Hasil Pantauan Magdalene: Berita Femisida Belum Berperspektif Korban

Ilustrasi femisida/Anete Lusina from Pexels
Share

digitalMamaID — Media perempuan independen Magdalene baru saja merilis hasil pemantauan pemberitaan femisida di tiga media arus utama seperti Kompas.com, Detik.com dan Suara.com. Pemantauan ini dilakukan selama dua minggu berturut-turut, terhitung dari 14 hingga 31 Januari 2025. Ketiganya dipilih karena mencerminkan lanskap utama konsumsi media di Indonesia hari-hari ini.

Hasilnya, dari 193 berita femisida yang dianalisis, ada 185 berita atau 95,3 persen yang ditulis sebagai pembunuhan biasa yang terisolasi atau spontan. Sebanyak 109 berita (56,2 persen) membuka identitas korban dan/atau keluarganya.

Kompas.com menjadi media yang paling banyak membuka identitas korban femisida, yakni 61,5 persen dari total berita. Lalu disusul Suara.com sebesar 56 persen dan Detik.com sebesar 46,7 persen. Identitas yang dibongkar beragam, tapi yang paling banyak ditemui adalah nama lengkap, tempat tinggal, foto korban, dan keluarga korban.

Eksploitasi unsur seksualitas

Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan 2019-2024 dan Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC), membenarkan media masih belum sensitif dan nir empati soal pemberitaan femisida. “Pertama, konstruksi pemberitaan. Belum semua pemberitaan menggunakan istilah femisida untuk kasus-kasus yang memang itu ada indikator femisidanya. Kemudian, iya pemberitaan lebih mengedepankan sensasionalnya,” ungkapnya seperti dikutip Live Instagram Magdalene, Senin 21 April 2025.

Menurutnya, pemberitaan femisida itu kerap mengeksploitasi unsur seksualitas, terutama untuk kasus femisida yang berkaitan dengan kekerasan seksual (sexual femicide). “Ungkapan perempuan dengan tato kupu-kupu. Itu apa hubungannya? Ya seperti itulah, misalkan  seperti ditusuk kemaluannya, itu yang di kedepankan adalah unsur seksualitas. Kemudian nama korban tadi tidak disamarkan, termasuk misalnya nama, tempat kerja, wilayahnya,” lanjut Siti.

Dalwa Tajul Arfah, pengabdi bantuan hukum divisi advokasi bidang penanganan kasus di LBH Bandung sejak 2023 dengan spesialisasi isu gender, disabilitas, dan inklusi sosial serta lingkungan hidup, membenarkan dan mengaku sering melihat media lokal, nasional, bahkan mainstream yang lebih banyak mengungkapkan kronologi kejadian yang tidak berperspektif korban.

“Ketika buka beritanya pasti langsung tuh di dalamnya menceritakan mengenai kondisi korban, ketubuhan korban, seperti apa ketika ditemukan. Bahkan ada yang tidak jelas beritanya, yang intinya menyorot informasi jika perempuan yang dibunuh oleh pacarnya itu ditemukan telanjang di hotel. Mostly seperti itu,” ungkap Dalwa.

“Padahal jika media itu ada sensitif gender bisa melihat relasi kuasanya. Tapi, tidak ada, hanya alasan korban dibunuh karena pihak laki-lakinya cemburu atau karena korban tidak mau memberi password HP-nya ke pelaku,” lanjutnya.

Menurutnya, dengan perilaku itu saja sudah jelas pelaku punya kecenderungan mengontrol korban dan menggambarkan adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban tapi kemudian media tidak menggambarkan itu.

Tidak menggambarkan relasi kuasa antara pelaku dan korban

Menurut Siti, salah satu indikator femisida itu adanya ketidakadilan gender seperti stereotip, kekerasan, diskriminasi, kemudian beban ganda. “Nah, itu tidak digambarkan. Sehingga kemudian orang melihat ya sama aja. Padahal di situlah letak publik atau kita bisa membedakan ini kasusnya femisida atau bukan,” jelasnya.

Seringkali kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), yang termasuk dalam kategori femisida, tidak diungkap motifnya. Situasi dan kondisi mengapa pasangan intim melakukan pembunuhan tidak digambarkan. ‘Mengapa’ dalam konteks femisida intim kerap kali menggunakan cara pandang dari pelaku. Misalnya cemburu atau karena sakit hati.

“Kalau kita tidak sensitif cemburu atau prasangka atau tuduhan selingkuh terhadap perempuan yang dibunuh itu bisa membangun narasi, seakan-akan kalau perempuan selingkuh, perempuan tidak sesuai norma yang diinginkan laki-laki, maka ia boleh disakiti atau dibunuh. Itu yang aku lihat,” katanya.

