Nestapa Ibu Terjerat Pinjol Ilegal

Ibu rumah tangga terjerat pinjol ilegal/Djuli Pamungkas/digitalMamaID
Share

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut ibu rumah tangga menjadi salah satu kelompok yang banyak menjadi korban pinjaman online (pinjol) ilegal. Tim digitalMamaID menjumpai dua ibu rumah tangga di Jawa Barat yang hidupnya berubah total setelah terjerat pinjol ilegal. 

Cici (24) membuka pintu rumah yang berhadapan langsung dengan gang sempit. Pintu itu satu-satunya celah yang bisa dimasuki sinar matahari. Hanya ada satu ruang dan satu kamar mandi tanpa pintu permanen di rumah berukuran 4 x 4 meter itu. Di rumah itu, Cici tinggal bersama ketiga anaknya. Ia berpisah dengan suaminya setelah rumah tangganya berantakan lantaran terlilit utang.

Cici menikah di usia muda. Anak sulungnya duduk di bangku sekolah dasar, sedangkan bungsunya masih balita. Di usia belia pula Cici merasakan getirnya perceraian.

”Banyak sebabnya. Karena pinjol, terus gara-gara suka main judi slot, judi online itu kadang sampai pinjam-pinjam. Iya gara-gara itu, buat deposit katanya,” tutur Cici saat ditemui digitalMamaID pada April 2024.

Kisah Cici membayar utang pinjol suami

Sejak dulu, ia tahu suaminya punya gaya hidup konsumtif. Suka mengenakan barang bagus, ingin memiliki berbagai barang elektronik, sepeda motor yang terbaru, dengan hobinya yang menguras kantong. “Pokoknya semua yang dia pingin itu dia beli,” ujarnya.

Gaya hidup itu yang membuat ekonomi keluarganya kocar-kacir. Padahal ketika itu keduanya masih sama-sama bekerja di pabrik tekstil. “Kalau buat makan, walaupun seadanya, itu ada,” kata Cici.

Mereka pernah merasakan hidup yang berkecukupan. Dua-duanya bekerja hingga mampu membeli rumah subsidi. Akan tetapi, rumah yang masih diangsur tiap bulan itu harus dijual. Semula si pembeli rumah menyetor cicilan rumah ke suaminya. Uang itu semestinya disetorkan ke bank, tapi malah digunakan untuk memenuhi gaya hidup suami. Mengetahui uangnya tidak dibayarkan ke bank, pembeli rumah mengancam melaporkan ke polisi.

”Akhirnya cari pinjaman uang hampir Rp 5 juta. Akhirnya pakai pinjol itu untuk menutupi. Awalnya pakai pinjol yang legal,” kata Cici.

Setelah pengalaman pertama itu, akhirnya pinjol jadi solusi setiap ada kebutuhan finansial. “Lama-lama jadi ketagihan,” ujar Cici.

Cici sendiri tidak tahu-menahu soal layanan pinjaman online seperti itu. Ia mengenal berbagai aplikasi pinjol dari mantan suaminya itu. Saat tak bisa lagi mengajukan pinjaman atas namanya sendiri, nama Cici yang digunakan untuk mendaftar. Kemudahan mendapat uang tunai menjadikan pinjol menjadi solusi saat terdesak kebutuhan. Saat pinjol legal tak bisa diharapkan lagi, akhirnya menjajal pinjol ilegal. “Nggak sampai 30 menit langsung cair,” katanya.

Ibu rumah tangga terjerat pinjol ilegal/Djuli Pamungkas/digitalMamaID
Ibu rumah tangga terjerat pinjol ilegal/Djuli Pamungkas/digitalMamaID

Dalam satu waktu ia bisa mencairkan pinjaman dari lima aplikasi pinjol. Kebutuhan uang tunai memang tertutupi, tapi bunganya mencekik. Untuk pinjaman senilai Rp 900.000 untuk tenor 1 bulan, ia harus mengembalikan Rp 1.100.000 atau sekitar 18%. Jauh lebih tinggi dibandingkan bunga pinjaman di bank yang sekitar 8-10% per tahun.

