digitalMamaID – Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi di kalangan remaja, khususnya perempuan. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, sekitar 32% remaja berusia 15–24 tahun di Indonesia mengalami anemia. Tidak hanya perempuan, remaja laki-laki juga berisiko menghadapi kondisi ini, meskipun prevalensi anemia pada perempuan tercatat 6% lebih tinggi.
Riskesdas juga mencatat adanya peningkatan jumlah kasus anemia pada remaja sejak tahun 2007 hingga 2018. Salah satu penyebab utama anemia pada remaja perempuan adalah menstruasi, terutama jika terjadi secara berat atau berkepanjangan. Ironisnya, banyak remaja belum memahami kaitan antara menstruasi dan anemia. Padahal, kondisi ini dapat mempengaruhi kesehatan, tingkat energi, serta kualitas hidup mereka secara keseluruhan.
Anemia terjadi ketika tubuh kekurangan hemoglobin, protein dalam sel darah merah yang bertugas membawa oksigen ke seluruh tubuh. Gejalanya meliputi kelelahan, kulit pucat, sesak nafas, pusing, hingga penurunan konsentrasi. Kehilangan darah saat menstruasi, terutama yang berat (menorrhagia), dapat menurunkan kadar hemoglobin secara drastis, meningkatkan risiko anemia.
Anemia dan menstruasi
Secara medis, menstruasi berat didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 80 ml per siklus, sebuah kondisi yang cukup umum tetapi sering tidak disadari. Menurut Dinas Kesehatan Kota Bandung, anemia pada remaja putri sering kali disebabkan oleh defisiensi zat besi dan kehilangan darah selama menstruasi. Keduanya dapat berdampak signifikan pada kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Di Indonesia, prevalensi anemia pada remaja perempuan juga dipengaruhi oleh pola makan rendah zat besi, konsumsi makanan cepat saji, serta akses yang terbatas ke fasilitas kesehatan. Pola makan yang kurang kaya nutrisi memperburuk kondisi ini. Sementara, kebutuhan zat besi meningkat selama menstruasi untuk menggantikan darah yang hilang. Dengan prevalensi tinggi ini, remaja perlu mengetahui cara mencegah dan mengelola anemia, termasuk menjaga pola makan sehat dan mengonsumsi makanan kaya zat besi seperti daging merah, bayam, kacang-kacangan, atau sereal fortifikasi.
Selain itu, menangani menstruasi berat juga penting untuk mencegah anemia. Remaja yang mengalami menstruasi berat sebaiknya berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan penanganan medis, seperti pengobatan hormonal atau suplemen zat besi yang sesuai. Dukungan dari orang tua sangat diperlukan untuk memastikan kebutuhan gizi terpenuhi, sementara sekolah juga memiliki peran dalam memberikan edukasi kesehatan reproduksi serta menyediakan fasilitas pendukung, seperti ruang kesehatan.
Pada akhirnya, pemahaman yang baik tentang hubungan antara menstruasi dan anemia dapat membantu remaja menjaga kesehatan mereka. Remaja harus lebih peduli terhadap gejala anemia. Gejalanya antara lain kelelahan berlebihan atau menstruasi berat yang berkepanjangan. Jika mengalami gejala tersebut, penting untuk berbicara dengan orang tua, guru, atau tenaga medis. Dengan upaya bersama dari keluarga, sekolah, dan masyarakat, diharapkan kesadaran tentang anemia dan kesehatan menstruasi dapat meningkat. Sebuah langkah penting untuk memastikan generasi muda tumbuh sehat dan produktif. (Alexandra Wilka Luciana/Aurelia Clarina Gautama/SMA Santa Ursula Jakarta) [*]