digitalMamaID – Kasus kekerasan seksual hingga pembunuhan perempuan di Indonesia semakin meningkat. Menjelang berakhirnya tahun 2024, kasus femisida terus terjadi. Beberapa kasus yang menjadi perhatian antara lain siswi SMP penjual balon di Palembang yang diperkosa dan dibunuh oleh empat laki-laki yang masih di bawah umur. Ada pula kasus Nia, penjual gorengan di Padang yang diperkosa dan dibunuh oleh residivis yang sempat buron selama berminggu-minggu.
Kasus-kasus tersebut membuat geram seluruh masyarakat. Bagaimana tidak, selain melakukan kekerasan, pelaku juga tak segan-segan untuk menghabisi nyawa korbannya, yang seorang perempuan. Penghilangan nyawa perempuan yang dilakukan karena mereka adalah perempuan atau yang disebut dengan femisida ini sudah sangat brutal. Komnas Perempuan lewat siaran persnya, mengajak semua pihak untuk mengakhirinya.
Lalu apa itu femisida? Apa perbedaan femisida dan kekerasan terhadap perempuan lainnya? Menurut Ressa Ria, founder Samahita Foundation, kekerasan terhadap perempuan itu memiliki spektrum yang luas. Tindakannya bisa secara fisik, seksual, emosional, psikologis dan banyak bentuknya. Sedangkan, femisida itu merupakan salah satu manisfestasi dari kekerasan terhadap perempuan itu sendiri.
“Kalau teman-teman pernah lihat piramida rape culture, puncak tertinggi dari kekerasan yang dialami oleh perempuan adalah femisida. Jadi benar-benar manifesting paling ekstrem dari kekerasan dan diskriminasi yang berbasis gender yang dialami oleh perempuan. Ini jadi puncak dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi yang sifatnya sistemik ya,” jelasnya dalam #digitalmamaTALK bersama digitalMamaID dan GREAT UPI dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Sabtu, 30 November 2024.
Akar masalah femisida
Menurut Ika Setyaningrum, perwakilan dari Gender Research Student Center, Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI), femisida ini terjadi karena sistem patriarki yang begitu kuat di Indonesia. Selain budaya patriarki juga adanya budaya misoginis.
“Sebenarnya paling banyak dipengaruhi budaya kita sendiri karena mereka merasa ada kontrol atas tubuh perempuan. Jadi mereka mengira perempuan adalah suatu obyek, suatu hal yang lebih rendah dan bisa direndahkan,” ungkapnya.
Sependapat, Ressa juga mengiyakan, akar diskriminasi yang sistemik, seperti masalah ketidaksetaraan, budaya patriarki, norma sosial dan budaya di Indonesia yang masih melihat perempuan sebagai second sex atau orang kedua membuat femisida meningkat di Indonesia.
“Itu menjadi salah satu yang kental di Indonesia karena itu nanti kaitannya dengan konteks relasi kuasa. Bahayanya adalah karena konteks relasi kuasa ini juga dituangkan dalam kebijakan-kebijakan yang ada di Indonesia. Jadi stereotip terhadap perempuan semakin kuat karena, secara sistem negara pun juga semakin diperkuat dan ada banyak sebenarnya alasan femisida di Indonesia jadi lebih marak terjadi,” ungkapnya.
Kemudian akar masalah lainnya menurut Ika adalah normalisasi pelecehan yang dianggap sepele, misalnya saja cat calling. Pembiasaan atau normalisasi pelecehan secara verbal maupun non-verbal, dari ringan sampai berat, jika dinormalisasi terus pada akhirnya membuat kekerasan terhadap perempuan terkskalasi. Puncaknya, kasus femisida yang semakin banyak terjadi.
“Sebenarnya media juga berperan sangat penting ya, dengan memberitakan femisida seperti ini. Harapannya memang masyarakat juga semakin aware dan semakin paham untuk tidak menormalisasi hal-hal kecil yang akhirnya nanti bisa mengacu ke femisida,” kata Ika.
Persoalan kolektif
Menurut Ressa, masih banyak pekerjaan rumah untuk negara dalam menangani masalah kekerasan terhadap perempuan. Indonesia sendiri punya UU TPKS tetapi, aparat penegak hukum sendiri tidak mengerti bagaimana menerapkan UU TPKS dalam sebuah kasus.
“Penting untuk meningkatkan kapasitas para penegak hukum untuk memahami tentang kekerasan seksual itu seperti apa. Kekerasan berbasis gender itu seperti apa, bagaimana membangun empati dan kepekaan gender mereka dalam penanganan kasus,” lanjutnya.
Jika bicara penguatan hukum dan kebijakan, salah satu yang jadi perhatian Samahita Foundation adalah tentang perlindungan korban. Karena sampai sekarang belum ada perundang-undangan yang secara khusus dan detail mengatur perlindungan korban. Seperti bagaimana menghadapi kekerasan, ketersediaan rumah aman, pendampingan hukum siapa yang provide, dan terkait dengan konseling.
“Hampir sebagian besar konseling-konseling korban kekerasan itu tuh dilakukannya oleh CSO (Civil Society Organization), oleh organisasi masyarakat sipil gitu. Jadi hampir sedikit peran negara di dalam proses perlindungan korban, terus kita juga enggak punya sistem pencegahan dini. Jadi pelaporan dan respon cepat itu seperti apa, pemantauan resikonya juga. Mengidentifikasi perempuan yang berisiko tinggi karena kalau ngomongin femisida itu kan dia sebenarnya eskalasi bentuk-bentuk kekerasan lainnya,” lanjutnya.
CSO sendiri punya batasan kapasitas untuk melakukan semua itu. Tapi, sayangnya negara dinilai belum maksimal bahkan belum efektif dan efisien untuk membangun sistem pencegahan dini dan banyak hal lainnya. Jadi harus dilakukan secara kolektif, tidak hanya CSO tapi banyak pihak.
Ika mengatakan, kekerasan terhadap perempuan itu tidak terjadi tanpa alasan, tidak terjadi dalam ruang hampa tapi. Itu adalah produk dari budaya dan culture yang secara sadar atau tidak sadar ditoleransi selama berabad-abad. Bahkan dari yang terendah dari lelucon seksis, cat calling juga berkontribusi besar untuk memungkinkan kekerasan seksual itu berlangsung bahkan sampai tahap yang paling parah yaitu femisida.
Era digital hari ini, yang seharusnya jadi ruang yang lebih setara dan sehat justru membuat perempuan semakin rentan dengan berbagai bentuk kekerasan, pelecehan online, ancaman, kekerasan, juga perundungan. Perempuan masih terkena dampak berlapis mulai dari konteks sosial, ekonomi dan budaya. Mirisnya lagi pelakunya bukan hanya laki-laki tapi juga perempuan. [*]