Terlilit Pinjol, Pilih Jalan Pintas Jadi Pekerja Migran Ilegal

Ibu terjerat pinjol ilegal
Share

digitalMamaID – Pinjaman online (pinjol) menjadi solusi instan mendapatkan uang segar. Saat utang menumpuk, perlu jalan pintas untuk membereskannya. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), orang rela mempertaruhkan hidup menjadi pekerja migran ilegal demi melunasi utangnya.

Juru Bicara ADBMI (Advokasi Buruh Migran Indonesia) Foundation Firman Siddik menuturkan, banyak masyarakat NTB, khususnya Lombok Timur, yang merantau dengan dengan menjadi pekerja migran karena keterbatasan lapangan pekerjaan di kampung halaman. Dengan tuntutan hidup yang kian tinggi, apalagi saat anak mulai memasuki usia sekolah, merantau adalah keputusan yang populer di masyarakat.

“Kalau masyarakat di NTB itu jadi perantau karena masalah ekonomi, selain itu karena tuntutan pendidikan untuk anak, terus untuk bangun rumah. Nah, di sini salah satu ukuran jadi pekerja migran yang sukses itu ketika mereka sudah bangun rumah,” kata Firman saat dihubungi digitalMamaID, Jumat, 18 Oktober 2024.

Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan, NTB menempati urutan keempat sebagai provinsi yang mengirimkan pekerja migran paling banyak.  Sepanjang 2023 terdapat 274.965 pekerja migran. Jumlah ini  meningkat 36,96% (year-on-year/yoy) dibandingkan tahun 2022, dengan total mencapai 200.761 pekerja.

Urutan teratas ialah Jawa Timur dengan total mencapai 68.069 pekerja. Disusul Jawa Tengah di urutan kedua dengan total 59.009 pekerja. Jawa Barat berada di posisi ketiga dengan total 52.961 orang. Peringkat keempat ditempati oleh NTB dengan 33.949 orang.

Menurut Firman, jumlah pekerja migran laki-laki dan perempuan dari NTB kini hampir seimbang. Belakangan, mereka mengincar Timur Tengah, Taiwan, Hongkong sebagai negara tujuan.

Utang untuk merantau

Meski seolah merantau menjadi pekerja migran tampak sudah menjadi tradisi, namun ada fenomena yang mengkhawatirkan terjadi di NTB. Firman mengatakan, ada fenomena yang mengaitkan pinjol dengan pekerja migran.

Ada yang mengambil pinjaman agar bisa membiayai keperluan pemberangkatan ke luar negeri. “Kemarin kami ke Sembalun, Lombok Timur. Ada salah satu pedagang di sana yang suaminya ingin pergi merantau. Kemudian dia berusaha supaya dapat pinjaman,” katanya. Pinjaman itu didapat dari Mekaar (PNM Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera), pinjol, juga utang ke keluarga.

Firman mengatakan, pinjol jadi pilihan cepat untuk mendapatkan uang tunai saat terdesak. Misalnya saja saat periode memasukkan anak ke sekolah. Demi bisa menutup bebragai biaya, masyarakat mencari pinjaman. “Kalau nggak pinjol, ya Mekaar. Tapi kan pinjol ini bunganya tinggi, akhirnya ya tetap harus merantau untuk menyelesaikan (utang) secepatnya,” tutur Firman.

Ia mengatakan, di situasi terdesak begitu, masyarakat tidak punya banyak pilihan. Mereka tidak punya akses mendapatkan pinjaman perbankan. Persyaratan yang diperlukan terlalu sulit untuk mereka penuhi. Hanya yang berprofesi sebagai guru atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bisa mengaksesnya.

Saat menjelang Pemilu, kata Firman, banyak bantuan langsung tunai (BLT) yang dibagikan sehingga masyarakat bisa menahan diri untuk tidak menambah utang. Tapi setelah Pemilu seperti sekarang, tak ada lagi bantuan pemerintah yang bisa diandalkan. Lagi-lagi, pinjol jadi solusi instan.

Merantau karena utang

Kasus lain yang sempat ditangani ADBMI ialah kasus jerat pinjol yang dialami oleh seorang istri. Ia menggunakan layanan pinjol di beberapa platform ditambah utang di tempat lainnya. Total utangnya mencapai ratusan juta. Ia dikejar-kejar penagih utang.

