26 April 2023 menjadi momen besar dalam hidupku. Saat orang lain masih merayakan cuti bersama Idul Fitri, aku harus terbaring di meja operasi salah satu rumah sakit swasta di Bandung. Aku menjalani operasi histerektomi (pengangkatan rahim) setelah belasan tahun berjuang menahan rasa sakit yang amat sangat tiap kali menstruasi.
Kenapa histerektomi? Kesimpulan berdasarkan hasil Patologi Anatomi ditemukan Adenomiosis di dalam rahim dan Endometriosis di ovarium sinistra sebelah kiri. Rasanya aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit setiap kali menstruasi. Akibat ini pula kadar hemoglobin dalam tubuhku turun terus-menerus, sehingga aku terkena anemia yang membuat aku harus menjalani transfusi darah.
Dikutip dari www.webdm.com, adenomiosis sendiri adalah suatu kondisi dimana lapisan dalam rahim (endometrium) menerobos dinding rahim (miometrium). Walau adenomiosis dianggap kondisi yang jinak (tidak mengancam jiwa) tetapi, berdampak negatif bagi kualitas hidup. BBC juga pernah menyebut nyeri adenomiosis pada wanita 10 kali lebih buruk dari melahirkan.
Semenjak gadis, aku memang memiliki dismenore atau nyeri saat menstruasi yang cukup berat. Aku sulit beraktivitas normal karena rasa sakit dan pendarahan yang berlebihan. Sampai akhirnya aku menikah dan memiliki anak, lama-lama rasa sakit ini bukan lagi menurunkan kualitas hidupku saja tetapi sudah menghancurkan mentalku sebagai ibu. Aku merasa tidak bisa mengurus anakku dengan baik saat itu. Enough is enough, aku bulatkan tekad membuat keputusan tersulit dalam hidupku. Histerektomi.
**
Minggu demi minggu aku lewati fase pemulihan yang cukup panjang dan berat pasca-histerektomi. Rasanya antara percaya dan tidak percaya, tetapi masih dalam perasaan yang cukup stabil.
Sampai di suatu titik, luka jahitanku terinfeksi dan jebol sepanjang 1,5 cm. Tanpa pikir panjang, aku menemui bidan terdekat. Bidan pun bertanya, “Habis melakukan operasi apa?”
Tiba-tiba aku seperti terhenyak. Aku terdiam tanpa bisa menjawab pertanyaan bidan. Aku menangis..
Saat itu aku tersadar bahwa ada bagian dalam diriku yang belum menerima kenyataan ini. Aku terpukul dengan kenyataan bahwa aku kehilangan salah satu organ tubuh yang menjadikanku seorang perempuan, seorang ibu. Rahim.
Rahim sendiri memang sejak lama dianggap simbol kesuburan dan feminitas. Rahim juga harapan bagi setiap pasangan yang ingin memiliki anak. Membayangkan diri ini sudah tidak bisa memiliki anak lagi cukup membuat sedih. Ditambah stigma negatif dari lingkungan sekitar yang tidak mengerti. Bukan karena mereka tidak merasakan, tapi reaksi mereka terhadapku.
Akan tetapi, disisi lain, ada perasaan lega bahwa aku tidak lagi mengalami menstruasi seperti dulu. Menstruasi yang dulu cukup membuat trauma dan luka. Dulu, banyak sekali hal-hal, hari-hari yang aku lewatkan karena keterbatasan ini. Sekarang, aku bisa melakukan banyak hal, di hari apapun tanpa merasa khawatir, tanpa harus membawa berton-ton pereda nyeri.
Sampai saat ini aku masih dalam masa pemulihan, hari demi hari secara mental aku merasa lebih baik. Beruntung memiliki keluarga yang amat suportif. Ruang kosong di dalam tubuh ini, kujadikan saja sebagai pengingat bahwa rahim bukanlah satu-satunya organ yang menjadikan kita sebagai perempuan, sebagai ibu.
Menjadi seorang perempuan memang bukanlah perkara mudah. Kita mengalami menstruasi setiap bulan, mengandung, melahirkan, memiliki anak, menjadi ibu rumah tangga. Bahkan ada celotehan bahwa seorang ibu dilarang sakit. Tapi, realitanya ibu juga manusia biasa, ya!
Jika kita memiliki keluhan tentang menstruasi atau masalah reproduksi yang lain, jangan pernah malu untuk berkonsultasi langsung dengan spesialis, kritis, mencari jalan keluar yang terbaik. Karena keputusan dan pertimbangan atas tubuh ini harus dipertimbangkan dengan baik-baik dan sebagai perempuan kita harus bisa memutuskan sendiri tentang diri kita dan masa depan kita.
– Mama Penny –