Iteung Gugat dan Perlawanan Terhadap Budaya Patriarki

Iteung Gugat
Share

Budaya Sunda, sebagai salah satu kekayaan kultural Indonesia, seringkali dianggap lekat dengan norma-norma yang berakar pada tradisi patriarki. Patriarki adalah sistem sosial di mana kekuasaan dan otoritas lebih banyak dimiliki oleh laki-laki, sehingga perempuan sering berada dalam posisi subordinat atau kurang berdaya dalam berbagai aspek kehidupan, seperti keluarga, pekerjaan, dan masyarakat.

Seperti keterwakilan perempuan dalam politik dan pemerintahan Indonesia. Di Kabinet Indonesia Maju, keterwakilan perempuan hanya 5 dari 48 menteri yang terpilih, menandakan masih minimnya representasi perempuan di posisi strategis negara. Belum lagi ranah legislatif pun situasi ini berlanjut. Komisi VIII DPR RI 2024 yang menangani isu agama, sosial, serta perlindungan perempuan dan anak tidak ada satu pun perempuan yang menjadi ketua ataupun wakil ketua Komisi VIII. Hal ini mencerminkan tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan gender di sektor kebijakan dan kepemimpinan nasional.

Isu patriarki yang telah menguat dengan kondisi yang terjadi menjadi hal yang bertolak belakang dengan budaya Sunda yang sebenarnya. Seperti di dalam cerita rakyat Sunda bernama Iteung, sosok yang cerdas, tegas, dan berani, terutama dalam menghadapi dan menggugat keputusan yang tidak adil, termasuk dari suaminya, Kabayan, yang dikenal santai dan sering kali malas. Iteung menjadi simbol perempuan Sunda yang tidak hanya pintar, tetapi juga berani menyuarakan kebenaran serta menuntut keadilan.

Perlawanan Iteung Gugat

Semangat Iteung menjadi simbol bagi perkembangan Iteung Gugat, sebuah gerakan berupa media kampanye dan advokasi perempuan yang tergabung di Jaringan Advokasi Jawa Barat. Budaya ini memiliki potensi untuk bergerak melampaui batasan tersebut, mengangkat suara perempuan dalam perlawanan terhadap kekerasan, diskriminasi, dan ketidakadilan berbasis gender.

Sesuai nama media kampanye Iteung Gugat, penggunaan nama Iteung pun beralasan sosok istri dari tokoh cerita pria Sunda, Kabayan. Iteung, diceritakan sebagai simbol perempuan kuat dan mandiri. Dalam cerita-cerita rakyat Sunda, Iteung adalah istri dari Kabayan, seorang laki-laki yang dikenal santai, terkadang malas, dan sering membuat masalah. Namun, Iteung sering digambarkan sebagai perempuan yang cerdas, berani, dan mampu “menggugat” situasi atau keputusan yang dianggap tidak adil, termasuk dari suaminya. Nama “Iteung Gugat” mengandung pesan bahwa perempuan bisa bersikap kritis, mandiri, dan memperjuangkan keadilan, menggugat ketidakadilan, atau memperbaiki kondisi yang tidak ideal.

Iteung Gugat menggambarkan dinamika advokasi yang melibatkan kolaborasi banyak pihak dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok rentan lainnya. Salah satu tujuan besar dari Iteung Gugat adalah kampanye untuk mempraktikkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), sebuah kebijakan krusial yang bertujuan melindungi korban kekerasan seksual dan memperkuat sistem hukum dalam menangani pelaku kejahatan seksual.

Pendekatan sosial budaya

Keterlibatan berbagai kelompok, termasuk tokoh agama, menunjukkan bahwa perjuangan ini tidak hanya berangkat dari satu sudut pandang. Kolaborasi lintas organisasi mencerminkan semangat gotong royong yang menjadi ciri khas budaya Sunda, di mana kepentingan bersama diutamakan. Upaya ini menunjukkan bahwa budaya Sunda, meskipun memiliki akar tradisional yang kental, tidak selalu bersifat patriarkat, tetapi justru dapat menjadi kekuatan dalam perjuangan melawan ketidakadilan gender.