Meski tak menikmati uang pinjaman itu, Cici harus berhadapan dengan penyedia aplikasi pinjol karena namanya yang terdaftar sebagai peminjam. Saat suaminya tak membayar tagihan, ia harus menerima caci maki penagih utang.

Tak seperti pinjol legal yang hanya menelepon satu atau dua kali setelah lewat jatuh tempo, pinjol ilegal lebih galak. Penagih mengancam akan menyebarkan foto dan identitas. Tentu saja ini membuat Cici takut. Ia sering stres hingga membuat asam lambungnya naik. Tidurnya tak lagi nyenyak. Meski saat gagal bayar ia dengan mudah bisa ganti nomor, tetapi ketakutan itu tidak sirna.

”Perasaan kayak gelisah, cemas gitu. Kayak mau mati,” ujar Cici.

Tak mau dikejar-kejar penagih utang, akhirnya ia yang mencicil utang suaminya itu. Tapi utang suaminya tak habis-habis. Apalagi setelah kecanduan judi online. Harta bendanya tak bersisa. Meski sudah habis-habisan banting tulang bayar utang, perilaku suaminya tak juga berubah. Bahkan ia sering main kasar. Cici tak sanggup lagi melanjutkan rumah tangganya. Ia memutuskan berpisah.

Meski tak lagi bersama, Cici tetap harus mengangsur utang suaminya. Nyaris semua penghasilannya sebagai buruh konveksi habis untuk bayar utang. Sebagai pekerja harian, besaran pendapatan Cici bergantung pada seberapa banyak baju yang bisa buat. Jika beruntung, ia bisa membawa Rp 3 juta per bulan. Sekitar 80% habis untuk membereskan utang pinjol. Selama menyelesaikan utang, urusan dapur sementara menumpang orangtua.

Ia berharap tak ada lagi pinjol. Pinjol tak lebih dari jebakan hidup yang mengerikan. “Dendanya, bunganya itu besar. Mending jangan diadain. Saya merasakan sendiri. Aduh kayak yang mau mati karena gelisah kepikiran,” tuturnya.

Foto diedit dan disebarkan ke rekan kerja

Nestapa Cici dialami juga oleh Lala (29), bukan nama sebenarnya. Rumah tangganya berakhir setelah ia terjerat pinjol ilegal. Sebagai ibu, ia terpuruk. Ia merasa telah menjadi ibu yang buruk buat anak semata wayangnya.

Lala sebenarnya tak pernah membayangkan akan terlibat dengan pinjol. Ekonominya terbilang stabil. Ia dan suami (sekarang mantan suami) sama-sama bekerja dengan penghasilan yang cukup. Akan tetapi, tidak ada pengelolaan keuangan rumah tangga. Sebab suaminya, tak mau tahu dengan kebutuhan keluarganya.

”Jerih payah saya adalah jerih payah dia juga, tapi jerih payah dia bukan jerih payah saya. Ada pengkotak-kotakan penghasilan,” katanya.

Suaminya kerap menolak permintaan uang yang lebih dari biasanya. Saat uang yang ada tak cukup untuk memenuhi kebutuhan, Lala harus putar otak untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pendeknya, tidak ada keterbukaan keuangan dalam rumah tangga.

Sampai suatu ketika, Lala dihadapkan pada masalah besar. Emas simpanan yang dipegangnya hilang. Ia tak berani menyampaikan kejadian ini pada suaminya. Suaminya bakal marah besar. Tak berani ambil risiko, ia akhirnya menggunakan layanan pinjol. Awalnya tidak pernah ada masalah. “Saya masih bekerja. Secara bulanan, ibaratnya masih kekejar lah,” katanya.

Belum habis cicilan, anaknya sakit. Kebutuhan keluarga membengkak. Ia jadi tak bisa membayar cicilan pinjol selama dua bulan. Bunganya melonjak tajam. Akhirnya ia ambil pinjaman baru di pinjol lain. Gali lubang tutup lubang, tak terasa ia menggunakan sampai lima aplikasi pinjol. Semuanya aplikasi yang legal.