Kemudian ada juga pemberitaan yang justru memviktimisasi korban. Khususnya untuk femisida di industri seksual yang umumnya dilakukan oleh pengguna jasa seksual terhadap pekerja seks. “Misalnya ada narasi-narasi open BO, esek-esek, sama seperti di relasi intim. Itu menyebabkan cara pandang bilang, ‘Oh, ya pantas dibunuh, wong dia ini pekerja seks’. Itu yang saya baca narasi femisida di pemberitaan,” tambahnya.

Perlunya rujukan pakar

Menurut Siti ini terjadi karena, sumber informasi atau rujukan utama yang di dapatkan oleh jurnalis adalah Aparat Penegak Hukum (APH). Di mana sebagian besar para penegak hukum masih menggunakan cara pandang positivis. Mereka hanya melihat bunyi-bunyi pasal tapi tidak menggali lebih dalam ke konteks sosial, mengapa laki-laki cemburu atau laki-laki sakit hati bisa melakukan kekerasan bahkan membunuh.

Senada, menurut Dalwa juga membenarkan berdasarkan pengalamannya mendampingi keluarga korban bahwa penyampaian perspektif APH baik dalam kronologi maupun dakwaan memang tidak ada sensitif gender, masih ada kecenderungan untuk mengobjektifikasi korban sehingga framing media juga ikut seperti itu.

“APH kan mengumpulkan fakta hukum, selain daripada itu mereka tidak bisa mengolah nih mana yang bisa disampaikan ke wartawan yang nantinya akan jadi konsumsi publik, mana yang tidak,” ungkapnya.

Temuan Magdalene sendiri juga ada 124 atau 64,5 persen berita tentang femisida itu masih bergantung pada pernyataan APH. Padahal jurnalis bisa menggali pendapat dari keluarga korban atau rekan korban mengenai relasi mereka untuk melihat pengalaman korban dan perspektif korban.

“Dan tentu catatannya adalah ketika keluarga memberikan informasi atau melakukan wawancara ke media adalah keluarga yang memang siap secara emosi, dengan pendamping tentunya, dan materi mana saja yang akan disampaikan,” kata Siti.

Media juga harus ingat ada hak privasi yang harus dihormati, hak privasi korban dan keluarga korban. Jadi ketika keluarga korban enggan untuk bercerita, jurnalis harus menghormati itu dan tidak bertanya hal-hal yang kurang relevan.

Selain keluarga korban jurnalis juga bisa melibatkan ahli, misalnya kriminolog atau viktimolog yang tentu memiliki perspektif gender. Karena ada kriminolog atau viktimolog yang belum memiliki perspektif gender, justru malah mereviktimisasi dengan menggunakan teori-teori kriminolog klasik.

Kriminolog klasik terkadang melihat penyebab terjadinya pembunuhan itu karena ada partisipasi korban di dalamnya. Mereka tidak melihat sistem sosial yang membentuk korban dan pelaku. Beda dengan kriminolog atau viktimolog kritis yang feminis. Mereka akan melihat bahwa terjadinya tindak pidana kejahatan itu karena struktur sosial. Dengan melibatkan ahli atau pakar khususnya kriminolog, viktimolog atau aktivis perempuan diharapkan bisa mendudukkan kasus dalam perspektif kritis, perspektif korban.

“Jadi kepentingannya melibatkan yang lain adalah menyeimbangkan agar narasi publik itu tidak menyalahkan korban itu pertama dan yang kedua adalah publik tercerahkan gitu. Tidak hanya melihat yang sensasionalnya tapi ‘oh ini yang disebut femisida, oh ini penyebabnya, oh ini ciri-cirinya. Sehingga dia bisa berefleksi. Oh, berarti kalau ada begini kita harus hati-hati,” tuturnya.

Femisida mulai diterima

Siti masih ingat betul pertama kali menggunakan istilah femisida di kasus pembunuhan air keras di Cianjur, saat itu masih ada daya tolak dari publik. Akan tetapi, seiring upayanya memberikan argumen yang logis dan berbasis bukti, lambat laun mulai diterima. Bahkan hari ini sudah masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mulai banyak penelitian sampai mengirimkan amicus curiae untuk membantu peradilan kasus femisida.

“Jika lewat media itu kita memberikan pengetahuan ke publik dan itu juga dibaca oleh pemangku kebijakan. Jika yang dilakukan teman-teman pendamping dengan mengirimkan amicus curiae itu kan membangun pengetahuan bagi jaksa sama hakim,” katanya.

Jadi harapannya pemberitaan media yang baik itu bukan hanya akan membangun pengetahuan publik tapi, kemudian pengalaman perempuan akan kekerasan itu diakui. Dan kalau diskursus ini terus membulat seperti bola salju, tentu mungkin ke depan publik bisa meminta adanya undang-undang khusus femisida.

“Menurutku kenapa penting pemberitaan femisida itu mengangkat ketidakadilan gender, mengangkat indikator-indikator femisidanya ketimbang isu sensasionalnya. Kepentingannya adalah kepentingan kedepan gitu ya, untuk membangun diskursus perubahan kebijakan,” pungkasnya. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID