digitalMamaID – California baru saja mengambil langkah signifikan dalam melindungi hak-hak finansial anak-anak yang menjadi bintang di dunia digital. Dengan menandatangani dua undang-undang baru, negara bagian di Amerika Serikat ini memastikan sebagian dari penghasilan influencer atau content creator anak akan disimpan dalam rekening khusus hingga mereka dewasa. Sebuah langkah penting untuk mencegah eksploitasi anak.
Dikutip dari CBS News, undang-undang baru itu ialah AB 1880 dan SB 764. AB 1880 merupakan pembaruan dari Undang-Undang Coogan yang telah ada sejak puluhan tahun lalu. Undang-undang ini awalnya dibuat untuk melindungi aktor cilik seperti Jackie Coogan yang kehilangan sebagian besar penghasilannya akibat eksploitasi orang tua dan manajer.
Menyisihkan 15 persenMonket
Kini, undang-undang tersebut diperluas cakupannya untuk mencakup anak-anak yang menghasilkan uang melalui platform digital seperti YouTube, Instagram,dan TikTok. Undang-undang ini mewajibkan 15 persen dari pendapatan kotor disisihkan ke rekening khusus hingga para aktor atau pembuat konten anak ini dewasa.
Sedangkan SB764 merupakan aturan yang memberikan perlindungan hukum dan finansial bagi anak-anak yang muncul dalam konten berbayar atau konten yang dimonetisasi. Orang tua atau wali anak-anak ini diwajibkan untuk menyisihkan sebagian dari pendapatan yang dihasilkan dari konten tersebut ke rekening khusus. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan dana oleh orang dewasa dan memastikan bahwa anak-anak mendapatkan bagian yang adil dari penghasilan mereka.
“Rancangan undang-undang ini mensyaratkan pembuat konten untuk menyimpan catatan yang mencakup, antara lain, jumlah konten yang menghasilkan pendapatan dan jumlah uang yang disetorkan ke rekening khusus. Catatan ini harus diberikan kepada anak tersebut setiap bulan,” demikian bunyi undang-undang tersebut. Regulasi baru itu juga menegaskan, anak tersebut berhak untuk menuntut jika ketentuan ini tidak dipenuhi.
Cegah ekspolitasi finansial
Dunia influencer anak telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak anak-anak yang menghasilkan pendapatan besar melalui platform media sosial. Namun, di balik kilau dan glamornya, terdapat risiko eksploitasi finansial. Anak-anak ini sering kali tidak memiliki kendali atas uang yang mereka hasilkan dan bergantung pada orang tua atau manajer mereka untuk mengelola keuangan mereka.
Undang-undang baru di California ini diharapkan dapat mencegah terjadinya eksploitasi tersebut. Dengan adanya rekening khusus, anak-anak akan memiliki akses ke uang mereka sendiri ketika mereka dewasa. Hal ini akan memberikan mereka kebebasan finansial dan kemandirian yang lebih besar.
“Banyak yang telah berubah sejak masa-masa awal Hollywood, tetapi di sini di California, fokus utama kami pada perlindungan anak-anak dari eksploitasi tetap sama. Di Hollywood lama, aktor anak dieksploitasi. Pada tahun 2024,sekarang influencer anak. Hari ini, eksploitasi modern itu berakhir melalui dua undang-undang baru untuk melindungi influencer muda di TikTok, Instagram, YouTube, dan platform media sosial lainnya,” kata Gubernur California Gavin Newsom seperti dikutip dari situs resmi pemerintah California.
Saat menandatangani dua undang-undang baru tersebut, Newsom didampingi oleh Demi Lovato. Lovato sudah sejak lama turut memperjuangkan hak-hak aktor anak. Ia tengah mempersiapkan dokumenter berjudul “Child Star” yang menampilkan Drew Barrymore dan bintang-bintang lainnya yang tumbuh dewasa di bawah sorotan.
“Untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi berikutnya dari bintang-bintang cilik, kita perlu menempatkan perlindungan untuk anak di bawah umur yang bekerja di ruang digital. Saya berterima kasih kepada Gubernur Newsom karena mengambil tindakan dengan pembaruan Undang-Undang Coogan ini yang akan memastikan anak-anak yang ditampilkan di media sosial diberikan agensi ketika mereka dewasa dan dikompensasi dengan benar untuk penggunaan nama dan kemiripan mereka,” tuturnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Platform digital telah melahirkan bintang baru, termasuk anak-anak. Fenomena ini tidak terkecuali di Indonesia. Akun yang kontennya menampilkan anak-anak punya pengikut yang besar. Shabira Alula Adnan atau Lala, Abe Cekut, Mazaya. Belum lagi anak-anak para selebriti yang turut wira-wiri di konten orang tuanya. Sebut saja Rafathar dan Rayyanza (Cipung), anak Raffi Ahmad dan nagita Slavina; Ameena, anak dari Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah; Moana, anak dari Ria Ricis; dan masih banyak lagi. Banyak orang merasa terhibur dengan aksi mereka yang terekam di media sosial.
Kehadiran bintang cilik ini bukan kali ini saja. Sebelum era media sosial, artis cilik sudah menghiasi layar kaca. Kisah pilu bintang cilik yang kehilangan hasil kerjanya juga sudah terjadi. Baru-baru ini, Baim Alkatiri atau yang dikenal dengan Baim Cilik mengungkap kemelutnya dengan ayah kandung yang menelantarkannya. Baim yang semasa kecil menjadi bintang sinetron itu tidak pernah mencicipi jerih payahnya sejak kecil. Uang hasil kerja dikuasai ayah yang kini meninggalkannya. Kini ia harus berjuang membiayai sekolah dan bertahan hidup.
Anak-anak yang menghasilkan uang punya risiko seperti pengalaman Baim Cilik. Itu sebabnya perlu aturan yang bisa memberi perlindungan finansial bagi anak-anak seperti yang dilakukan oleh pemerintah California. Sampai saat ini, Indonesia belum mempunyai aturan seperti ini.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Dr. Syafrida Febriyanti berpendapat, aturan yang diterapkan di California untuk melindungi anak-anak sebagai konten kreator merupakan langkah penting untuk mengatasi eksploitasi anak di era digital.
“Indonesia juga perlu aturan semacam itu mengingat semakin banyak anak-anak yang saat ini telah menjadi selebriti di media digital, baik yang berdasarkan keinginan si anak maupun berdasarkan hasrat para orang tuanya,” katanya saat dihubungi digitalMamaID Senin, 30 September 2024.
Aspek perlindungan anak
Ia mengatakan, fenomena YouTuber anak-anak, selebgram anak-anak, TikTokers anak-anak dan lainnya, memunculkan berbagai eksploitasi anak. “Contohnya berupa pengelolaan finansial yang tidak transparan, anak-anak yang dipaksa on camera saat sahur (dini hari), hingga orang tua atau orang dewasa yang menampilkan anak-anak tanpa izin pada konten mereka,” tutur dosen yang akrab disaba Feby.
Meski orang tua secara hukum berhak mengelola konten tersebut, anak-anak belum memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan penuh. Anak belum memahami implikasinya. Menurut Feby, hal ini membuka ruang bagi potensi eksploitasi, baik secara emosional maupun finansial. Apalagi jika konten tersebut menghasilkan pendapatan besar.
Sebenarnya Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014). Akan tetapi, aturan ini belum secara spesifik mencakup anak-anak yang bekerja di dunia digital, seperti media sosial. Belum ada regulasi yang jelas terkait jam kerja, pengelolaan finansial, atau perlindungan mental dan fisik bagi anak-anak selebritas digital.
“Tanpa regulasi yang memadai, anak-anak di Indonesia berisiko dieksploitasi, baik secara finansial maupun emosional. Jika pemerintah Indonesia menerapkan regulasi serupa seperti yang di California tersebut, maka akan bisa membantu melindungi hak-hak anak dalam industri digital. Ini bisa mencegah penyalahgunaan posisi mereka,” katanya.
Ia menambahkan, perlindungan terhadap anak sebagai konten kreator harus mencakup banyak aspek. Aspek-aspek penting yang sebaiknya diatur mencakup jam kerja yang wajar, transparansi finansial, dan hak-hak pendidikan. [*]