digitalMamaID — Sejak 2002 hingga 2024, Yayasan Jaringan Relawan Independen (JaRI) telah melayani lebih dari 1.800 penyintas kekerasan terhadap perempuan. Melalui buku “Merdeka dari Kekerasan”, JaRI berbagi pengalaman selama menangani kasus kekerasan dengan harapan mencegah terjadinya kasus-kasus baru.
“Merdeka dari Kekerasan” yang diterbitkan oleh Sanata Dharma University Press dan Yayasan JaRI ini diluncurkan di Auditorium Mochtar Kusuma Atmaja Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Sabtu, 26 April 2025. Buku ini ditulis oleh Rismiyati E. Koesma, Ilsa S.L. Nelwan, Fitri Ariyanti Abidin, dan Peter R. Nelwan. Puti Marzoeki bertindak sebagai editor.
Sepuluh kasus
Buku ini berisi 10 kasus, sedikit dari sekian banyak, kekerasan terhadap perempuan yang ditangani JaRI. Membaca setiap kasusnya seperti dihadapkan pada fakta-fakta menyesakkan. Pelaku adalah orang terdekat yang dikenal baik: ayah, pasangan, pacar, juga teman. Pelaku kekerasan bisa datang dari orang terpelajar juga mapan secara ekonomi.
Kekerasan seksual sering dianggap urusan privat yang tidak perlu diketahui orang lain. Korban ditekan agar tak tutup mulut. Nama baik pelaku dianggao lebih penting ketimbang keadilan bagi korban.
Buku ini tidak hanya memaparkan kasusnya, JaRI juga menuliskan berapa lama penanganannya. Dari sana bisa diketahui, penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan tidak pernah mudah. Perlu waktu, ada yang hitungan bulan, ada yang lewat dari setahun, ada pula yang tidak selesai.
JaRI juga memberikan ulasan terperinci penanganannya. Lengkap dengan analisa mengapa kasus kekerasan itu terjadi. Ada upaya untuk mengurai persoalan sampai ke akar. Dijelaskan pula proses pemulikan korban dan bagaimana kondisi terkini korban. Upaya pencegahan pun dijelaskan lengkap.
Setelah memaparkan kasus secara detail, buku “Merdeka dari Kekerasan” membahas beberapa hal yang turut andil pada kasus kekerasan terhadap perempuan. Antara lain pola asuh orangtua, komunikasi dalam keluarga, kesetaraan gender, dan media online.
Sebuah refleksi
Salah seorang penulis, Ilsa S.L. Nelwan mengatakan, 10 kasus ini menjadi refleksi terhadap situasi yang dihadapi oleh perempuan. “Refleksi atas apa yang dialami korban dan dirasakan oleh relawan,” katanya.
Kasus yang dipaparkan memang beragam. Ada yang dialami oleh anak, remaja, dewasa, bahkan lansia. Pelakunya pun ada yang keluarga inti, suami, pacar, juga seseorang yang diperantarai oleh teman. Ada yang berupa kekerasan fisik, verbal, psikis, hingga seksual.
Penulis lainnya Rismiyati E. Koesma mengatakan, setelah era teknologi, kasus kekerasan jadi lebih pelik karena melibatkan internet, termasuk media sosial di dalamnya. “Banyak yang masih tidak paham ada jejak digital yang tidak bisa dihapus, “ katanya.
Pengetahuan yang minim itu kemudian diperparah dengan dengan kultur patriarki yang masih kuat mengakar. “Akhirnya jadi semakin kompleks,” katanya.
Buku emas

Aktivis perempuan Nurasiah Jamil mengatakan, buku ini bisa dibaca oleh semua orang. Pengetahuan tentang kekerasan seksual terhadap perempuan penting agar semua orang bisa ikut membantu. “Tidak perlu menunggu orang dekat kita menjadi korban, kita bisa ikut bantu,” katanya.
Apa yang disampaikan buku ini bisa menjadi panduan penting untuk merespons dengan benar saat mengetahui adanya tindak kekerasan seksual. “Dengarkan dan percayai sampai hukum menyatakan itu betul atau tidak. Supaya mereka (korban) tidak merasa dihakimi,” tuturnya.
Bagi advokat perempuan Tengku Maliana Zufrine, buku ini demikian penting. Sebagai penyintas, ia tahu betul betapa trauma itu tak kunjung berhenti. Bantuan dari para pendamping seperti yang ditulis dalam buku ini sangat penting untuk membantu korban bertahan. “Tangan-tangan itu yang menolong kami dari jurang yang gelap. Orang nggak tahu rasanya,” kata pengurus Ikatan Alumni Unpad ini.
Buku ini, katanya, penting untuk membangun kesadaran perempuan untuk memperjuangkan haknya. Korban berhak mendapatkan keadilan. “Ini buku emas,” ujarnya.
Ketua Yayasan JaRI Sely Martini mengatakan, buku ini mengajak masyarakat untuk merenungkan akar permasalahan kekerasan. Mulai dari pola asih yang keliru, budaya patriarki, relasi kuasa yang timpang, hingga pengaruh media online. “Buku ini jadi panduan praktis dan langkah konkret yang dilakukan Yayasan JaRI, mulai dari penanganan medis, psikologis, hingga langkah hukum untukemberi keadilan bagi penyintas kekerasan,” katanya.
Sampai hari ini, Yayasan JaRI masih melakukan pelayanan ini. Buku ini merupakan buku ketiga yang diharapkan mampu berkontribusi pada upaya untuk memutus rantai kekerasan. [*]