digitalMamaID – Linimasa media sosial dibanjiri template Garuda Pancasila berlatar biru tua bertuliskan “Peringatan Darurat”. Unggahan yang terinspirasi dari sistem kedaruratan nasional Amerika Serikat tersebut muncul sebagai protes juga bentuk perlawanan netizen setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dengan tergesa-gesa merevisi dan mencoba menganulir dua pasal Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Senin, 20 Agustus 2024.
Adapun dua putusan penting MK saat itu adalah pertama, putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Di dalam putusan ini, MK menyebut bahwa partai politik atau gabungan partai politik serta Pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah walaupun mereka tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ambang batas Pilkada ditentukan dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemillu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu 10%, 8,5%, 7,5% dan 6,5% sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.
Kedua, adalah putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian syarat batas usia calon kepala daerah yang diatur Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. MK menolak permohonan dua mahasiswa, Fahrur Rozi dan Anthony Lee, yang meminta MK mengembalikan tafsir syarat usia calon kepala daerah sebelum adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024. Adapun, putusan MA tersebut berhubungan dengan perubahan syarat usia calon kepala daerah menjadi saat pelantikan calon terpilih. Sebelumnya, syarat terkait berlaku saat penetapan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Rakyat bersuara
Namun, alih-alih mematuhi, Baleg DPR justru memilih mengadopsi putusan Mahkamah Agung (MA) sehingga batas usia calon kepala daerah ditentukan saat pelantikan calon terpilih. Kemudian DPR juga menyepakati apabila perubahan syarat ambang batas pencalonan Pilkada hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Sementara partai yang mempunyai kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20% kursi DPRD atau 25% suara pemilu sebelumnya. Hal tersebut jelas bertolak belakang dengan putusan MK.
Kondisi ini mengundang keprihatinan dan kesesakan yang mendalam bagi Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) yang menilai bahwa terjadinya Krisis Konstitusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini akibat dari pembangkangan DPR yang telah secara arogan dan vulgar, mempertontonkan pengkhianatan mereka terhadap konstitusi.
“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat bagi semua, termasuk semua lembaga tinggi negara. Pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dengan mengabaikan putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan No.70/PUU-XXII/2024 sehari setelah diputuskan, nyata-nyata DPR sangat menciderai sikap kenegarawanan yang dituntut dari para wakil rakyat,” papar DGB UI melalui siaran pers, Kamis, 22 Agustus 2024.
Lebih lanjut, DGB UI menyatakan tidak ada dasar filosofis, yuridis, maupun sosiologis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengubah persyaratan usia calon kepala daerah termasuk besaran kursi parpol melalui revisi UU Pemilihan Kepala Daerah.
Menginjak kedaulatan rakyat
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memberi pernyataan sikap senada dengan DGB UI. DPR layaknya seperti kelompok sirkus yang menginjak-injak kedaulatan rakyat dengan memainkan pementasan tirani parlemen. Tidak lain hanya untuk mengakomodir kepentingan aliansi penerus “Rezim Orde Baru”, Prabowo Subianto dan dinasti politik Presiden Jokowi. Langkah itu dilakukan melalui revisi kilat UU Pilkada maupun agenda revisi UU lain yang inkonstitusional demi mengusung putranya Kaesang Pangarep sebagai pasangan kepala daerah dan calon tunggal di Jakarta.
“Gerak cepat di parlemen dapat ditebak. Beberapa waktu ke belakang, koalisi partai politik yang dikomandoi oleh Prabowo dan Presiden Jokowi berusaha untuk membangun koalisi gemuk untuk menghadapi Pilkada 2024. Membuka kemungkinan besar pasangan yang mereka usung bertarung dengan kotak kosong dan calon boneka. Kali ini, ketika terdapat putusan MK yang mencoba untuk menyeimbangkan ruang demokrasi di parlemen, koalisi tersebut berbondong-bondong untuk menjegalnya,” tulis YLBHI dalam rilisnya.
Kolaborasi keserakahan ini sejatinya telah membajak tiga pilar demokrasi. Sepuluh tahun berkuasa, rezim di bawah komando Jokowi telah benar-benar secara culas menunjukkan praktek manipulasi demokrasi dan negara hukum. Saat ini, rencana pengabaian dan manipulasi putusan MK sudah disepakati oleh Baleg, Pemerintah, dan DPD. YLBHI meminta DPR dan Presiden Jokowi menghentikan pembahasan Revisi UU Pilkada. YLBHI juga meminta agar DPR mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Sesungguhnya masih lekat diingatan masyarakat bagaimana manipulatif dan akal-akalannya meloloskan berbagai perubahan aturan Pilkada. Pelanggaran hukum dan pelanggaran etika yang terstuktur, sistematis dan masif demi melanggengkan dinasti politik keluarga terpampang nyata. Kali ini, netizen berteriak lantang melawan. Hak politiknya diteriakkan di linimasa. Pembangkangan dan kekuasaan tanpa kontrol ini jelas harus dihentikan demi mengembalikan kedaulatan rakyat, demokrasi di Indonesia.
Aksi protes netizen di internet dengan mengunggah ”Peringatan Darurat” bergulir sejak Rabu, 21 Agustus 2024. Banyak tokoh dengan pengikut besar di media sosial mengunggah gambar dan videonya. Beberapa nama diantaranya Raditya Dika, Ernest Prakasa, Panji Pragiwaksono, Kalis Mardiasih, Najwa Shihab, dan masih banyak lagi. Bahkan akun base yang tidak membahas politik pun kini turut menyuarakan hak politiknya. Mereka menyerukan perlawanan pada situasi politik Indonesia.
”Peringatan Darurat” yang disuarakan lewat media sosial berhasil membuat masyarakat turun ke jalan. Aksi unjuk rasa menolak langkah DPR ini terjadi di berbagai kota di Indonesia. Mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan lain-lain.[*]