digitalMamaID — Pola asuh bias gender tanpa disadari sudah terjadi turun temurun dari pengasuhan para orangtua kita terdahulu. Seperti pemilihan mainan boneka, masak-masakan yang diperuntukkan bagi anak perempuan, dan mainan mobil-mobilan, dinosaurus, robot untuk anak laki-laki.
Bahkan pengkotak-kotakan gender ini pun sudah dilakukan sejak anak-anak di dalam kandungan. Orangtua mulai mempersiapkan warna yang mengidentifikasikan bayinya yang akan lahir dengan memilih warna pakaian bayi, warna cat kamar hingga aksesoris yang bernuansa pink untuk bayi perempuan dan biru untuk bayi laki-laki.
Padahal orangtua bisa saja mengenalkan berbagai macam warna kepada anak-anak mereka. Mengenalkan warna kuning yang melambangkan kehangatan, keceriaan, warna merah muda untuk kelembutan dan kasih sayang, warna biru yang melambangkan ketenangan, kedamaian, serta warna merah sebagai keberanian.
Sayangnya masih banyak orangtua yang mempraktekkan budaya nenek moyang yang cenderung melarang anak laki-laki ikut bermain masak-masakan, rumah-rumahan. Begitupun sebaliknya, melarang anak perempuan bermain mobil-mobilan, robot, sepak bola, atau permainan fisik lainnya.
Ini salah satu praktek bias gender yang umum terjadi dalam pembagian peran yang didasarkan pada jenis kelamin. Laki-laki didorong untuk aktif mengeksplor kegiatan fisik sedangkan perempuan diarahkan pada aktivitas yang bersifat tenang dan domestik.
Padahal orangtua bisa saja mengajak anak-anaknya untuk bermain apapun tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Hal ini berguna agar kelak anak-anak tidak tumbuh dengan stereotip bahwa pekerjaan domestik adalah tanggungjawab perempuan semata dan tidak untuk laki-laki.
Pola pikir yang diwariskan
Pola pikir inilah yang kemudian diwariskan secara turun temurun ke generasi kita dan generasi berikutnya. Hal ini menjadikan mereka terbiasa dengan peran gender yang dimainkan sejak kecil. Pada akhirnya menciptakan dan memperkuat nilai patriarki. Sebagaimana kita tahu, nilai-nilai patriarkis masih melekat di sebagian besar masyarakat Indonesia yang membuat kedudukan laki-laki lebih superior dibandingkan dengan perempuan.
Sebagaimana disebutkan juga oleh Dwi Rahayu Nurmiati, dalam jurnal pendidikan anak usia dini tahun 2025 tentang “Pembentukan Kesadaran Gender pada Anak Usia Dini: Perspektif Teori Ekologi Bronfenbrenner” bahwa keluarga atau orangtua merupakan agen utama dalam membentuk pemahaman gender anak sejak lahir. Orangtua yang masih membedakan tugas rumah tangga berdasarkan gender, seperti memberikan tugas fisik kepada anak laki-laki dan pekerjaan domestik kepada anak perempuan, dapat memperkuat stereotip gender sejak dini.
Selain itu, ekspektasi sosial terhadap anak juga cenderung berbeda, di mana anak laki-laki tidak boleh menangis, harus berani, mandiri, dan tegas. Sementara perempuan harus selalu berperilaku sopan, bersikap lembut, dan peduli terhadap orang lain. Stereotip ini secara tidak langsung membawa anak laki-laki pada pribadi yang lebih tertutup dan susah mengungkapkan bahasa kasih.
Namun keluarga yang menerapkan pola asuh berbasis kesetaraan gender dapat membantu anak memahami peran sosial tidak terbatas pada jenis kelamin tertentu. Orangtua yang berbagi tanggung jawab secara setara, memberikan kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi berbagai aktivitas tanpa batasan gender. Selain itu menanamkan nilai bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan,
Bias gender dalam pola asuh
Berdasarkan Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini tahun 2020 tentang “Bias Gender dalam Pola Asuh Orangtua pada Anak Usia Dini” ada berbagai pola asuh yang diterapkan oleh setiap orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Jurnal yang dibuat oleh Ika Kurnia Sofiani, dkk ini menyebutkan adanya bias gender dalam pengasuhan anak usia dini dengan persentase keseluruhan 65,31 persen. Pola asuh yang paling dominan adalah pola asuh otoriter (55,14 persen), diikuti pola asuh permisif (29,61 persen), dan pola asuh demokratis (22,01 persen).
Pola asuh otoriter adalah salah satu bentuk perlakuan yang diterapkan orang tua pada anak dalam rangka membentuk kepribadian anak dengan cara menetapkan standar mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Cirinya, anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua, pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat. Selain itu,
hampir tidak pernah memberi pujian, sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan dalam memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua.
Sedangkan pola asuh demokratis adalah salah satu bentuk perlakuan yang diterapkan orang tua dalam rangka membentuk kepribadian anak dengan cara memprioritaskan kepentingan anak yang bersikap rasional. Pola asuh ini memiliki ciri-ciri anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internal, anak turut dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak.
Pola asuh permisif adalah salah satu bentuk perlakuan yang diterapkan orang tua pada anak dalam rangka membentuk kepribadian anak dengan cara memberikan pengawasan yang sangat longgar serta memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Orang tua tipe ini kurang memberikan perhatian terhadap kebutuhan anaknya karena jarang sekali melakukan dialog dengan anak.
Kesalahan yang mendorong bias gender
Dilansir dari Times of India, ada lima kesalahan pengasuhan yang tanpa sadar ikut mempromosikan bias gender pada anak. Karenanya penting bagi orang tua untuk mengajarkan kesetaraan gender sejak dini untuk membantu mereka mengembangkan pandangan yang setara dan positif seiring pertumbuhan mereka.
Berikut lima kesalahan yang secara tidak sadar mendorong bias gender pada anak-anak yang harus diwaspadai oleh semua orang tua:
1. Menggunakan frasa dan kata sifat yang bergender
Anda mungkin tidak menyadari telah mengajarkan anak-anak bahasa yang melanggengkan stereotip berdasarkan gender. Misalnya ketika melihat anak laki-laki Anda berlari dengan cukup pelan sehingga tanpa sadar mengatakan “jangan berlari seperti perempuan”. Frasa ini mengisyaratkan bahwa kemampuan berlari anak laki-laki jauh melebihi anak perempuan padahal kemampuan berlari tidak ditentukan oleh jenis kelamin.
2. Mendorong hobi dan minat berdasarkan gender
Memberikan kado ulang tahun seperti mainan peralatan dapur untuk anak perempuan, bukan anak laki-laki. Perilaku ini justru membatasi anak-anak mereka pada hobi dan minat berdasarkan stereotip gender, parahnya banyak orang tua tidak menyadari ini. Orang tua harus mendorong anak perempuan dan laki-laki untuk mencoba aktivitas apapun baik di dalam dan luar ruangan, memberikan mereka hadiah yang netral gender seperti buku, teka-teki, dan permainan.
3. Memprioritaskan ibu sebagai pengasuh utama
Betul anak-anak belajar dengan meniru. Sekadar mengajarkan mereka untuk tidak mempercayai stereotip gender di luar rumah tidak akan efektif jika mereka melihat pola peran gender yang berbeda di dalam rumah. Misalnya ketika melihat pembagian tugas pengasuhan yang tidak seimbang antara ibu dan ayah yang menjadikan ibu sebagai pusat pengasuhan utama. Secara tidak sadar anak belajar bahwa laki-laki tidak seharusnya melakukan tugas-tugas ‘domestik’ seperti membersihkan dan mengasuh anak. Jadi pastikan Anda dan pasangan menunjukkan kepada anak-anak bahwa pekerjaan rumah tangga bukanlah tugas yang spesifik gender.
4. Mengizinkan buku dan media yang mengajarkan peran gender
Sumber eksternal utama yang mengajarkan stereotip negatif kepada anak-anak adalah TV, film, dan buku. Alih-alih sepenuhnya menghentikan paparan anak Anda terhadap media, carilah buku dan media yang tidak mengandung unsur kekerasan atau stereotip. Ketika anak Anda menemukan media yang menampilkan peran gender, dorong mereka untuk berdiskusi agar dapat berpikir kritis.
5. Mendorong anak hanya berteman sesama jenis
Pastikan anak Anda bermain dengan anak perempuan dan laki-laki. Hal ini akan memungkinkan mereka mengeksplorasi berbagai jenis perilaku, minat, dan aktivitas yang cocok untuk anak perempuan dan laki-laki. Hanya berteman dengan sesama jenis dapat membuat anak Anda lebih rentan terhadap stereotip dan perilaku yang bergender. Kelompok pertemanan yang beragam juga akan membuat anak Anda lebih menghargai perbedaan mereka dengan anak-anak lain.