Ibu terjerat pinjol ilegal
Ibu rumah tangga terjerat pinjol ilegal/Djuli Pamungkas/digitalMamaID

”Itu dia kunci dari jerat pinjol yang benar-benar jahanam banget bagi saya. Jadi ketika pinjol legal, karena merasa dia ada di badan hukum yang resmi dia bisa semena-mena, kaya ‘Ayo cepetan, disamperin ke rumah Anda’, misalkan gitu. Akhirnya saya ke ilegal coba-coba tuh cari-cari di Twitter,” tuturnya.

Pinjol ilegal tidak butuh banyak syarat. Pinjaman bisa langsung cair. Tidak seperti pinjol legal yang memerlukan waktu lebih panjang dan beberapa tahap verifikasi. Hanya saja, bunganya sangat tinggi. Untuk pinjaman Rp 1 juta, uang yang harus dikembalikan sekitar Rp 1,8-1,9 juta.

Biasanya, kata Lala, pinjol ilegal ini memakai nama perusahaan yang aneh. Tidak seperti layanan finansial kebanyakan. Bahkan untuk pembayaran cicilan ada yang menggunakan rekening pribadi. Tampilan aplikasi dan websitenya juga terlihat jadul, sama sekali tidak terlihat profesional. Lantaran kepepet, Lala tak pikir panjang.

Data pribadi Lala pernah disebar hingga ke rekan kerja dan atasan di kantor. Khawatir persoalan membesar, semua tagihan pun dibereskan oleh Lala dengan bantuan keluarga. Jumlahnya sekitar Rp 8 juta. Setelah semua tagihan beres, ia hapus semua aplikasi pinjol dari ponselnya. Tapi ternyata, nestapa itu tak selesai di sana.

Suatu hari di 2021, ia menerima pesan dari aplikasi pinjol yang ia bahkan tak pernah megajukan pinjaman di sana. Pesan itu berisi ia masih punya sisa pinjaman yang telat dibayarkan. Pada pesan tersebut terlampir foto-foto tanpa busana. Bagian wajahnya diedit, diganti dengan wajah Lala. Ada beberapa foto denga pose tidak senonoh.

Saat menerima pesan itu, Lala sedang rapat di kantornya. “Saya panas dingin. Baru selesai si pinjol ilegal terus ada muncul ini. Saya lihat nama si aplikasinya ini saya enggak pernah pinjam,” katanya.

Psikologis Lala langsung hancur lebur. Keluarganya pun ikut khawatir. Yakin tidak bersalah, Lala melaporkan hal ini ke polisi. Dari polsek ia dioper ke cyber crime Mabes Polri. Tapi sampai saat ini tak ada ujungnya.

Lucunya, saat berada di kantor polisi, ia menerima telepon dari pinjol itu. Mengancam akan menyebar foto-foto editan itu jika tak segera membayar. Si penelepon menggunakan logat daerah yang ia baru dengar. Lala tak mau kalah, ia mempersilakan di penelepon berbicara pada polisi langsung. “Dia langsung blokir nomor saya dan aplikasinya langsung tiba-tiba enggak ada di Play Store, sudah hilang,” katanya.

Kehilangan kepercayaan

Urusan pinjol ini tak ayal mengoyak biduk rumah tangganya. Sebagai istri, Lala tak lagi mendapat kepercayaan suami. Saat ada nomor tak dikenal menghubungi, suaminya langsung curiga Lala terlilit pinjol lagi.