Isu perempuan dalam budaya Sunda, sebagaimana dalam konteks wawancara ini, juga harus dilihat dalam kerangka keberagaman sosial. Perempuan seringkali menghadapi kerentanan ganda, tidak hanya karena gender, tetapi juga karena latar belakang agama atau etnisitas. Hal ini menambah kompleksitas perjuangan advokasi di Jawa Barat karena perempuan harus berjuang melawan berbagai bentuk diskriminasi. Pendekatan advokasi yang sensitif terhadap konteks sosial dan budaya menjadi penting, terutama di wilayah seperti Jawa Barat yang memiliki kekayaan budaya dan agama yang beragam.

Meski demikian, tantangan yang dihadapi Iteung Gugat ini tidak sedikit. Ada masa-masa ketika kampanye terhenti karena kurangnya dukungan dan pengelolaan yang sempat tidak aktif. Namun, keberlanjutan gerakan ini tidak dapat dipisahkan dari kekuatan kolaborasi dan solidaritas. Dengan pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh berbagai yayasan dan organisasi, kampanye yang sempat meredup kembali hidup dan bahkan semakin kuat.

Dalam konteks budaya Sunda, gerakan ini merefleksikan kebangkitan perempuan Sunda yang mampu mendefinisikan ulang peran mereka, tidak hanya sebagai penjaga nilai-nilai tradisional, tetapi juga sebagai agen perubahan yang memperjuangkan keadilan dan hak-hak asasi manusia. Perempuan Sunda dalam gerakan ini menegaskan bahwa budaya tidak harus dilihat sebagai sesuatu yang statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan gender.

Peran penting perempuan

Dalam budaya Sunda, perempuan sering kali memegang peran penting sebagai pengatur rumah tangga, tetapi perannya tidak terbatas hanya pada urusan domestik. Banyak perempuan Sunda, terutama di daerah pedesaan, juga aktif dalam sektor ekonomi keluarga, seperti bertani, berdagang, dan menjalankan usaha kecil. Keberadaan mereka dalam ekonomi keluarga menunjukkan bahwa perempuan Sunda tidak selalu tergantung pada laki-laki, dan sering kali mereka menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.

Budaya Sunda yang tidak patriarki terlihat dalam semangat gotong royong, saling menghargai keberagaman, dan memperjuangkan keadilan bersama. Perempuan-perempuan Sunda di Jawa Barat, melalui media kampanye Iteung Gugat, menjadi pelajaran penting tentang bagaimana sebuah budaya dapat berkembang dan bergerak ke arah yang lebih inklusif dan adil bagi semua.

Dalam bahasa Sunda, kata “istri” berasal dari akar kata yang memiliki makna penopang atau pendukung utama. Ini menunjukkan bahwa perempuan dianggap sebagai pondasi dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat, bukan sekadar pelengkap, tetapi pilar penting yang menopang kehidupan bersama.

“Marilah menjadi perempuan Sunda yang seperti Iteung, yang punya pendiriannya sendiri, dia juga berani, dan bisa berdiplomasi,” tutur Annisa Noor Fadilah, salah satu pengurus Iteung Gugat.

Perjuangan ini bukan hanya soal melawan kekerasan berbasis gender, tetapi juga tentang menggugat konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai subjek yang rentan. Perempuan Sunda, dalam perjuangannya, menunjukkan bahwa budaya dan gender bukanlah batasan, melainkan medan untuk menciptakan perubahan. [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cara ajak anak diskusi soal bahaya online tanpa menghakimi? 

Dapatkan solusi anti-panik untuk mengatasi hoaks, cyberbullying, dan mengatur screen time dalam Panduan Smart Digital Parenting