digitalMamaID – Kondisi kesehatan mental anak muda semakin menurun. Melatih emosi anak menjadi semakin penting dilakukan. Berikut beberapa hal yang perlu Mama ketahui untuk melatih emosi anak!
Menurut Daniel Goleman, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Mengapa emosi penting? Menurut Psychological Science, otak emosi merupakan bagian pertama yang terbentuk dalam janin. Emosi adalah yang pertama kali diserap bayi sejak dalam kandungan. Otak emosi janin menyerap banyak hal dari ibu dan mampu memberikan respon sederhana.
Emosi dan kesehatan mental
Penelitian National Institute of Health (NIH) mengungkapkan, salah satu penyebab penyakit tidak menular adalah masalah kesehatan mental atau tentang pengelolaan emosi. Contohnya, penyakit jantung dsebabkan karena kemarahan yang dipendam, atau penyakit kanker karena kesedihan yang dipendam, dan sebagainya.
Berdasarkan catatan BPS (Badan Pusat Statistik), kesehatan anak muda Indonesia kian memburuk dalam 6 tahun terakhir ( 2016-2021) yaitu sebesar 21,24% pada tahun 2021. Ini berarti semakin hari angka keluhan kesehatan anak muda baik fisik maupun mental semakin menurun.
“Selama bertahun-tahun manusia lebih fokus ke tubuh dan pikiran, sedangkan batin sering diabaikan. Padahal batin yang paling awal terpapar ketika ada sesuatu terjadi pada seseorang. Di sinilah pentingnya peran orangtua dalam hal pengelolaan dan melatih emosi anak,” ungkap Lusy Sutedjo, Co-Founder School of Parenting dalam seminarnya yang berjudul Menjadi Pelatih Emosi Anak, 4 Mei 2024 di Gedung Tiga Serangkai Smart Office, Surakarta.
Pentingnya melatih emosi anak
Menurut Lusy, ada banyak manfaat dari meregulasi atau melatih emosi anak, antara lain :
1. Resiliensi (emotional agility)
Anak mampu mengelola emosinya, mengatasi dan beradaptasi dengan kejadian berat yang terjadi dalam kehidupan.
2. Kemampuan sosial lebih baik
Dapat menjalin komunikasi dan hubungan lebih sehat dan lebih kecil kemungkinan terlibat dalam toxic relationship, tidak menjadi seorang people pleasure hingga mengabaikan diri sendiri.
3. Kemampuan problem solving
Anak dapat mengatasi persoalan emosi yang berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain.
4. Kemampuan akademik lebih baik
Anak yang mampu meregulasi emosi akan lebih tenang dan fokus dalam belajar.
Sebaliknya, emosi yang tidak diregulasi dengan baik akan berdampak pada anak. Apa saja akibatnya?
1. Agresivitas
Anak kesulitan mengekspresikan emosinya cenderung akan bersikap agresif.
2. Sering terlibat dalam hubungan tidak sehat dan sulit menjalin hubungan sosial
Karena anak tidak tahu kebutuhannya sendiri, tidak memahami diri sendiri sehingga cenderung mudah terluka, mudah merasa disakiti, dan seringkali menjadi people pleasure agar bisa diterima orang lain.
3. Penyakit fisik (karena memendam emosi)
Contohnya, anak merasa memiliki beban dan tanggungjawab berat sejak kecil namun tidak bisa mengungkapkannya.
Pelatih emosi anak
Emosi anak bisa dilatih. Lalu siapa yang bisa menjadi pelatihnya? Menurut Lusy, syarat menjadi pelatih emosi adalah:
1. Orang terdekat anak (fortress)
Idealnya orang yang terdekat dengan anak adalah orangtua.
2. Menguasai skill regulasi emosi (skill mastery)
Orangtua saat ini diharapkan banyak belajar mengenai regulasi emosi baik pada diri sendiri maupun anak.