Sebagai ibu, Lala kehilangan kepercayaan diri. Bahkan ia sempat terpikir untuk meninggalkan putrinya yang berusia 2,5 tahun. “Ketika saya disudutin pakai pinjol itu, suami menghardik. Terus keluarga terdekat juga bingung mau gimana, saya nggak ada tempat pulang. Di kamar mandi cuma diam. Aduh udah deh, anak gue kasih siapa ya? Itu celetukan kan, tapi ternyata dipikirin gitu. Kayaknya aku sudah enggak cocok deh jadi ibu. Kayaknya gue enggak bisa deh. Anakku masa sih ibunya kayak gini. Kalau dia udah gede, nemu misalkan lagi Googling itu namanya jejak digital. Itu yang saya takutkan banget,” tuturnya.

Ia merasakan trauma mendalam. Sampai hari ini, ia ketakutan setiap ada orang yang memukul pintu gerbang. Ia juga cemas setiap mendengar suara sepeda motor jenis tertentu karena itu yang selalu dipakai oleh para penagih.

Hubungan dengan suami yang tak bisa diperbaiki akhirnya membuat Lala harus mengikhlaskan pernikahannya. Kini ia hidup sebagai ibu tunggal untuk putrinya.

Lala merasakan betul bagaimana pinjol telah merugikan hidupnya. Ia tak ingin jatuh lebih banyak korban. Semestinya, pemangku hukum bisa memberi perlindungan karena nyatanya pengguna pinjol juga korban. Korban dari aplikasi pinjol ilegal yang serampangan menjalankan bisnisnya. Lala merasakan jadi korban pengancaman dan penyebaran data pribadi oleh aplikasi yang tak pernah ia gunakan. “Saya enggak tahu apakah harus ada uangnya baru bisa diurus. Atau harus nunggu viral dulu? Sekarang kan begitu,” ujarnya.

Penyedia aplikasi pinjol juga semestinya lebih realistis dalam menentukan batas pinjaman. Tak peduli apa pekerjaannya, seseorang bisa mendapat pinjaman sampai puluhan juta. “Harusnya pinjolnya ngasih tahu. Kan cuma buruh, masa bisa sampai Rp 20 juta, memang gajinya berapa? Gitu, loh,” ujarnya.

Ia berharap pemerintah, penegak hukum, dan semua yang berwenang bisa lebih peka dalam membuat regulasi terkait pinjol ini. Aturan pemanfaatan pinjol harus diperketat, bukan sekadar formalitas. Akibatnya, masyarakat yang butuh bantuan malah terjerumus jebakan pinjol.

Mereka juga korban

Apa yang dilalui oleh Cici dan Lala sudah tak lagi soal utang-piutang yang bagaimanapun utang harus dibayar. Tapi pada kenyataannya, ada hak-hak mereka yang dilanggar pula. Hidup yang dibayangi ancaman terus-menerus, data pribadi yang disebarkan, bahkan gambar editan tidak senonoh dijadikan alat untuk menakut-nakuti.

Direktur LBH Bandung Heri Purnomo mengatakan, persoalan pinjol ilegal ini tidak bisa dilihat hanya dari kacamata utang piutang semata. “Selama ada pengancaman, didatangi dengan cara keras, pengancaman berlebihan, sampai ada kontak fisik, itu sudah masuk kekerasan. Termasuk penyebaran data pribadi. Itu yang luput dari aparat penegak hukum,” katanya.

Direktur LBH Bandung Heri Purnomo/Djuli Pamungkas/digitalMamaID
Direktur LBH Bandung Heri Purnomo/Djuli Pamungkas/digitalMamaID

Apa lagi secara hukum Indonesia punya UU Perlindungan Data Pribadi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang semestinya bisa digunakan untuk melindungi para korban pinjol ilegal ini.

Akses finansial yang tidak setara

Keterlibatan perempuan di sektor perekonomian menyumbangkan banyak keuntungan bagi komunitas, keluarga, dan negara. Namun, potensi tersebut belum didukung secara lebiih  sistematis untuk meningkatkan akses, perlindungan, dan informasi yang memadai. Saat pandemi lalu banyak perempuan yang akhirnya tampil menjadi tulang punggung, ikut berkontribusi dalam perekonomian rumah tangga bahkan perekonomian Indonesia yang sedang morat-marit.

