, kalau bisa semua dibaca.
Kenali narasinya
Waspadai review yang disampaikan dengan bahasa yang seragam. Saking seragamnya jadi seperti bot, tidak bervariasi dan tidak detail. Review yang jujur biasanya detail karena hasil dari pengalaman yang sesungguhnya. “Kalau cuma bagus banget, itu baru permukaan, belum sampai detail,” ujar Santi.
Sebuah publikasi ilmiah yang berjudul “Manipulation of online reviews: An analysis of ratings, readability, and sentiments” yang ditulis oleh Nan Hu dan Ling Liu, Asisten Profesor Akuntansi dan Keuangan di University of Wisconsin at Eau Claire bersama-sama Indranil Bose (Associate Professor di School of Business, The University of Hong Kong), dan Noi Sian Koh (pengajar di School of Information Technology, Nanyang Polytechnic) menyebut, review produk yang ditulis oleh konsumen itu menggunakan gaya penulisan yang sangat random karena latar belakang konsumen yang beragam.
Mereka membuat penelitian yang mengukur secara statistik tingkat kerandoman review produk. Jika hasilnya random, maka review produk tersebut berasal dari konsumen sesungguhnya. Jika tidak, maka ulasannya sudah dimanipulasi.
Secara sederhana Santi memberi panduan bagi konsumen untuk menilai apakah review produk itu jujur atau tidak: siapa yang merekomendasikan dan bagaimana mereka merekomendasikannya. Cermat sebelum membeli ya, Mama!
1 thoughts on “Review Produk yang Jujur Semakin Langka, Konsumen Harus Bagaimana?”
Pingback: Apa Itu Deinfluencer? - digitalMamaID