“Alhasil, istrinya pergi ke Saudi Arabia. Tiba-tiba dia mencari tekong (makelar penyalur pekerja migran ilegal). Dalam satu bulan dia bisa berangkat,” kata Firman.

Tidak berselang lama, suaminya berangkat merantau ke Malaysia. Ia juga menjadi pekerja migran ilegal dengan bantuan tekong.

Dua orang anak yang masih usia sekolah ditinggal bersama neneknya. ADBMI Mendampingi kedua anak dan keluarga karena mendapat ancaman dari penagih utang. “Dibuatkan status (di medsos) katanya diancam, itu kan bisa kena UU ITE ya, nagihnya  sudah pakai ancaman. Diancam akan dilempari telur, anak jadi takut keluar rumah,” kata Firman.

ADBMI mendampingi sampai proses mediasi di Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DPPA) setempat. Hasilnya, persoalan utang ini tidak ada sangkut-pautnya dengan anak. Jadi anak tak boleh dikorbankan.

Kasus-kasus seperti ini membuat masyarakat masuk ke persoalan lain, yaitu penyaluran pekerja ilegal. Banyak yang dipekerjakan di Saudi Arabia sebagai pekerja rumah tangga. Padahal, sektor rumah tangga masih ditutup oleh pemerintah. “Jadi dobel pelanggaran. Di sini sudah terbebani utang, di sana terbebani juga karena tidak ada perlindungan,” tutur Firman. Bukannya selesai, persoalan yang dihadapi justru bertambah.

Meski jumlah pekerja migran asal Lombok Timur besar, tapi angka remiten atau uang yang dikirim ke kampung halaman masih lebih kecil dibandingkan dengan Mataram. Menurut Firman, hal ini terkait dengan pemilihan negara tujuan. Pekerja migran dari Lombok Timur banyak bekerja di Malaysia yang gajinya sekitar Rp 5,5 juta per bulan. Sedangkan mereka yang berasal dari Mataram banyak bekerja di Asia Timur dan Eropa yang gajinya mencapai Rp 30 juta per bulan.

Solusi berkelanjutan

Pengelolaan ekonomi pekerja migran ini juga perlu dibenahi. Niat untuk menyelesaikan utang, seringkali gagal karena uang tidak terkelola dengan baik.  Apalagi saat ini sudah banyak yang bermain judi online (judol). Jika tidak dikelola baik, uang habis untuk depo judol.

Hal ini menjadi salah satu perhatian ADBMI Foundation. Untuk itu, ADBMI melatih keluarga pekerja migran untuk mengelola uang yang dikirim dari luar negeri. “Sudah sekitar lebih dari 1.500 penerima manfaatnya. Kita ajak mengelola keuangan, terutama untuk lebih ke bidang usaha (investasi)

Program serupa dijalankan oleh ICT Watch lewat program Made In Indonesia (Migran Aman dan Digital Ekonomu Inklusif Indonesia). Bedanya, program ini menyasar perempuan yang sudah pulang merantau sebagai pekerja migran di luar negeri. “Secara khusus dirancang untuk mendukung dan memaksimalkan potensi digital. Tujuannya supaya siapa saja yang terlibat, tidak hanya menjadi penonton di era perkembangan teknologi digital. Mereka justru jadi pelaku aktif yang mampu berkarya, berinovasi dan berdaya,” tutur Program Director ICT Watch Ida Ayu Prasasti.

Program ini dilaksanakan selama 2023-2025 di 12 wilayah, yaity Kebumen, Baubau, Indramayu, Madiun, Cilacap, Banyuwangi, Wonosobo, Lombok Tengah, Lembata, Ambon, Jember, dan Jayapura. Sasti mengatakan, para perempuan purnabakti pekerja migran ini pada umumnya sudah bisa membuat produk sendiri. Lewat pelatihan-pelatihan, mereka diajari memanfaatkan teknologi dan internet untuk memasarkan produknya.

Pemberdayaan ekonomi semacam ini serta pengelolaan remitansi perlu jadi fokus utama. Menggunakan hasil kerja keras dengan bijak dan berinvestasi dalam usaha dapat menjadi jalan keluar yang lebih berkelanjutan daripada kembali terjebak dalam siklus utang. [*]

Arikel ini diproduksi sebagai bagian dari proyek Women Media Collabs didukung oleh UNDP Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID