Perempuan masih menjadi kelompok masyarakat yang rentan mengalami kekerasan. Tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga menjadi refleksi, rumah belum jadi tempat aman bagi perempuan. Angka kekerasan terhadap perempuan di Jawa Barat jadi yang tertinggi. Apakah politisi punya komitmen untuk membantu perempuan korban kekerasan? digitalMamaID menelisik janji kampanye pacangan calon Gubernur Jawa Barat yang bertarung di Pilkada 2024 terhadap perempuan korban kekerasan.
Siang itu sedikit mendung, tak berapa lama rintik gerimis kecil menetes di area outdoor sebuah resto di Kota Bandung. Ani (bukan nama sebenarnya) terlihat begitu sibuk, sesekali ia memperhatikan laptopnya dan mengecek smartphone-nya. Sejak perpisahan dengan suaminya pada 2017 silam, ia memutuskan untuk kembali bekerja. Ia memilih untuk tak bergantung pada siapapun termasuk pasangannya.
Perpisahannya dahulu banyak meninggalkan trauma. Bukan hanya mempersulit proses perceraian selama dua tahun dan perselingkuhan, suaminya juga melakukan kekerasan sejak 2014. “Kurang lebih empat tahun, ya menampar, menjambak, dan pemukulan yang berakibat lebam di lengan, punggung dan pipi. Dia posesif, sampai aku nggak punya satupun nomor teman laki-laki, semua dihapusin,” kenangnya pahit.
Saat itu Ani mengaku bergantung secara ekonomi pada suaminya, karena upahnya sebagai guru honorer hanya Rp 250 ribu. Aksesnya untuk keluar rumah pun sering dibatasi. “Benar-benar cuma ngajar, pulang. Aku udah nggak boleh bergaul dengan siapapun. Bahkan pernikahan sahabat-sahabatku, aku nggak datang,” lanjutnya.
Tak tahan, pernah suatu hari, Ani pergi ke tempat kos teman perempuannya. Tapi tak lama diketahui suaminya dan dijemput paksa. Sepanjang perjalanan pulang, Ani mengaku diintimidasi dan diancam bahkan ditampar di tengah jalan. Puncaknya, 2017 Ani memutuskan keluar dari rumah dan menyewa kamar kosnya sendiri di daerah Bandung Selatan.
“Waktu itu tidak ada niatan melapor karena merasa bisa diselesaikan secara kekeluargaan, tapi ternyata makin parah. Puncaknya, aku tahu suami selingkuh dengan perempuan lain, itu aku jadikan senjata aja untuk ajukan gugatan cerai resmi. Tapi suami nggak mau cerai dan menahan buku nikah kami,” ungkapnya.
Proses perceraian Ani berjalan cukup panjang dan pelik karena suaminya tidak mau kooperatif. Di saat bersamaan pula, keadaan Ani mulai membaik, ia mendapatkan pekerjaan baru di Bogor, lalu menyewa kuasa hukum untuk mengurus perceraiannya sampai tuntas. Akhirnya 2019, akta cerainya terbit, setelah dua tahun menunggu.
Ternyata, rumah bukan tempat aman
Rumah yang seharusnya menjadi tempat aman bagi perempuan, ironisnya seringkali justru menjadi tempat kekerasan itu terjadi. Pelakunya sendiri adalah orang terdekat atau dikenal baik. Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2023 mencatat, jumlah kekerasan berbasis gender (KBG) masih didominasi oleh kekerasan terhadap perempuan di ranah personal dan domestik sebanyak 287.741 kasus (98,5%), di ranah publik sebanyak 4.182 kasus (1.4%) dan di ranah negara 188 kasus (0,1%). Jawa Barat sendiri menjadi daerah tertinggi angka kasus kekerasan terhadap perempuan, yakni 51.866 kasus. Bandung menjadi salah satu yang mengalami peningkatan. Angka ini memprihatinkan sekaligus membuat lega karena artinya banyak korban yang mulai mau bersuara.
Ressa Ria, selaku founder Samahita Foundation, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di isu kekerasan berbasis gender, melihat bahwa angka pelaporan yang naik ini bisa jadi karena dua hal, memang kasusnya tinggi atau orang mulai aware bahwa mereka adalah korban. “Tapi, kalau aku sih melihatnya, memang kasusnya naik, bukan cuma sekedar awareness masyarakat udah naik,” tuturnya saat ditemui langsung di Jalan Pahlawan, Kota Bandung, Kamis, 4 Desember 2024.
Saat ini Samahita sendiri sedang hiatus pendampingan selama satu tahun akibat overwhelmed pasca pandemi. “Hiatusnya sebenarnya nggak benar-benar hiatus tapi, menyelesaikan dampingan-dampingan yang sudah ada sebelumnya. Tapi, walau beberapa kali membuat pengumuman hiatus, tetap saja pelaporan masih banyak masuk,” lanjutnya.
Menurut Ressa, setelah pandemi Covid-19 bukan hanya Samahita saja tapi, semua organisasi masyarakat sipil atau Civil Society Organization (CSO) lain mengalami “banjir bandang pelaporan”. Hal ini terjadi karena intensitas kegiatan di dalam ruang menjadi lebih banyak, mau tidak mau orang-orang diam di dalam rumah dan ternyata rumah itu bukan tempat yang aman.
Utamakan korban
Awalnya Samahita hanya mendampingi kasus Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) namun, ternyata pelaporan yang masuk semakin beragam seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kasus anak. “Jadinya yang tadinya pendampingan untuk kekerasan seksual dan KDP menjadi kekerasan berbasis gender, jadi cakupannya lebih luas,” ungkap Ressa.
Dalam melakukan pendampingan, Samahita mengutamakan kemauan korban dulu. Ini karena secara sumber daya manusia kurang memadai dan beberapa pengalaman sebelumnya sistem jemput bola butuh effort yang cukup besar. “Karena kalau kita yang datang duluan, kadang orangnya merasa nggak butuh. Jadi banyak paksaan dan menurut kita itu melanggar consent-nya,” katanya.
Senada dengan Samahita, Sapa Institute juga dalam melakukan pendampingan sebisa mungkin atas dasar kemauan korban sendiri dengan sepengetahuan keluarganya. Namun, yang banyak terjadi saat ini adalah banyak korban yang justru tidak mau melibatkan keluarga atau tidak ingin keluarganya tahu. “Itu sulit karena untuk akses bantuan dan jika sesuatu terjadi di tengah proses, siapa yang akan bertanggung jawab jika tidak ada keluarga. Ini banyak terjadi pada korban remaja,” jelas Sugih Suhartini, perwakilan Sapa Institute saat diwawancara pada 28 November 2024.
Sapa Institute sendiri merupakan organisasi independen yang berfokus pada isu perempuan terkait hak seksual, kesehatan reproduksi, kemandirian ekonomi dan anti kekerasan yang berlokasi di Kabupaten Bandung. Selain pendampingan, SAPA Institute juga melakukan pemberdayaan untuk penyintas dengan bekerjasama dengan Dinas Sosial (Dinsos) dan Baznas, pelatihan keahlian bagi korban Tindak Pindak Perdagangan Orang (TPPO), modal usaha mandiri secara ekonomi. “Ini semua khusus untuk perempuan. Tapi ada juga ekonomi orang muda untuk rentang usia 18 sampai 24 tahun yang bisa untuk perempuan maupun laki-laki,” katanya.
Tidak sadar dimanipulasi
Seringkali banyak korban kekerasan yang tidak sadar bahwa mereka adalah korban atau sama seperti Ani yang sadar menjadi korban tapi sulit keluar dari circle tersebut. Mengapa demikian? Karena siklus kekerasan yang sangat khas, yaitu fase tension (saat terjadinya konflik), fase incident (dimana kekerasan terjadi), fase reconciliation (pelaku minta maaf dan secara psikologis korban juga merasa bersalah), dan fase calm (fase bulan madu, berbaik-baikkan).
