digitalMamaID – Tantangan global yang semakin meningkat dan kompleks dewasa ini, memicu perubahan besar dalam berbagai sektor, termasuk sektor keuangan. Sektor ini komersial yang berorientasi profit bergerak menuju keuangan berkelanjutan (sustainable finance).
Sustainable finance merujuk pada keuangan yang mempertimbangkan dimensi-dimensi sosial, lingkungan hidup dan tata kelola beserta dampaknya. Perubahan dan pertumbuhan yang lebih bertanggung jawab ini diharapkan bisa mendorong pencapaian pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Pendanaan Hijau
Melansir dari UNDP tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) juga dikenal sebagai tujuan global, diadopsi oleh PBB pada tahun 2015 sebagai seruan universal untuk bertindak guna mengakhiri kemiskinan, melindungi bumi dan memastikan bahwa pada tahun 2030 semua orang menikmati perdamaian dan kesejahteraan. Indonesia sendiri berfokus pada 7 dari 17 tujuan SDGs yaitu mengakhiri kemiskinan, nol kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, kesetaraan gender, ekosistem lautan, kemitraan untuk mencapai tujuan, dan industri, inovasi dan infrastruktur.
Manajer Proyek Nasional dari United Nations Development Programme (UNDP) di Indonesia, Nila Murti mengatakan, untuk mendorong pencapaian pembangunan berkelanjutan (SDGs) di Indonesia, kegiatan UNDP banyak mendukung pemerintah dalam membantu implementasi instrumen-instrumen pembiayaan berkelanjutan.
“Ada banyak instrumen yang sudah kita coba exercise, seperti obligasi tematik, diantaranya SDG bond, green sukuk, dan kemarin di tahun 2023 ada blue bond. Kemudian kita juga support-nya tidak hanya ke pemerintah tetapi juga ke private sector, karena kami melihat peluang yang cukup besar dari private sector untuk bisa berkontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan,” ungkapnya ketika diwawancarai digitalmamaID pada Mei 2024.
UNDP juga memperkenalkan bagaimana prinsip-prinsip pembiayaan berkelanjutan kepada private sector. Dengan demikian mereka bisa mempertimbangkan dimensi-dimensi lingkungan, sosial, ekonomi dan tata kelola ke dalam proses pengambilan keputusan untuk melakukan investasi atau membiayai sebuah proyek. “Kami berusaha untuk memobilisasi pembiayaan baik publik maupun swasta untuk mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan atau SDGs,” lanjutnya.
Perempuan dan UMKM
Sektor UMKM di Indonesia telah menjadi tulang punggung ekonomi negara saat diserang pandemi, baik UMKM formal maupun nonformal berkontribusi besar dalam menjaga ketahanan ekonomi Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hampir 64% UMKM yang ada di Indonesia itu dipimpin atau dimiliki oleh perempuan. Mulai dari usaha mikro sampai menengah, keterlibatan aktivitas perempuan dalam sektor ekonomi semakin meningkat. UNDP melihat ini sebagai sebuah kesempatan sekaligus berisiko jika tidak dibarengi dengan literasi.
“Kami melihat ini sebagai opportunity yang bagus tetapi perlu diperhatikan adanya risiko-risiko yang dihadapi. Masih ada kendala-kendala misalnya access to finance, masih belum diperlakukan secara sama. Kadang kita masih mendapatkan kasus-kasus di mana kalau perempuan misalnya mau mengajukan pinjaman itu syaratnya harus mendapatkan persetujuan dulu dari suaminya. Padahal jika suami mencari pinjaman tidak perlu sepengetahuan istri,” ungkapnya.
Kasus-kasus seperti ini masih terjadi, untuk itu menurutnya penting membangun literasi perempuan terhadap akses pembiayaan. Tetapi tentunya dengan adanya akses pembiayaan yang sekarang ini terbuka cukup lebar, baik pembiayaan formal dan juga non formal. Perempuan-perempuan harus bisa mempertimbangkan dampak atau hal-hal yang perlu dipertimbangkan ketika akan melakukan atau mendapatkan akses terhadap pembiayaan.
Jadi tidak hanya fokus pada membuka akses pembiayaan saja tetapi, juga membangun kapasitas perempuan supaya mampu mengelola dananya sendiri. Kemudian juga membangun literasi. “Karena sebetulnya kalau saya pribadi berpikir bahwa financial literacy itu penting. Jadi ketika ada sebuah fasilitas pembiayaan, dia harus tahu sebetulnya apa yang diberikan dari si fasilitas pembiayaan ini. Jangan asyik dapatnya di depan, ternyata yang harus dia kembalikan itu besar apalagi kalau misalnya bunganya harian,” jelasnya.
Memperkuat Pengusaha Perempuan di Indonesia
Di Indonesia, UNDP memiliki fokus untuk memperkuat kapasitas institusi yang berhubungan dengan kewirausahaan dan para pengusaha, termasuk perempuan. Salah satunya adalah program akselerator yang didesain khusus untuk pengusaha perempuan. Pesertanya difokuskan untuk start up atau UMKM yang memang dipimpin atau didirikan oleh perempuan.
