digitalMamaID – Teknologi digital telah berkembang amat pesat dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Teknologi juga membuka peluang baru dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan komunikasi. Namun, meskipun ada potensi besar yang ditawarkan oleh teknologi, ketimpangan gender (gender gap) dalam akses dan partisipasi di ranah digital tetap ada. Kesetaraan gender di era digital harus terus diupayakan.
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba Santi Indra Astuti mengatakan, gender gap berawal dari gender inequality atau ketidaksetaraan gender. Dalam ranah digital, persoalan gender gap saat ini bukan hanya sekedar persoalan akses saja tapi, ada persoalan lain seperti partisipasi dan kualitas dari partisipasi itu sendiri.
“Jumlah pengguna internet kalau dibandingkan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia tidak berbeda jauh, itu harus dilihat juga kualitas dari partisipasinya. Ngapain aja sih di internet? Ngapain aja sih di dunia digital?” jelas Santi dalam Live Instagram #digitalMamaTALK bertajuk No Woman Left Behind yang diselenggarakan digitalMamaID, Rabu, 22 Januari 2025.
Menurutnya, ketika masuk ke ruang digital, pengguna ada yang menjadi produsen, ada juga yang menjadi konsumen. Namun, dengan segala kelebihan yang ada di ruang digital, semestinya posisi pengguna bisa sebagai prosumen, yaitu produsen sekaligus konsumen.
“Nah, sekarang kita lihat aja kenyataannya di Indonesia, perempuan lebih banyak sebagai prosumen atau lebih banyak sebagai konsumen? Saya akan dengan gamblang menyatakan bahwa perempuan lebih banyak menjadi konsumen, ya! Nah, dengan demikian maka aspek critical thinking-nya tidak terasah, digital skill-nya juga tidak terasah. Ini menjadi catatan,” ungkapnya.
Menjadi prosumen
Jika konsumen lebih banyak mengonsumsi, menerima, dan pasif. Sementara kalau prosumen, selain menjadi konsumen juga sekaligus menjadi produsen. Sehingga turut mengisi ruang digital dengan mendayagunakan modal di sekelilingnya menjadi sesuatu yang meningkatkan dirinya. Misalnya saja membuat konten untuk meningkatkan kapabilitas atau bisnis dengan mengkapitalisasi modal yang ada di sekitar menjadi sesuatu yang punya nilai ekonomi.
“Modalnya perempuan apa sih untuk bisa mencapai itu? Berada di dunia digital, kita harus bisa memahami, mencerna pesan-pesan yang ada di sekitar kita, menggunakan daya kritis kita, menggunakannya sesuai dengan yang kita butuhkan,” jelas Santi.
Menurutnya banyak tantangan di ruang digital, seperti berkaitan dengan keamanan (security), berkaitan dengan skill dan kualitas partisipasi itu sendiri.
“Bicara dari hal yang basic dulu, yaitu skill. Skill perempuan ketika masuk ke ruang digital itu skill yang bagaimana? Oke, bisa mengakses. Tapi apakah dia tahu bagaimana cara melindungi dirinya sendiri, ketika dia masuk ke dalam ruang yang di dalamnya itu banyak banget orang dengan bermacam-macam niat,” jelasnya.
Lebih lanjut, kadangkala perempuan berhenti hanya sebatas mendapatkan akses saja. Tidak berlanjut dengan menguasai skill untuk melindungi atau memitigasi diri. Sehingga rentan terpapar oleh harmful content atau konten-konten yang berbahaya, bahkan tidak menutup kemungkinan juga menjadi korban scam atau aksi kriminal lainnya.

“Sederhana aja, ketika masuk ke grup WA misalnya, apakah kita memberikan proteksi bagi akun-akun kita, sehingga tidak dimasukkan tanpa sepersetujuan kita ke grup-grup tertentu,” tambahnya.
Kemudian faktor skill lainnya yang berkaitan dengan kemampuan untuk menulis, merespon, serta beretika. “Saya senang banyak perempuan yang aktif di ruang digital. Tapi saya suka sedih kalau misalnya melihat komen-komen yang tidak beretika, yang dilakukan sesama perempuan atau yang lain,” tuturnya.
Membangun kepercayaan diri
Seringkali ditemukan komentar di media sosial yang negatif untuk perempuan dilontarkan oleh akun perempuan juga? Santi mengatakan, hal itu terjadi karena insecurity, jadi bukan sekedar persoalan bahwa dia tidak tahu etika. Akibatnya, seseorang merasa lebih percaya diri dan lebih puas jika bisa mendegradasi yang lain. “Nah, berarti obatnya apa? Insecurity-nya yang harus diobati,” ujarnya.