Menurut Tika Ariyanti, psikolog sekaligus pengelola Psychological Center di Depok, siklus khas ini terus berulang sehingga korban butuh waktu lama untuk sadar karena ada manipulasi yang mendalam. “Mereka sering kehilangan rasa harga diri, sehingga sulit bangkit,” ungkapnya dihubungi via telepon pada Sabtu, 17 Desember 2024.
Hal ini pula yang seringkali menjadi tantangan kala pendampingan. Sapa Institute sendiri mengaku banyak korban yang berhenti di tengah jalan akibat merasa kasihan dengan pelaku atau masih sayang dengan pelaku. “Jika korban tiba-tiba ingin berhenti, kita juga tidak bisa apa-apa, tidak bisa intervensi,” tutur Sugih.
Ressa juga membenarkan, bahwa korban KDP dan KDRT selalu terjebak di circle itu. “Biasanya, mereka datang melapor pas fase tension, fase terancam, fase butuh pertolongan. Yang Samahita lakukan istilahnya mah di brainstorming, benar-benar diperkuat bahwa ‘kamu tuh korban kekerasan’. Karena kalau kelewat aja, balik lagi itu ke manipulasi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, menurut Ressa tidak jarang pula, korban yang berubah motivasi. “Pernah, korban sudah siap, pendamping sudah siap, strategi sudah matang. Tiba-tiba korban menghilang seminggu, tidak bisa di kontak. Tiba-tiba kontak lagi, meminta pendampingannya selesai karena sudah bertemu pelaku, pelaku minta maaf dan janji berubah, terus dia cabut tuntutannya,” lanjutnya.
Jika sudah seperti itu, Ressa tidak bisa memaksa karena Samahita hanyalah fasilitator, yang akan menentukan penyelesaian kasus, menentukan pemulihan dan hal lainnya adalah korban itu sendiri. “Banyak juga korban yang nggak cocok dengan cara pendampingannya, karena inginnya tuh buru-buru, langsung call out di media sosial. Padahal call out itu pilihan terakhir” tuturnya.
Bagaimana dukungan pemerintah?
Kerja-kerja pendampingan yang dilakukan Samahita, Sapa Institute, dan organisasi masyarkat sipil lainnya selama ini sebenarnya membantu kerja pemerintah khususnya pemerintah daerah. Tapi, faktanya tidak ada dukungan apapun dari pemerintah daerah untuk organisasi yang membantu perempuan korban kekerasan seperti ini. Padahal dalam pendampingan suatu kasus, proses yang dilalui cukup panjang dan seringkali menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Samahita sendiri mengaku tidak ada bantuan apapun dari pemerintah. “Kalau Samahita kita sistemnya donasi anggota. Jadi misalkan aku diundang jadi narasumber dapat honor, kesepakatannya untuk pengurus 20% dari honor itu masuk donasi ke Samahita. Kalau anggota biasa 10%. Jadi sejauh ini sih kita banyaknya ya dari swadaya dan modal sosial,” ungkap Ressa.
Sedangkan Sapa Institute sendiri mendapat bantuan dana untuk pendampingan kasus dan sosialisasi atau peningkatan kapasitas bagi pendamping dari organisasi pelayanan sosial, Women’s Crisis Center (WCC) Pasundan Durebang. Lalu ada kerjasama MoU dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3KB) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Bandung terkait pendampingan psikologis dan shelter. Tetapi, untuk dukungan dana operasioanal dari pemerintah sampai saat ini belum ada. “Kalaupun ada, kontribusi dari desa itu hanya berupa pinjaman kendaraan operasional saja,” ungkap Sugih.

Ressa berharap pemerintah lebih mendukung lagi program-program organisasi masyarakat sipil yang ada dan punya layanan satu pintu seperti command center untuk kasus kekerasan. “Kita tuh belum punya sistem pelaporan yang terintregasi sama lembaga-lembaga lain dan nggak ada sistem pemantauan risiko. Jadi kalau ada dugaan KDRT, harusnya respon cepat, datang. Kalaupun nggak selalu harus ditangkap ya, tapi dipantau. Kita teh nggak punya sistem pemantauan itu, sistem alur respon cepat nggak ada” katanya.