Tahapan melatih emosi anak

Pada Seminaer School of Parenting “Menjadi Pelatih Anak”, dipaparkan beberapa tahap yang harus dilakukan untuk melatih emosi anak yaitu :
1. Awareness (Tahap pengenalan emosi)
Sebagai pelatih, orangtua mampu mengidentifikasi emosi sendiri saat bersama anak atau menyadari kehadiran emosi orang lain. Beda usia, beda pula bahasa dan pendekatan yang digunakan.
“Marah seringkali bukan emosi yang sebenarnya. Marah cenderung manifestasi akan suatu emosi,” kata Lusy.
2. Reframing (Tahap membingkai ulang pemahaman mengenai situasi yang terjadi)
Orangtua memiliki mindset bahwa kondisi emosi anak merupakan kesempatan untuk menjalin koneksi intens dengan anak.
3. Empathy (Tahap validasi emosi)
Orangtua dapat melihat dari sudut pandang anak. Bebaskan anak untuk mengungkapkan emosi. Validasi emosi anak dengan responsif.
4. Labelling (Tahap pemberian nama pada emosi)
Orangtua menguasai penamaan masing-masing emosi dan memahami bahwa emosi tidak sama dengan karakter maupun kepribadian anak
5. Problem solving (Tahap penyelesaian masalah)
Orangtua memiliki mindset yang teguh bahwa tujuan tahapan anak ini adalah untuk membantu anak mandiri dalam menyelesaikan masalahnya sendiri.
Menurut Lusy, emosi anak itu seperti air dalam gelas. Ketika bangun tidur anak memiliki emosi yang penuh, namun seiring berjalan waktu selama sehari, emosi makin menyusut karena berbagai peristiwa, misal anak mengalami overwhelmed, dll.
“Ketika anak mengalami badai emosi harus dipahami bahwa emosi anak berdiri sendiri dari emosi kita sebagai orangtua. Harus ada batasan emosi anak dan orangtua.”
Menghadapi remaja
Seringkali orangtua memiliki banyak alasan ketika tidak mampu mengatasi emosi anak. Lalu mencari solusi termudah dengan memberi hukuman dengan dalih tidak ingin anak menjadi manja. Lusy menegaskan, “Salah besar apabila orangtua beranggapan tidak apa dihukum atau di-bully sedikit-sedikit nanti akan menjadikan anak semakin kuat, tahan banting. Anak ibarat pohon yang harus disiram, dipupuk, dirawat dengan kasih sayang supaya tumbuh memiliki akar yang kuat bukan dengan sering dipukul.”
Saat menghadapi anak remaja, rasanya lebih menantang ya, Mama? Ini karena otak remaja sedang mengalami masa transisi, sehingga dalam dirinya penuh pergolakan. Lalu, bagaimana cara berkomunikasi dengan remaja yang menurut sebagian besar orangtua sering terjadi kesalahpahaman?
Lusy mengatakan, ada beberapa cara yang bisa dipakai:
- Meregulasi emosi kita sendiri sebagai orangtua.
- Mencoba masuk ke dunia mereka.
- Tidak banyak mengajukan pertanyaan ke anak remaja namun selalu “hadir” kapan pun mereka membutuhkan.
Menangani dan meregulasi emosi anak memiliki banyak fase sesuai usia dan tumbuh kembang mereka. Fase emosi anak pun berbeda-beda, tidak bisa sama satu dengan yang lain. Orangtua memiliki tugas dan tanggungjawab untuk terus belajar. Misal anak yang agresif diajarkan untuk meluapkan emosinya secara sehat seperti melalui kegiatan olahraga. Bisa juga anak diajarkan untuk meluapkan emosi melalui kegiatan journaling.
“Oleh karena itu peran orangtua sangat penting dalam melatih emosi anak. Orangtua adalah individu yang paling dekat dengan anak. Tugas ini idealnya membutuhkan kerja sama yang baik antara mama dan papa. Keduanya memiliki peran yang sama besarnya. Emosi bukanlah karakter atau kepribadian. Jadikan anak nyaman mengemukakan emosi, menjadi diri sendiri, dan menjadikan rumah sebagai tempat pulang ketika kehidupan di luar sana tidak bersahabat. [*]