“Pada saat nanti kita berikan capacity building, itu kan series, ada yang kita bangun kapasitas terkait dengan bisnis model. Bagaimana menyusun bisnis model yang baik, kemudian finansial, kemudian juga marketing, marketing strategy. Jadi programnya cukup panjang. Kami juga mencoba untuk membangun kapasitas mereka terkait dengan impact. Jadi bagaimana mereka menyadari kegiatan mereka itu berkorelasi atau berkontribusi terhadap tujuan pembangunan yang mana, itu kita juga bangun,” paparnya.
Lebih lanjut ia memaparkan, UNDP memiliki pakar impact advisory yang bisa menilai dan mengelola dampak dari kegiatan bisnis rintisan atau UMKM yang memang mengacunya lebih banyak ke tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
“Kami juga memberi mereka kesempatan untuk pitch sharing dengan sesama atau peer-nya. Kami pertemukan di dalam satu batch itu, kemarin pesertanya kurang lebih ada 26 peserta. Jadi mereka bisa sharing, kemudian juga kami hadirkan mentor-mentor yang expert di bidangnya untuk membantu mereka dalam mengembangkan bisnis mereka,” jelasnya.
Tahun 2023 lalu, UNDP juga melaksanakan program yang diberi nama Blue Finance Accelerator. Program ini berfokus di sektor maritim. Mengidentifikasi usaha-usaha masyarakat, baik startup maupun UMKM, yang bergerak di sektor biru. Misalnya usaha yang berkaitan dengan perikanan, coastal kemudian waste management. Di akhir program, para peserta bertemu dengan investor potensial dalam business matchmaking. Dari sesi tersebut, beberapa peserta berhasil berkolaborasi, baik dalam menjalin ekspansi bisnis, ataupun penjajakan investasi.
“Tetapi, memang kalau fasilitasi investasi agak susah-susah gampang karena kita harus memenuhi appetite dari si investor. Apakah si startup dan UMKM ini memenuhi appetite mereka atau tidak. Nah, kalau tidak cocok, kita juga tidak bisa memaksa tapi paling tidak secara kapasitas kita sudah bangun,” paparnya.
Meningkatnya kapasitas pelaku usaha diharapkan mampu membuat strategi bisnis yang baik. Selanjutnya, mereka bisa mengukur dan mengelola dampak usahanya dengan baik. Pada akhirnya, kemampuan tersebut diharapkan bisa membuka berbagai peluang pendanaan bagi pelaku usaha ini.
Potensi Indonesia Timur dalam Memberikan Solusi Lewat Kewirausahaan
Salah satu peserta Blue Finance Accelerator lalu ialah Komodo Water. Bisnisnya fokus pada penyediaan sumber air yang berkelanjutan dan juga pengelolaan air melalui teknologi terbarukan di Indonesia Timur.
Di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur masih sulit bisa menjangkau air bersih dan listrik. Komodo Water membuat solar water pump, yang fungsinya memompa air menggunakan tenaga matahari.
“Nah ini kemudian diidentifikasi sebagai sebuah bisnis oleh salah satu startup, Komodo Water. Mereka mencoba untuk mengembangkan itu, kami melihat ini sebagai sebuah inisiatif yang sangat bagus, apalagi dia memang fokusnya di provinsi atau di daerah yang memang prioritas untuk pembangunan,” tutur Nila.
Semakin menggembirakan karena usaha ini diinisiasi oleh perempuan. Upaya-upaya seperti ini mendapat perhatian besar dari UNDP Indonesia.
Indonesia Timur memang masih mengalami kendala akses komunikasi dan informasi akibat kendala listrik dan internet. Akan tetapi, kendala-kendala tersebut jangan sampai menutup akses terhadap kesempatan-kesempatan lain yang semestinya bisa mereka dapatkan. Nila mengakui, belum ada model tertentu yang spesifik untuk akselerator program di sana. Jika dari skala bisnis, targetnya baru di level-level ide atau uji coba.
“Kita bisa mulai membangun interest dulu, minat dulu, memberitahukan bahwa ini ada peluang. Saya rasa sih pasti di sana banyak potensi yang bisa kita maksimalkan tetapi memang kadang informasinya itu mungkin tidak terpapar. Nah ini yang mungkin next time-nya bisa kita perbaiki makanya kami berusaha untuk bekerja bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) karena mereka kegiatannya sudah pasti sampai ke pelosok juga memenuhi mandatnya mereka,” ungkapnya.
Harapannya mudah-mudahan teman-teman di Indonesia Timur bisa membangun kepercayaan diri, memiliki ide dan membangun startup. Jika bicara “biru”, Indonesia Timur punya banyak potensi dibanding Jawa. Mereka bisa menjadi penggerak di sektor ekonomi biru. [*]
Arikel ini diproduksi sebagai bagian dari proyek Women Media Collabs didukung oleh UNDP Indonesia