Apalagi perubahan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) menjadi UPTD PPA berpengaruh besar bagi kerja-kerja pendampingan. Dalam sisi penanganan P2TP2A cukup baik, karena memiliki model kerja sosial relawan yang tidak ada jam kerjanya, setelah di rubah menjadi UPTD PPA jam kerjanya seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tidak memiliki wewenang melakukan kampanye dan edukasi lagi. “Belum lagi jika Kepala Dinasnya dimutasi, bawahannya juga ikut diganti, nggak efektif” lanjunya.
Hal tersebut juga dirasakan oleh Sapa Institute, perubahan P2TP2A menjadi UPTD PPA pada awalnya menjadi kurang responsif karena pergantian kepala dan staf UPTD PPA yang tidak cukup paham alur pendampingan kasus. “Tapi setelah beberapa lama, ada perubahan dengan dibentuknya Satgas PPA Kecamatan. Mereka diberikan pelatihan pendampingan oleh dinas terkait,” ungkapnya.
Menurutnya, lambat laun pelayanannya semakin meningkat dan memudahkan akses masyarakat untuk membuat pengaduan kasus dengan dibentuknya Satgas di setiap kecamatan.
Program penanganan tidak cukup inklusif
Isu perempuan sebenarnya menjadi salah satu topik utama dalam debat Cagub dan Cawagub Jawa Barat 2024. Akan tetapi, yang membahas spesifik mengenai isu kekerasan terhadap perempuan hanya sedikit saja. Itupun hanya gambaran umum, tidak dibahas secara spesifik dan mendalam, tidak menyentuh akar persoalannya. Pada akhirnya yang ada hanyalah solusi-solusi pragmatis, yang sebenarnya sudah ada banyak.
Pasangan Aceng Adang Ruhiat dan Gitalis Dwinatarina, no. urut 1 sendiri memiliki program unggulan yang diberi nama “RUNGKAD CARE”, Respon Untuk Kebahagiaan dan Aksi Darurat. Program ini diklaim hadir untuk memberikan layanan respon cepat yang siap melayani 24 jam bagi mereka yang menghadapi kekerasan, krisis mental, atau membutuhkan bantuan mendesak. Terdiri dari tenaga medis, psikolog, dan pakar hukum.
Lalu pasangan no. 2, Jeje Wiradinata dan Ronal Surapradja dalam debat perdananya mengatakan bahwa dirinya akan membuat sistem aduan kekerasan seksual berbasis aplikasi real time. Laporan kekerasan yang masuk nanti akan langsung ditindaklanjuti, dan dikawal langsung oleh Jeje dan Ronal.
Sugih sendiri menanggapi positif program para kandidat. Menurutnya, ini memungkinkan dan sangat baik karena masyarakat bisa mulai berinisiatif sendiri untuk melaporkan kasusnya secara online. Namun sepengalamannya, jika melapor ke Satgas memungkinkan untuk bisa direspon dengan cepat tapi, untuk mengakses layanan lainnya seperti layanan konseling tetap harus menyesuaikan jadwal petugas.
Lain hal dengan Ressa, baginya ini hanya pengadaan. “Kalau cuman bikin aplikasi doang, tapi si sistem SDM-nya nggak disiapin, ya percuma. Sebenarnya kan ada SAPA 123, tetap kan tindaklanjutnya lama. Sedangkan KDRT, hari ini lapor, harusnya hari itu juga ditindak” tegasnya.
Selain itu menurutnya, aplikasi tidak cukup inklusif untuk masyarakat, karena masalah handphone yang kurang mendukung, masalah kecakapan digital, kebocoran data dan banyak masalah lainnya. Jika dilihat dari user centris juga aplikasi kurang user friendly. “Untuk pemerintah mah mending hotline aja atau satgas penanganan yang lebih realistis, seperti Jabar Quick Response. Kalau niatnya buat program penanganan” pungkasnya. (Alin Imani) [*]