Namun, kenaikan inflasi membuat daya beli menurun. Sehingga lagi-lagi perempuan ikut memutar otak, mencari jalan keluar agar kebutuhan-kebutuhan keluarganya terpenuhi. Karena tidak ada pilihan, banyak perempuan terdesak menggunakan pinjaman online (pinjol).

Data menunjukkan banyak anak muda dan sebagian besar perempuan yang terjerat pinjol. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga April 2024, outstanding pinjaman online(pinjol) yang berasal dari perorangan tercatat sejumlah Rp 57,35 triliun, yang didominasi oleh gender laki-laki dengan total outstanding pinjaman sebesar Rp25,78 triliun dan perempuan sebesar Rp 31,57 triliun. Angka ini sekaligus menunjukkan pinjaman yang tidak bermasalah.

Jika dilihat dari usia peminjam, total outstanding dari perorangan sebesar Rp 57,35 triliun. Generasi Z mendominasi dengan total outstanding Rp28,86 triliun. Dari sisi kredit macet atau menunda pembayaran lebih dari 90 hari, generasi Z mendominasi dalam kredit macet dari total outstanding pinjol dengan total Rp 667,10 miliar.

Menurut Ressa Ria, Founder Samahita Foundation hal ini terjadi karena masalah akses terhadap sumber ekonomi yang legal dan aman. “Kalau kita ngomongin perempuan sebagai ibu rumah tangga kan terbatas aksesnya, akses terhadap ekonominya. Ada yang mungkin dia dilarang bekerja oleh suami, jadi benar-benar menggantungkan secara ekonomi kepada suaminya. Dia nggak punya sumber pendanaan lain selain dari  pemberian suami,” tuturnya.

Saat menyelesaikan studi sarjana di Atropologi Universitas Padjadjaran pada 2015, Ressa membuat penelitian yang berjudul “Jasa Renternir Sebagai Strategi Ibu Rumah Tangga dalam Pemenuhan Kebutuhan Rumah Tangga”. Pada riset tersebut, ia melakukan studi kasus di lima keluarga kelompok menengah ke bawah di Kota Bandung. Riset ini dilakukan sebelum era pinjol menyebar luas.

Founder Samahita Foundation Ressa Ria/Djuli Pamungkas/digitalMamaID
Founder Samahita Foundation Ressa Ria/Djuli Pamungkas/digitalMamaID

Kebanyakan mereka meminjam bukan untuk kebutuhan pribadi tetapi untuk kebutuhan rumah tangga, seperti beli sembako dan bayar sekolah. “Di beberapa kasus, ketika misalkan suaminya memberi uang Rp 50.000 seminggu, pokoknya itu harus cukup untuk seluruh kebutuhan rumah tangga. Nah, yang mana seringkali itu tidak realistis, untuk belanja makan, anak jajan, dan lain-lain,” ungkapnya ketika ditemui di Bandung pada April lalu.

Seringkali suami merasa sudah memberikan nafkah, tidak peduli apakah cukup atau tidak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kemudian istri dianggap bertanggung jawab istri mengatur agar nafkah tersebut cukup.

“Masalahnya kan sebenarnya  kebutuhannya tetap ada. Akhirnya banyak perempuan yang diam-diam mengakses pinjol. Jadi memang kemampuan atau keberdayaan perempuan secara ekonomi, kemandirian secara finansial itu juga jadi salah satu faktor, kenapa perempuan banyak yang terjerat  pinjaman online,” jelasnya.

Perempuan sulit mengakses layanan pinjaman keuangan yang legal dan aman. Belum lagi persyaratan mengajukan pinjaman dana sangat berbeda dengan ketika laki-laki yang mengajukan pinjaman. Hal serupa juga diungkapkan oleh Nila Murti, selaku National Project Manager, Assist UNDP (United Nations Development Programme) Indonesia, perempuan masih menghadapi kendala-kendala mengakses layanan finansial.