Di satu sisi, insecurity memang membuat perempuan jadi terjebak pada pola-pola stereotip-stereotip yang membelenggu, membuat mereka pada posisi yang tidak menguntungkan, membuat mereka juga tidak berani untuk mengambil inisiatif dan sebagainya. Tapi di sisi lain dalam dosis yang tepat, insecurity ini bisa dijadikan stimulus bagi perempuan untuk meningkatkan dirinya atau juga untuk menjaga dirinya.
Faktor lain di insecurity adalah takut salah. “Padahal salah mah biasa. Dan salah itu bagian dari pengalaman gitu ya,” katanya.
Menurutnya, perempuan harus didorong untuk diberanikan, dibangun rasa percaya dirinya, salah satunya dengan berkomunitas. Lewat komunitas praktik-praktik baik bisa dibagikan, diajarkan dan ditularkan menjadi kebiasaan sehari-hari. “Saya pikir dengan kita sama-sama memberikan ruang dan kepercayaan diri bagi perempuan, yang terbaik itu nanti akan keluar kok, karena mereka jadi punya pengalaman yang sangat kaya dan itu indah,” katanya.
Digital Queen dan keterampilan digital perempuan
Berbicara tentang perempuan dan ranah digital memang masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah. Perempuan di landscape digital ini wujudnya beragam, ada yang sudah melek digital (advance) dan ada pula yang masih basic atau sudah terkoneksi dengan internet tapi tidak tahu cara memanfaatkannya.
Dengan memberi perempuan kesempatan yang sama dalam dunia digital, tidak hanya memberi manfaat bagi perempuan itu sendiri, tetapi juga kepada seluruh masyarakat. Perempuan yang berdaya, akan dapat berperan lebih besar dalam keluarga, komunitas, dan bahkan negara, menciptakan perubahan positif yang lebih luas.
digitalMamaID membuat program bernama Digital Queen untuk mengajak perempuan-perempuan yang aksesnya belum sebesar di perkotaan untuk belajar literasi digital.
“Berawal dari kita kalau lagi berkegiatan, melihat ada ibu-ibu yang effort-nya itu besar sekali untuk datang belajar. Buat kami, di satu sisi senang, di satu sisi lagi khawatir. Kalau untuk belajar itu dia harus menyisihkan uang yang tidak sedikit untuk transportasi, untuk jajan anaknya (di jalan), dan segala macam. Akhirnya ketika situasi tidak memungkinkan, keinginan belajar ini kan kalah dengan hal-hal yang lebih urgent,” ungkap Editor in Chief digitalMamaID Catur Ratna Wulandari di forum yang sama.
Digital Queen bertujuan untuk melahirkan queen atau ratu baru yang punya pengetahuan dan keterampilan untuk memanfaatkan era digital ini. Sehingga perempuan tidak hanya jadi penonton atau konsumen saja. Mereka juga bisa berdaya di era digital ini. Langkah ini diharapkan bisa mendorong tercapainya kesetaraan gender di era digital ini.
Program dengan pendekatan volunteerism atau kegiatan sukarela ini rencananya akan dimulai pada Februari 2025. Simak informasi selengkapnya melalui Instagram @digitalqueenid.
Mengatasi gender gap
Mewujudkan kesetaraan gender di era digital harus terus diperjuangkan. Mengubah sesuatu yang sudah berakar kuat, sistemik dan sangat kultural memang tidak mudah. Perlu penguatan dari dalam diri dan semangat gotong royong, dengan membantu perempuan-perempuan lainnya untuk sama-sama berdaya.
“Soal keterbatasan akses, ini masalah infrastruktur yang tidak bisa dihindari dan merupakan persolan negara yang harus diatasi bersama. Tapi apakah kita hanya tergantung pada infrastruktur?”, kata Santi
Menurutnya, ada jalan keluar untuk mengatasi kesenjangan digital ini, salah satunya dengan berkomunitas. Tentu saja berkomunitas seraya memperjuangkan pemerataan infrastruktur, yang merupakan hak asasi semua manusia. Ini sejalan dengan program Digital Queen yang akan dimulai. Model kerelawanan ini dilakukan dengan basis komunitas. Komunitas perempuan bertemu dengan komunitas relawan yang siap membantu mereka menjadi queen di era digital.
“Sekecil apapun langkah yang dibuat, percayalah bahwa itu akan membawa perempuan keluar dari cangkangnya. Perempuan akan lebih sibuk memikirkan kualitasnya daripada memikirkan harus komentar apa, ini dan itu,” ucap Santi. [*]