digitalMamaID – Setelah mengadopsi etika penggunaan AI (Artificial Intelligence), Indonesia kembali bekerja sama dengan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Indonesia sedang menanti hasil penilaian kesiapan pemanfaatan AI atau kecerdasan buatan.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria menjelaskan, penilaian ini dilakukan dengan menggunakan Artificial Intelligence Readiness Assessment Methodology (RAM AI). Program bekerja sama dengan UNESCO masoh dalam rangka membangun tata kelola pemanfaatan AI di Indonesia.
“Pekan depan kita akan dapatkan hasilnya. Ini akan jadi dokumen yang penting, menilai kesiapan AI di Indonesia. Mulai dari infrastrukturnya, pengembangan, sampai ke dampaknya pada sosial, ekonomi, dan budaya seperti apa,” kata Nezar saat menghadiri Pra Rural ICT Camp 2024: Konektivitas Pedesaan dan Ketahanan Iklim yang digelar oleh Common Room di Hotel Malaka, Kota Bandung, Kamis, 26 September 2024.
Soal kesiapan menghadapi teknologi AI ini menjadi diskusi yang masih terus bergulir. Saat ini, pengaturan AI di Indonesia bersandar pada aturan-aturan yang sudah ada, antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Pengaturan-pengaturan ini, kata Nezar, diharapkan bisa mengawal inovasi kecerdasan buatan yang semakin pesat.
Langkah ini merupakan lanjutan dari kerja sama dengan UNESCO sebelumnya yaitu adopsi etika penggunaan AI. Kebijakan soal ini dituangkan dalam Surat Edaran Menkominfo Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial.
Pemikiran kritis
Pendiri ICT Watch yang juga Ketua Umum Siberkreasi Donny B.U. mengatakan, temuan di lapangan yang mulai diperkuat dengan hasil riset menunjukkan upaya menghubungkan suatu daerah dengan internet bisa menimbulkan dampak di kemudian hari. “Salah satunya karena akses informasi banyak anak mudanya yang ingin meninggalkan desanya karena tahu di luar sana ada yang ramai,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia menekankan, tidak cukup untuk membuat masyarakat bisa menggunakan teknologi saja. Penting juga untuk membangun pemikiran kritis. “Tidak bisa naruh internet doang, harus ada upaya lain yang dilakukan,” ujarnya.
Koordinator Program Common Room Ressa Ria Lestari mengatakan, mengukur dampak internet perlu waktu yang panjang. Melalui Sekolah Internet Komunitas, Common Room menjangkau banyak daerah terpencil untuk membuka akses terhadap internet.
“Terkait kekhawatiran tadi, justru beberapa melihat setelah ada internet jadi ada lapangan kerja baru. Secara simultan dampak positif itu terbentuk ketika mereka tahu punya kesempatan yang sama tanpa harus keluar dari desanya,” tuturnya.
Upaya menghadirkan internet di desa itu, kata Ressa, hanyalah pemantik. Selanjutnya, masyarakat bisa menentukan akan dimanfaatkan untuk apa internet tersebut.
Rural ICT Camp 2024
Rural ICT Camp merupakan kegiatan tahunan yang diinisiasi oleh Common Room sejak tahun 2020. Progra ini menggandeng beberapa lembaga dan komunitas pegiat internet seperti Relawan TIK dan ICT Watch. Inisiatif ini dikembangkan sebagai salah satu strategi untuk mengatasi tantangan kesenjangan digital di wilayah pedesaan dan tempat terpencil di Indonesia.
Di tahun kelima ini, Rural ICT Camp akan digelar di Ciracap, Kabupaten Sukabumi pada 7-11 Oktober 2024. Di daerah tersebut terdapat lima desa binaan Common Room.[*]