“Masih belum diperlakukan secara sama gitu. Kadang kita masih suka mendapatkan kasus-kasus kalau perempuan misalnya mau mengajukan pinjaman itu syaratnya, misalnya harus mendapatkan persetujuan dulu dari suami. Padahal kalau suami mungkin mencari pinjaman nggak perlu sepengetahuan istri, bisa jadi seperti itu,” tutur Nila.

Layanan yang disediakan perbankan juga masih terbatas. Meskipun sekarang bank mempunyai produk Kredit Tanpa Agunan (KTA), nyatanya tidak semua bisa mengaksesnya.

“KTA itu dikasihnya ke siapa, ke orang-orang yang sebetulnya sudah punya kartu kredit atau sudah punya sejarah pinjaman di bank. Bank akan lebih confidence karena tahu track record-nya. Nah, tapi buat orang-orang yang mungkin penghasilannya tidak menentu karena dia di sektor informal, dia nggak punya slip gaji misalnya, ini bagaimana akses pembiayaannya,” papar Nila.

Pada banyak layanan pinjaman keuangan di bank perlu adanya jaminan aset. Ressa mengatakan, biasanya kepemilikan aset keluarga dimiliki oleh kepala rumah tangga. Misalnya saja BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor) motor, sertifikat rumah biasanya atas nama suami.

Perlunya literasi finansial

Bagi Ressa yang perlu jadi catatan penting adalah pemberdayaan perempuan secara ekonomi itu harus jelas, kemudian bagaimana perempuan bisa mengakses pinjaman yang legal dan aman. Adanya peningkatan kapasitas terkait literasi finansial dan literasi digital terhadap perempuan.

“Jadi enggak bisa hanya satu strategi saja gitu, tapi perlu ada satu paket  pemecahan masalah. Pemberdayaannya jalan, edukasi literasi finansial sama literasi digitalnya juga harus jalan, dan juga akses perempuan kepada sumber ekonomi harus dipermudah,” tuturnya.

UNDP pun setuju untuk membangun literasi perempuan terhadap akses pembiayaan. “Tetapi, kita tidak hanya ingin fokus pada membuka akses pembiayaan aja tetapi juga membangun kapasitas para perempuan-perempuan ini untuk melakukan pengelolaan terhadap dananya itu sendiri. Kemudian juga membangun literasi, ketika dia mengakses layanan finansial itu tadi kira-kira apa saja sih yang harus dipertimbangkan, pertanyaan-pertanyaan apa yang harusnya dia tanyakan kepada si penyedia pembiayaan itu. Dia tidak seperti membeli kucing dalam karung. Jadi dia tidak tahu, tiba-tiba dia terjebak,” kata Nila.

Menurut Nila, literasi finansial yang diberikan itu termasuk juga pengetahuan terkait investasi. Saat ini ada beragam bentuk investasi. Sebagian masyarakat sudah tahu beberapa bentuk investasi tradisional, seperti membeli emas karena lebih mudah dicairkan dibandingkan berupa tanah atau rumah.

“Ada opsi lain dari investasi seperti reksadana, beli sukuk negara, atau beli saham misalnya. Saya rasa itu juga menjadi salah satu topik yang bisa dimasukkan dalam literasi finansial. Tidak hanya terkait dengan opportunity, risk  tetapi, juga opsi-opsi apa aja sih yang bisa mereka ambil ketika mereka misalnya membutuhkan keuangan atau sisi finansial yang mendesak gitu,” katanya.

Ibu kerap menanggung beban keuangan rumah tangga. Saat keluarga kekurangan uang, ia yang putar otak memenuhi kebutuhan keluarga. Ketika keliru langkah, perempuan disalahkan. Tak ada jalan lain, perempuan harus berdaya! (Catur Ratna Wulandari) [*]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

ORDER MERCHANDISE

Bingung cari konten yang aman untuk anak?
 
Dapatkan rekomendasi menarik dan berikan pendapatmu di Screen Score!
Ilustrasi melatih anak bicara/Bukbis Ismet Candra Bey/digitalMamaID